Dua hari menempati rumah dinas itu, ruang tamu yang seharusnya hangat untuk keluarga sudah berubah fungsi menjadi laboratorium dadakan.
Alih-alih vas bunga atau foto keluarga, meja kayu jati di tengah ruangan kini penuh sesak. Mikroskop lapangan berdiri gagah di sana, dikelilingi toples-toples kaca berisi sampel tanah, potongan daun yang diawetkan dalam alkohol, dan buku-buku tebal botani berbahasa Latin. Aroma di dalam rumah itu bukan lagi aroma masakan Rina, melainkan campuran bau tanah basah, spiritus, dan kapur barus.
Ardian sedang sibuk melabeli sebuah toples berisi lumut ketika suara ketukan terdengar di pintu depan.
"Kulonuwun ...."
Rina yang sedang menyapu bergegas membuka pintu. Di teras, berdiri seorang wanita tua bertubuh mungil dengan kebaya lusuh dan kain jarik. Wajahnya keriput termakan usia, tapi sorot matanya tajam. Di kakinya, seekor kucing kampung berwarna belang tiga sedang menggesek-gesekkan tubuh manja.
"Eh, Ibu... mari masuk, bu," sapa Rina ramah, senang akhirnya melihat manusia lain selain suami dan anaknya.
"Saya Sumi, Nyo. Tinggal di balik bukit itu," wanita tua itu tersenyum, menyodorkan bungkusan daun pisang. "Ini ada singkong rebus. Tanda perkenalan tetangga."
Ardian mendongak dari mikroskopnya, kaget. "Lho, ada kampung di dekat sini, Mbah? Saya kira hutan ini kosong radius lima kilo."
Mbah Sumi tertawa kecil, suara tawanya serak. "Ada, Den. Kampung Girah. Cuma jalan kaki sepuluh menit lewat jalan setapak di samping rumah ini. Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan panggil Simbah."
Ardian mengangguk-angguk sopan, meski dalam hati dia sedikit kecewa. Dia pikir dia tinggal di isolasi total. Tapi Rina justru terlihat lega.
"Alhamdulillah, kirain kami sendirian di tengah hutan, Mbah. Masuk, Mbah, silakan duduk. Maaf berantakan, suami saya lagi... ya begitulah, meneliti tanaman," Rina menyingkirkan tumpukan kertas agar Mbah Sumi bisa duduk.
Mbah Sumi duduk, matanya menyapu ruangan itu. Tatapannya berhenti pada toples-toples sampel.
"Bapaknya ... kelihatan fokus sekali ya?"
"Betul, Mbah. Saya sedang mendata tanaman di hutan belakang," jawab Ardian.
Suasana cair dan hangat. Kucing belang milik Mbah Sumi melompat naik ke sofa, mendengkur nyaman.
Sampai Celine keluar dari kamarnya.
Anak berusia lima tahun itu berjalan pelan sambil mendekap sebuah boneka kucing berwarna putih yang matanya terbuat dari kancing hitam.
"Ada tamu ya, Ma?" tanya Celine.
Mendengar suara anak kecil, kucing belang di sofa menoleh.
Dan seketika, suasana berubah.
Kucing itu melompat berdiri. Bulu di punggungnya berdiri tegak lurus seperti landak. Ekornya mengembang kaku.
Hhhssss!