Kamis Pagi, Lereng Gunung Wilis
Kabut tipis menggantung rendah, merayapi batang-batang pinus dan menyelubungi jalur tanah berbatu yang menanjak. Mobil SUV hitam merayap pelan, seolah ikut menahan napas bersama sunyi pegunungan.
Di dalam kabin, udara serasa lebih berat daripada kabut. Tidak ada musik, tidak ada percakapan. Oma Ratna memeluk Celine erat-erat, seolah menahan tubuh mungil itu agar tidak hilang dalam gelombang udara. Bekas tangis masih terlihat di mata tuanya, tapi kali ini tidak ada lagi langkah mundur. Rasa bersalah menuntun keberaniannya.
"Itu rumahnya, Ar," ucap Oma Ratna parau, menunjuk rumah panggung kayu tua di tengah kebun cengkeh.
Di halaman yang disapu bersih, seorang pria paruh baya berkopiah hitam menyapu daun kering dengan gerakan lembut dan berirama. Pak Damar. Ketika mobil berhenti, sapu itu terhenti. Tatapannya teduh, tapi dalam, seakan menimbang sesuatu pada keluarga yang baru datang itu.
Hidungnya mengembang pelan. Ada aroma asing yang terbawa angin.
Bau lumpur purba. Bau kantil layu. Bau kepemilikan.
Diagnosa: Jejak Masa Lalu
Ruang tamu rumah panggung berlantai kayu jati menyimpan kehangatan yang sendu. Celine dibaringkan di atas tikar pandan, tubuhnya lemas. Kelopak matanya terpejam, tapi bola matanya bergerak gelisah, seperti terseret mimpi yang terus berubah menjadi bentuk lain.
Pak Damar duduk bersila di sampingnya. Tanpa bertanya, ia menempelkan punggung tangan ke kening Celine dan memejamkan mata.
Keheningan merayap. Angin gunung berdesir dari sela-sela dinding kayu, dan jam dinding tua mengisi ruang dengan dentingan lembut. Tik… tok… tik… tok…
Waktu seperti menunggu sesuatu.
Ketika Pak Damar akhirnya membuka mata, tatapannya mengandung beban yang tidak bisa diceritakan dengan bahasa sehari-hari. "Bapak Ardian... Bapak pikir anak ini diganggu hanya karena tersesat kemarin?" suaranya rendah, tapi menyentuh langsung ke dinding dada.
Ardian menelan ludah. "Dia makan buah beri... katanya dari Nini. Dokter bilang dia sehat, tapi—"
"Buah itu hanya pengikat," potong Pak Damar pelan. "Materai penutup. Penandaannya sudah terjadi sebelumnya. Jauh sebelumnya. Sejak pertama kali Celine menginjakkan kaki di hutan itu."
Rina menutup mulut, takut isaknya meledak. "Kenapa Celine, Pak?" suaranya serak. "Kenapa bukan orang lain?"
Pak Damar menatap wajah Celine seperti menatap anaknya sendiri. "Ada masa lalu yang belum selesai. Sosok itu melihat dirinya di dalam anak ini. Ada kehilangan yang lama terpendam... dan Celine menjadi cerminan yang ia cari. Rindu yang berubah bentuk."
Oma Ratna gemetar. Suara "DIA CUCUKU!" di cermin kemarin bagai pecahan kaca yang kembali menusuk ingatannya.
Kompromi: Hidup dengan Bayangan
"Tolong usir dia, Pak," pinta Ardian. Kali ini tanpa ego, tanpa sisa keangkuhan logika. Hanya ayah yang ketakutan.
Pak Damar menggeleng perlahan. "Saya tidak bisa. Ikatan rasa dan ikatan darah lewat beri itu sudah masuk ke sukma. Kalau saya paksa cabut, jiwanya bisa robek. Tubuh bisa selamat, tapi pikiran tidak."
Ardian terdiam, seolah dunia runtuh perlahan, tidak sekaligus.
"Jadi... apa yang harus kami lakukan?" suaranya hampir bisikan.
"Kita ambil jalan tengah." Pak Damar mengambil kendi tanah liat, menuang air ke dalam mangkuk. "Saya akan menutup mata batinnya. Saya buat dia tidak bisa mendengar, melihat, atau merasakan makhluk halus. Semua ingatan tentang hutan akan ditumpulkan."
Rina memeluk Celine lebih erat. "Lalu makhluk itu?"
"Dia tetap ada. Tetap mengikuti. Tetapi... tidak bisa menembus kesadaran Celine. Hanya jadi bayangan yang menunggu."