Minggu Malam, Pukul 23.45 WIB.
Ruang Kerja Ardian.
Hujan deras mengguyur atap seng rumah dinas, menciptakan kebisingan statis yang meredam suara hutan malam. Lampu meja belajar berkedip pelan, menyorot tumpukan jurnal dan alat bedah yang berserakan. Di pusat meja itu, di dalam cawan petri, potongan Akar Merah, irisan Batang Putih, dan buah Ardiania celinea tergeletak menunggu.
Ardian duduk merosot di kursinya, menatap sampel itu dengan mata merah kurang tidur. Tangannya memegang skalpel, siap membedah. Ini adalah momen yang dia tunggu. Momen untuk mengukir namanya di sejarah botani. Ini seharusnya menjadi malam penentu. Malam ketika namanya berhenti menjadi catatan kaki di jurnal orang lain.
Tapi tangannya gemetar. Skalpel itu berdenting pelan saat menyentuh meja kaca.
Konsentrasinya hancur lebur.
Rumah ini sedang tidak kondusif. Bayangan kejadian beberapa hari terakhir berputar di kepalanya seperti kaset rusak yang bising.
Siang tadi, mendadak Oma Ratna minta pulang. Padahal dia baru sampai. Tidak ada penjelasan logis. Rasanya tidak mungkin hanya karena perdebatan mereka tentang gambar Celine. Yang Ardian tahu, ibu mertuanya itu hanya keluar rumah dengan wajah pucat pasi, koper sudah dikemas asal-asalan.
Lalu Rina. Istrinya berubah menjadi paranoid. Dia menutup semua gorden bahkan sebelum matahari terbenam dan melarang Celine bermain di luar rumah dinas mereka.
Belum lagi soal Chip. Ingatannya memutar kembali kejadian saat tupai itu bertingkah aneh, menabrakkan diri ke tembok seolah lebih baik mati hancur daripada disentuh oleh Celine. Yang menyayat hatinya, kejadian itu membuat Celine merasa ditolak oleh dunia.
"Sial..." umpat Ardian, meletakkan skalpelnya dengan kasar. "Bagaimana aku bisa berpikir jernih kalau suasananya begini?"
Dia menatap buah merah Ardiania celinea itu.
Dia sadar, meneliti spesimen langka butuh presisi tingkat tinggi. Satu sayatan salah karena tangan gemetar, sampel rusak selamanya. Satu hipotesis bias karena emosi kacau, jurnalnya akan ditertawakan.
"Aku tidak bisa menelitimu sekarang," bisik Ardian pada sampel itu. "Otakku penuh sampah. Aku butuh ketenangan, aku butuh kepala dingin."
Ardian mengambil keputusan berat. Dia akan menunda penelitian ini. Dia akan mengawetkan sampel ini sampai situasi rumah kembali normal dan otaknya kembali tajam.
Ardian bangkit, membuka lemari kaca. Dia mengambil sebuah botol reagen borosilicate tebal ukuran 250ml. Dia membersihkannya dengan alkohol 70% agar steril, memastikan tidak ada bakteri yang bisa membusukkan penemuannya.
Prosedur Pengawetan
Dengan pinset panjang, Ardian menjepit irisan batang putih dan memasukkannya ke dasar botol.
Lalu potongan akar merah dan getahnya.
Terakhir, buah merah itu.
Saat buah itu dijatuhkan ke dalam botol... Tak.
Bunyinya berat dan padat. Bukan seperti buah kopong, melainkan seperti bola daging atau bola mata yang jatuh ke dasar kaca.
Ardian mengambil jeriken logam dari bawah meja.
Untuk spesimen seberharga ini, dia tidak menggunakan formalin. Dia memilih Etanol Absolut (Alkohol 96%).
Ini adalah teknik fiksasi keras. Alkohol kadar tinggi akan menyedot air dari sel seketika, mematikan aktivitas biologis, dan mengunci struktur DNA agar tidak rusak selama puluhan tahun.
Gluug... gluug...
Cairan bening itu mulai memenuhi botol.
Tiba-tiba, hidung Ardian mengendus sesuatu.