Sandikala di Hutan Kembang Kuning selalu memiliki cara tersendiri untuk membuat seseorang merasa tidak diundang. Senja itu, langit ungu lebam menggantung rendah di atas tajuk pohon, seolah menekan ruang di antara cabang-cabang raksasa. Ardian seharusnya sudah pulang. Tapi dorongan ilmiah yang menggerus rasa takutnya membawa langkahnya kembali ke Pohon Akar Merah itu.
Hutan sore itu hening. Bukan hening yang menenangkan—hening yang terasa seperti seseorang sedang menahan napas.
"Oke, mari kita lihat apa kau sebenarnya," bisik Ardian. Tangannya cekatan mengeluarkan peralatan lapangan dari tas pinggangnya: bor manual, pisau bedah, dan botol sampel steril.
Ardian berjongkok di depan akar raksasa yang menyembul dari tanah. Akar itu tampak seperti urat nadi yang tumbuh terlalu besar. Ia memasang mata bor manual pada permukaannya.
Krek… Srrrt…
Saat mata bor menembus kulit akar, tanah di bawah lututnya bergetar. Getaran halus namun hidup. Udara berubah lebih dingin.
Dari lubang kecil itu, menyembur cairan merah pekat—hangat, kental, dan berbau logam.
Ardian mendekatkan botol sampel. “Komposisi ferum tinggi,” gumamnya, walau bagian dari dirinya tahu bau itu terlalu mirip darah segar.
Wuuusss…
Angin dingin turun tiba-tiba, melingkari tubuhnya. Dia menoleh. Tidak ada apa pun. Hanya pohon-pohon yang berdiri seperti saksi bisu. Ia menahan napas sebentar sebelum menutup botol getah merah itu dan beralih ke batang utama.
Batang Pohon Akar Merah itu tidak seperti batang pohon biasa. Warnanya putih pucat dan halus. Ardian menyentuhkan mata pisau bedah.
Pisau itu membal sedikit. Permukaannya elastis seperti jaringan hidup.
Ia menekan lebih kuat.
Sreeet.
Suara yang keluar bukan sekadar gesekan. Suara angin di atas tajuk berubah. Ranting-ranting bergesekan membentuk lengking rendah, berirama… seperti suara seseorang yang sedang berusaha berbicara di antara rasa sakit.
“Jaaa…ngaaaan…”
Pisau di tangan Ardian terhenti. Suara itu terdengar dekat, terlalu dekat, seakan berbisik di belakang telinganya.
“Ja…ngaaaan… am…bil…”
Jantung Ardian melonjak ke tenggorokan. Rambut di tengkuknya berdiri. Untuk sesaat ia hanya memandangi kanopi yang bergoyang sendiri, padahal angin di bawah hampir tak ada.
“Distorsi akustik… cuma distorsi… Efek pareidolia audio. Otakku menerjemahkan bunyi acak jadi kata-kata. Fokus, Ardian." suaranya parau, lebih seperti upaya meyakinkan diri sendiri daripada analisis ilmiah.
Dengan tangan yang jelas gemetar, ia mengambil irisan kulit batang itu dan memasukkannya ke botol. Aroma anyir bercampur resin memenuhi udara. Perasaan bersalah yang tidak rasional menyelinap masuk—seolah ia baru saja menyakiti sesuatu yang sadar.
Lalu matanya menangkap buah merah yang bergantung rendah. Ukurannya sebesar bola pingpong. Kulitnya halus seperti apel, tapi memiliki pola titik halus seperti beri.