Senin Pagi, Pukul 09.00 WIB.
Ruang Rawat Inap VVIP.
Cahaya matahari pagi menerobos masuk lewat jendela besar, menyinari ruangan yang berbau antiseptik mahal. Namun, terangnya matahari tidak mampu mengusir hawa dingin yang menggantung di sudut ruangan.
Di atas ranjang pasien, Celine duduk tegak. Infus sudah dilepas. Secara fisik dia sembuh total dengan kecepatan yang tidak wajar, membuat tim dokter geleng-geleng kepala takjub. Tapi, ada yang salah dengan isi kepalanya.
Rina berdiri mematung di pojok ruangan sambil memegang tas baju kotor. Wajahnya pucat, matanya tidak lepas menatap anaknya dengan ngeri. Sementara Ardian duduk di sofa sambil membaca hasil lab. Wajahnya kaku, berusaha terlihat tenang dan rasional sebagai kepala keluarga, meski tangannya mencengkeram kertas itu terlalu kuat.
"Mas... liat Celine," bisik Rina gemetar. "Dia aneh, Mas. Itu bukan tatapan anak kita."
"Ssst, Rin. Jangan mulai," tegur Ardian tajam tanpa mengalihkan pandangan. "Dokter bilang wajar kalau dia linglung. Itu efek post-concussion syndrome. Dia baru lolos dari maut, otaknya masih reset."
"Tapi liat caranya nyisir, Mas! Liat!" desak Rina, suaranya tertahan di tenggorokan karena tangis.
Ardian menghela napas kasar, lalu menurunkan kertasnya. Dia menoleh ke arah putrinya.
Celine sedang menyisir rambut panjangnya.
Gerakannya sangat lambat.
Sreett... jeda... Sreett...
Dia menyisir bagian yang sama berulang-ulang dengan tatapan kosong menatap dinding putih. Gerakan tangan itu terlalu luwes, terlalu sabar, seperti gerakan orang tua yang punya waktu selamanya di dunia ini.
Dan kemudian, senandung itu mulai terdengar.
"Tak lelo... lelo... lelo ledung..."
Suara Celine terdengar berat, rendah, dengan cengkok Jawa kromo yang kental dan fasih. Sangat kontras dengan suara remajanya yang biasanya ceria dan cempreng.
Rina menutup mulutnya menahan tangis. "Dia nggak bisa bahasa Jawa, Mas. Kamu tau kan Celine nggak bisa nyinden? Siapa yang ngajarin?"
Ardian terdiam. Otak logisnya mencoba mencari alasan. Mungkin Celine pernah dengar di YouTube? Mungkin efek obat bius? Tapi aura yang keluar dari nyanyian itu terasa tua, menyedihkan, dan penuh rindu yang purba.
"Cep meneng... aja pijer nangis..."
Celine berhenti menyisir. Dia menunduk, menatap kedua tangannya sendiri. Perlahan, tangan kiri Celine naik, mengelus pipi kanannya sendiri dengan lembut. Gerakan itu penuh kasih sayang, seolah dia sedang membelai wajah orang yang paling dicintainya.
"Sari aja nangis maneh... Nini wis nang kene... Nini wis bali..." gumam Celine lembut, berbicara pada tubuhnya sendiri.
Rina tersentak mundur hingga punggungnya menabrak dinding. "Sari? Mas, dia sebut nama Sari lagi! Siapa Sari?"
Ardian berdiri, mendekati ranjang. Dia berusaha menekan rasa takutnya dengan otoritas seorang ayah.