Inang Kedua

Camèlie
Chapter #19

Bab 19 Pewaris Damar

Minggu Siang, Pukul 11.00 WIB.

Koridor ICU RSUD Jakarta Selatan.

Raka melangkah cepat menyusuri lorong rumah sakit yang berbau karbol menyengat. Di punggungnya tergantung tas ransel berisi satu-satunya benda berharga yang bisa menolong Celine: Buku Jurnal Peninggalan Pak Damar.

Raka tidak berniat menjenguk sebagai teman biasa. Dia datang sebagai paramedis spiritual. Dia tahu, Celine yang sedang koma adalah sasaran empuk. Saat wadah retak, isinya mudah dicuri.

Saat Raka berbelok di tikungan menuju ruang ICU nomor 4, suasana mendadak kacau.

TIIIIIIIT!

Suara alarm monitor jantung terdengar nyaring dan panjang tanpa jeda dari dalam ruangan Celine. Lampu indikator di atas pintu berkedip merah.

"Code Blue! Code Blue di ICU 4!" teriak seorang perawat lewat interkom.

Pintu kaca otomatis terbuka. Tiga orang dokter dan beberapa perawat berlari masuk dengan membawa troli darurat. Di depan kaca jendela besar, Rina menjerit histeris sambil memukul-mukul kaca, sementara Ardian berusaha menahan tubuh istrinya agar tidak ambruk, meski wajahnya sendiri pucat pasi seperti mayat.

"V-Fib! Ventrikel fibrilasi! Jantungnya bergetar hebat!" teriak dokter dari dalam, suaranya tegang. "Siapkan defibrilator! Charge 200 joule! Clear!"

DUG! Tubuh Celine tersentak hebat di atas kasur saat listrik menghantam dadanya.

Raka terpaku di tempatnya berdiri. Orang-orang melihat itu sebagai serangan jantung medis. Tapi mata Raka melihat kebenaran yang mengerikan. Di atas ranjang pasien, Raka melihat pergulatan nyawa yang sunyi namun brutal. Tubuh fisik Celine terbaring kaku, tapi di atas tubuh itu, sosok Nini sedang bekerja.

Tangan kayunya yang keriput itu tidak sedang mencengkeram leher Celine. Sama sekali tidak. Jemari tua yang bengkok itu justru terulur lembut, mengambang rendah di atas dada bidang pasien, seolah seorang nenek yang hendak membelai cucu kesayangannya. Gestur itu mengundang, penuh tipu daya yang mematikan.

Raka merasa darahnya surut saat melihat bayangan transparan—Roh Celine—perlahan bangkit, terkelupas dari tubuh fisiknya. Tidak ada tarikan paksa. Tidak ada jeritan kesakitan. Roh itu bangkit dengan gerakan lambat dan patuh, seakan terhipnotis menyambut uluran tangan di depannya.

Nini menyeringai semakin lebar hingga ujung bibirnya menyentuh telinga, rahangnya terbuka tak wajar. Tatapannya seakan berkata, "Ayo pulang, Sari... Nini sudah lama menunggu."

Roh Celine terlihat bingung, matanya kosong. Gadis itu menurut, perlahan mengulurkan tangan transparannya sendiri, ingin menyambut jari-jari keriput yang siap menyeretnya ke alam mimpi selamanya.

"Jangan..." desis Raka, suaranya tercekat. Kakinya gemetar menyaksikan Celine menyerahkan nyawanya secara sukarela. "Jangan disentuh! Itu jebakan! Lepasin dia, Bangsat!"

Ketakutan meledak menjadi adrenalin. Tanpa peduli pada tatapan aneh orang-orang, Raka menerobos kerumunan dan berlari mendekat ke kaca jendela ICU.

Raka menempelkan kedua telapak tangannya ke kaca jendela yang dingin. Di dalam sana, jari roh Celine tinggal satu inchi lagi bersentuhan dengan jari Nini. Waktu seakan melambat.

Raka memejamkan mata. Tangan kanannya merogoh ke balik kemeja seragam, menggenggam liontin Kalung Kayu Stigi erat-erat. Ia mulai merapal mantra dari jurnal ayahnya dengan putus asa.

"Siro sapa... Siro Nini..."

Kayu tua di genggaman Raka bereaksi. Dug! Raka merasakan hentakan panas. Tapi kali ini, ada yang salah.

Panasnya tidak stabil. Bukannya memancar kuat, energi dari kayu itu justru berkedip, timbul tenggelam seperti lampu yang mau putus. Raka membelalak kaget. Di dalam ruangan, Nini menoleh padanya dan terkekeh—suara tawa yang berdengung di kepala Raka. Hantu itu tahu Raka masih amatir.

"Bocah..." bisikan itu terdengar mengejek.

Lihat selengkapnya