Kamis Sore, Pukul 15.30 WIB.
Gerbang SMA Pelita Bangsa.
Langit Jakarta sore itu mendung menggelayut, seolah menahan beban air yang siap tumpah kapan saja.
Celine berdiri gelisah di depan gerbang sekolah, memegang ponselnya yang layarnya terus berputar loading.
"Halo, Pak Ujang? Masih lama?" tanya Celine ke telepon dengan nada panik.
"Aduh, Non Celine. Maaf banget. Mobilnya mogok di jalan Fatmawati. Ban pecah dua-duanya, aneh banget padahal baru ganti. Non bisa naik taksi online dulu?"
Celine menghela napas panjang. "Yaudah deh, Pak. Hati-hati ya."
Dia menutup telepon dengan wajah cemberut. Ban pecah dua sekaligus? Apes banget.
Celine membuka aplikasi ojek online. Tapi sinyal di situ mendadak lemot. Loading terus memutar tanpa henti.
"Sial," gerutu Celine. Dia menendang kerikil kecil.
Sebuah suara motor sport berhenti tepat di depannya.
Celine mendongak.
Raka membuka kaca helm full face-nya. Matanya yang tajam menatap Celine.
"Kenapa belum balik?" tanya Raka datar.
"Eh, Kak Raka," Celine kaget. "Sopir saya bannya pecah. Sinyal juga jelek banget, nggak bisa pesen ojol."
Raka terdiam sejenak. Matanya melirik ke atas bahu Celine. Kosong.
Tapi Raka tahu, kekosongan itu menipu. "Gangguan sinyal" dan ban pecah itu pasti karena energi Celine yang sedang tidak stabil.
"Naik," perintah Raka.
Celine melongo. "Hah?"
"Gue anter. Rumah lo di Pondok Indah kan? Searah," bohong Raka. Rumahnya di arah sebaliknya.
"Eh... nggak usah, Kak. Nguerepotin. Nanti pacar Kakak marah lagi," tolak Celine halus, meski dalam hati dia deg-degan senang.
"Gue nggak punya pacar. Buruan naik sebelum hujan. Gue nggak bawa jas hujan dua."
Raka menyodorkan helm cadangan.
Celine ragu sejenak, tapi melihat langit yang makin gelap dan petir mulai menyambar, dia akhirnya menurut.
"Makasih ya, Kak."
Celine memakai helm itu dan naik ke boncengan motor Raka.
Beban Berlebih
Raka merasakan suspensi motornya turun drastis saat Celine naik.
Dalam hati dia menghitung. Berat badan Celine paling cuma 45 kg. Harusnya motor gedenya tidak terasa seberat ini.
Tapi rasanya seperti dia membonceng dua orang dewasa sekaligus. Motornya oleng sedikit sebelum dia bisa menyeimbangkannya dengan kaki.
"Pegangan," kata Raka singkat.
"Hah? Iya Kak, aku pegang tas Kakak," jawab Celine sopan.
Raka memutar gas. Motor melaju membelah kemacetan Jakarta Selatan.
Sepanjang perjalanan, Raka merasa tidak nyaman.
Punggungnya terasa dingin. Sangat dingin, padahal dia memakai jaket tebal dan knalpot motornya panas. Hawa dingin itu merembes, mencoba menembus pertahanan Raka.
Namun, Kalung Kayu Stigi di dada Raka bekerja. Kalung itu menghangat, menciptakan lapisan tipis yang menahan hawa dingin itu agar tidak menyentuh kulit Raka.
Raka melirik ke kaca spion kanan.
Dia melihat pantulan helm Celine yang bersandar di punggungnya. Normal.