Rabu Dini Hari, Pukul 01.00.
RSUD Kabupaten.
Bau karbol dan alkohol menyeruak tajam, berusaha menutupi bau anyir lumpur yang masih menempel samar di baju Ardian.
Celine sudah dipindahkan ke ruang rawat inap VIP "Bangsal Melati". Bukan karena kondisinya kritis, tapi karena Ardian bersikeras agar anaknya mendapat perawatan terbaik dan privasi total.
Dokter Jaga, dr. Prasetyo, keluar dari kamar rawat sambil menggelengkan kepala, membolak-balik papan klip medis dengan wajah bingung.
"Gimana, Dok? Lambungnya sudah dicuci? Racunnya keluar?" tanya Ardian mendesak.
Dr. Prasetyo melepas kacamatanya. "Pak Ardian, ini... jujur saya bingung. Kami sudah cek darah, cek urin, rontgen paru-paru."
"Hasilnya?"
"Bersih. Total." Dokter itu menunjuk lembar hasil lab. "Tidak ada tanda hipotermia, padahal Bapak bilang dia basah kuyup berjam-jam. Suhu tubuhnya 36,5 derajat stabil. Paru-parunya bersih, tidak ada air atau lumpur. Dan soal cairan merah di mulutnya... gula darahnya memang agak tinggi, tapi itu cuma glukosa buah biasa. Tidak ada racun."
Ardian ternganga. "Mustahil. Dia makan beri liar hutan, Dok! Dia jatuh ke sumur!"
"Secara medis, anak Bapak sehat walafiat. Bahkan terlalu sehat untuk korban kecelakaan," dr. Prasetyo menepuk bahu Ardian. "Mungkin Bapak yang syok. Istirahatlah. Infus itu cuma vitamin."
Dokter pergi, meninggalkan Ardian yang terpaku. Logikanya kembali dibenturkan dengan tembok.
Anak sehat? Setelah hilang di hutan dan jatuh ke sumur?
Tamu Pukul Dua Pagi
Pukul 02.15.
Rina tertidur di sofa karena kelelahan menangis. Hanya Ardian yang terjaga. Dia duduk di kursi samping ranjang, menatap tetesan infus dengan mata merah. Pikirannya berkecamuk hebat.
Suasana Bangsal Melati sunyi senyap. Lorong rumah sakit kosong, lampu neon berkedip-kedip suram di ujung koridor.
Sreeet...
Pintu geser kamar rawat terbuka perlahan.
Seorang perawat wanita berseragam putih masuk. Dia membawa nampan besi. Posturnya aneh. Dia bungkuk, punggungnya melengkung tidak wajar. Dia berjalan menyeret kaki, kepalanya menunduk dalam, tertutup nurse cap yang kusam.
Ardian menegakkan punggung di kursinya.
"Waktunya ganti infus, Sus?" tanyanya pelan agar tidak membangunkan Rina.
Perawat itu tidak menjawab. Dia hanya mengangguk kaku.
Ardian merasakan sesuatu yang aneh.
Udara di kamar yang ber-AC mendadak berubah. Bau karbol rumah sakit lenyap, digantikan oleh aroma yang sangat Ardian kenal. Bau bunga kantil busuk dan tanah basah.
Perawat bungkuk itu berdiri di samping kepala Celine. Tangan pucatnya terulur.
Seperti bukan tangan manusia. Kulit tangannya keriput, kering, dan pecah-pecah berwarna cokelat tua seperti kulit kayu. Kukunya hitam panjang melengkung. Dia tidak memeriksa infus, dia membelai rambut Celine.
Detik berikutnya, jeritan Celine memecah keheningan rumah sakit.
"AAAAAA!! PERGII!! JANGAN LIHAT CELINE!! CELINE TAKUT!!!"
Celine meronta histeris, menendang-nendang selimut, mundur sampai punggungnya menabrak sandaran ranjang. Dia menunjuk-nunjuk wajah perawat itu dengan jari gemetar hebat.
"MUKANYA DARAH!! BANYAK ULATNYA!!" jerit Celine sambil menutup matanya rapat-rapat. "PAPA USIR! SUSTERNYA SERAM!! CELINE TAKUT!!"
Ardian kaget setengah mati. Dia melompat berdiri, naluri ayahnya mengambil alih untuk menghadang perawat itu.
"Sus! Minggir! Anak saya takut!" bentak Ardian, hendak mendorong bahu perawat itu.
Namun, sebelum tangan Ardian menyentuh seragamnya, perawat itu menoleh.
Dia memutar kepalanya pelan ke arah Ardian.
Napas Ardian tercekat di tenggorokan. Jantungnya serasa berhenti.