Inang Kedua

Camèlie
Chapter #5

Bab 5 Tamu Dari Kota

Minggu siang itu, debu jalanan desa yang biasanya tenang terusik oleh kedatangan sebuah sedan tua berwarna abu-abu.

Oma Ratna, ibunda Rina, turun dari mobil sambil memegangi pinggangnya. Beliau datang jauh-jauh dari kota membawa koper kecil dan rantang makanan bersusun. Niatnya sederhana: menginap semalam untuk melepas rindu dengan cucu semata wayangnya.

"Ibu! Akhirnya sampai," Rina menyambut dengan mata berkaca-kaca, mencium tangan ibunya yang keriput namun halus terawat.

Oma Ratna tersenyum, hendak mencium pipi anaknya. Namun, gerakan Oma terhenti di udara. Hidungnya kembang-kempis. Senyum di wajah tuanya luntur seketika.

"Rin... kamu pakai pewangi ruangan apa?" tanya Oma pelan.

Rina bingung. "Enggak pakai apa-apa, Bu. Mungkin bau sisa obat tanaman Mas Ardian?"

Oma menggeleng pelan, matanya menyapu beranda rumah yang dikepung hutan rapat dengan tatapan waspada.

"Bukan. Ini baunya manis tapi eneg. Kayak bau bunga melati yang sudah layu dicampur tanah basah."

Rina mengendus udara. Dia tidak mencium apa-apa selain aroma hutan siang hari. "Perasaan Ibu aja kali, mabuk perjalanan. Masuk yuk, Bu. Mas Ardian sudah nunggu."

Oma Ratna masuk dengan langkah ragu. Di dalam, Ardian sedang duduk santai di meja makan.

"Halo, Bu. Wah, bawa opor ya? Tahu aja menantunya lapar," sapa Ardian ramah.

"Iya. Makanlah. Badanmu kurus begitu," jawab Oma singkat. Nadanya datar. Dia masih merasa terganggu dengan bau tadi.

Dialog Dingin di Meja Makan

Celine, yang sedang tiarap di karpet ruang tengah, mendongak saat mendengar suara neneknya.

"Oma!" teriaknya riang.

Wajah Oma Ratna langsung berubah lembut. "Cucuku sayang! Sini peluk Oma!"

Setelah kangen-kangenan, perhatian Oma tertuju pada buku gambar di lantai.

"Celine lagi gambar apa, Nak?"

Celine tersenyum lebar. "Gambar keluarga Oma."

Oma Ratna menerima buku gambar itu. Senyumnya perlahan menghilang.

Tampak gambar Ardian memakai kacamata biru menggandeng Rina. Di sebelah mereka tergambar Celine yang ceria, dan di samping Celine ada sosok hitam tinggi besar. Sosok itu digambar dengan tekanan krayon yang agresif. Rambutnya putih acak-acakan, tangannya panjang menjuntai, dan sedang menggenggam tangan mungil Celine erat-erat.

"Ini... ini siapa, Cel?" tanya Oma, suaranya tercekat. "Ini Oma? Kok Oma digambar seram begini?"

Celine menggeleng polos, lalu mengambil krayon merah darah.

"Bukan Oma. Itu Nini," jawab Celine santai, menggoreskan warna merah di mulut sosok itu. "Nini baik, tapi Nini sering lapar."

Jantung Oma Ratna berdegup kencang. Dia membawa buku gambar itu ke meja makan dan meletakkannya perlahan di hadapan Ardian.

"Ardian," panggil Oma. Suaranya tenang, tapi serius. "Coba kamu lihat apa yang digambar anakmu."

Ardian meletakkan sendoknya. Dia menarik buku gambar itu mendekat.

Hening sejenak.

Mata Ardian terpaku pada sosok hitam itu. Untuk sepersekian detik, rahangnya mengeras. Ada kilatan kaget di matanya saat melihat detail jari-jari hitam yang mencengkeram lengan Celine—begitu detail, seolah Celine menggambar dari model nyata, bukan imajinasi. Ardian sempat menahan napas, dadanya tidak naik turun. Keraguan itu nyata adanya.

"Lihat itu, Ardian," desak Oma. "Lihat cengkeramannya."

Suara Oma memecah lamunan Ardian. Dia mengerjap, lalu berdeham keras. Tangan kanannya memperbaiki letak kacamata—sebuah gestur gugup yang segera dia tutupi dengan senyum miring. Topeng logikanya kembali terpasang.

"Oh, mungkin itu teman imajinasi Celine, Bu," ucapnya ringan, meski tangannya menutup buku gambar itu sedikit lebih cepat dari yang seharusnya. "Biasa, cognitive development anak usia lima tahun memang sedang aktif-aktifnya."

Lihat selengkapnya