Mobil SUV hitam itu berguncang hebat saat ban-bannya melindas jalan tanah berbatu. Di kiri kanan, ilalang tumbuh setinggi atap mobil, seolah berusaha menelan kendaraan asing yang berani masuk ke wilayah mereka.
"Mas, kamu yakin ini jalannya?" Rina mencengkeram pegangan pintu, wajahnya pucat. "Di GPS sudah nggak ada jalan lho."
Ardian hanya tersenyum, matanya awas menatap jalanan yang mulai gelap oleh naungan pohon-pohon raksasa. "GPS satelit nggak bisa tembus kanopi setebal ini, Rin. Tenang, menurut peta topografi, rumahnya tinggal dua ratus meter lagi."
Dan benar saja. Di balik tikungan tajam yang ditutupi semak pakis, sebuah bangunan tua menyeruak.
Rumah dinas itu berdiri kokoh meski cat putihnya sudah mengelupas digantikan lumut hijau. Atapnya tinggi bergaya kolonial, dengan jendela-jendela besar yang menatap kosong ke arah hutan.
Ardian mematikan mesin. Hening.
Tidak ada suara klakson, tidak ada deru motor. Hanya ada suara nging panjang dari serangga hutan yang memekakkan telinga.
"Sampai," ujar Ardian puas. Dia menoleh ke jok belakang.
Celine, putri kecilnya yang berusia lima tahun, sedang menempelkan wajah ke kaca jendela. Mata bulatnya menatap hutan lebat di luar sana tanpa berkedip. Tidak ada rasa takut di mata itu, hanya rasa ingin tahu yang murni.
"Pohonnya banyak banget, Pa," celetuk Celine, uap napasnya membuat kaca berembun.
"Iya, Sayang." jawab Ardian sambil membuka pintu. Aroma tanah basah dan daun busuk langsung menyerbu masuk, tajam dan lembap.
Satu jam kemudian, Rina sibuk berperang dengan debu di dalam rumah. Ardian, yang tidak bisa menahan diri, sudah gatal ingin menyentuh tanah.
"Rin, aku ajak Celine inspeksi sebentar ya! Sekalian cek perimeter!" teriak Ardian dari teras.
"Jangan jauh-jauh! Awas banyak nyamuk!" sahut Rina dari dalam.
Ardian menggandeng tangan mungil Celine. Bagi Ardian, ini bukan semak belukar, ini adalah ruang kelas alam.
"Celine, lihat bawah," Ardian berjongkok di dekat akar pohon jati, menunjuk tanaman kecil dengan daun beludru yang memiliki guratan emas menyala.
"Wah, daunnya kayak ada lampunya, Pa," celetuk Celine takjub.
"Ini namanya Anggrek Permata atau Macodes petola," jelas Ardian. "Di kota orang harus beli mahal, di sini dia tumbuh liar. Guratan emas itu supaya dia bisa tangkap cahaya walau di tempat gelap."
Mereka berjalan lagi beberapa meter. Ardian berhenti di depan tanaman merambat dengan kantong-kantong hijau buncit yang menggantung.
"Nah, kalau yang ini, Celine tahu?"
"Gelas minum ya Pa?" tebak Celine polos.
Ardian tertawa. "Bukan. Ini Kantong Semar, Nepenthes ampullaria. Dia makan daging, lho. Kalau ada nyamuk masuk ke situ... hap! Nyamuknya nggak bisa keluar lagi."
Mata Celine membulat. "Tanaman bisa makan nyamuk? Seperti cicak dong, Pa."
"Iya sayang. Keren kan?" Ardian berdiri, lalu menunjuk ke arah semak yang lebih gelap. Ada bunga aneh berwarna hitam legam dengan "kumis-kumis" panjang menjuntai.
"Lihat yang seram itu. Itu namanya Bunga Kelelawar Hitam, Tacca chantrieri. Bentuknya kayak kelelawar lagi terbang, kan? Kumisnya itu bisa sampai setengah meter."
Celine bergidik tapi kagum. "Hutannya ajaib ya, Pa."