Selasa, Pukul 16.00 WIB.
Sejak ibunya pulang mendadak kemarin, Rina berubah total. Dia bukan lagi ibu rumah tangga biasa; dia menjelma menjadi sipir penjara bagi anaknya sendiri.
Semua jendela dikunci rapat. Gorden ditutup tebal, menghalangi cahaya matahari sore yang mulai meredup, menciptakan suasana temaram yang menyesakkan di dalam rumah. Pintu depan dan belakang digembok ganda, dan anak kuncinya dikalungkan Rina di lehernya menggunakan tali rafia kumal. Dia bersumpah tidak akan membiarkan Celine melangkah keluar teras barang sejengkal pun.
"Mama, Celine mau main di luar..." rengek Celine, wajahnya menempel di kaca jendela kamar yang terkunci. Napasnya membuat embun di kaca, menggambar jejak kerinduan pada dunia luar.
"Nggak boleh, Sayang. Di luar banyak nyamuk," jawab Rina tegas, meski matanya terus waspada menatap hutan yang mengepung rumah mereka seperti pasukan musuh.
Sementara itu, Ardian—seperti biasa—sudah menghilang ke dalam hutan sejak siang. Dia beralasan ingin memeriksa jebakan hama, tapi Rina tahu suaminya hanya sedang menghindari ketegangan di rumah.
Celine akhirnya menyerah. Dia duduk bersila di sudut kamar, mengeluarkan set mainan masak-masakannya. Panci plastik, sendok, dan piring warna-warni berserakan di karpet.
Rina mengintip dari celah pintu yang sedikit terbuka.
"Lagi masak apa, Sayang?" tanya Rina, mencoba terdengar ceria untuk menutupi getar di suaranya.
Celine menoleh, tersenyum manis. Tangan mungilnya sibuk mengaduk panci kosong.
"Masak sup daging, Ma. Tapi nggak ada wortelnya. Nini lapar. Kasihan Nini belum makan."
Rina merinding mendengar nama itu disebut lagi. Bulu kuduknya berdiri, tapi dia menelannya mentah-mentah. "Ya sudah, main yang pintar ya. Mama di dapur sebentar mau cuci piring."
Rina menutup pintu kamar Celine, tapi tidak menguncinya, agar dia tetap bisa mendengar suara anaknya. Itu adalah kesalahan fatal.
Sandikala (Pukul 17.45 WIB).
Langit berubah warna menjadi memar. Ungu lebam bercampur jingga kotor. Adzan Maghrib berkumandang sayup-sayup dari masjid desa yang jauh, suaranya timbul tenggelam terbawa angin gunung.
Suasana rumah mendadak hening. Terlalu hening.
Rina sedang membilas piring di wastafel dapur. Suara air keran mendominasi telinganya.
Tiba-tiba, gerakan tangannya terhenti.
Hidung Rina mencium bau itu.
Bau yang diceritakan Ibunya begitu sampai di rumah dinas itu. Aroma bunga kantil yang sangat menyengat—manis, berat, dan memusingkan—bercampur dengan bau lumpur sungai yang anyir. Baunya begitu kuat dan dekat, seolah sumber baunya berdiri tepat di belakang punggungnya.
Rina mematikan keran air. Jantungnya berdegup kencang memukul rusuk.
"Celine...?" panggilnya ragu.
Hening. Tidak ada suara klontang-klonting mainan plastik.
Perasaan Rina tidak enak. Dia mengelap tangannya yang basah ke daster, lalu berjalan cepat setengah berlari menuju kamar depan.
"Sayang? Kok diam aja?"
Rina mendorong pintu kamar.
Pemandangan di depannya membuat darahnya berhenti mengalir.
Kamar itu kosong.
Celine tidak ada.
Mainan masak-masakannya masih tertata rapi di karpet, seolah ditinggalkan begitu saja.
Mata Rina langsung tertuju ke jendela.
Jantungnya mencelos.
Jendela itu tertutup rapat.
Gembok kecil yang mengunci tralis besi masih menggantung manis di sana. Kaca jendela tidak pecah. Kawat nyamuk tidak robek. Tidak ada celah sedikitpun, bahkan untuk seekor kucing pun tak bisa lewat.
Rina meraba lehernya dengan panik.
Kunci gembok itu masih ada di sana, tergantung aman di tali rafia.
"Nggak mungkin..." bisik Rina, suaranya bergetar hebat. Dia berlari ke jendela, mengguncang tralis besi itu.
Klang! Klang!
Terkunci kuat.
"Celine?!"