Inang Kedua

Camèlie
Chapter #21

Bab 21 Mantra di Kelas Sejarah

Selasa Siang, Pukul 10.30 WIB.

Kelas X-3, Jam Pelajaran Sejarah.

Suara kipas angin di langit-langit kelas berputar malas, beradu dengan suara Bu Siska yang sedang menjelaskan materi di depan kelas. Suasana siang yang terik membuat hampir seisi kelas mengantuk, tapi Celine merasakan kantuk yang berbeda.

"Jadi, Prabu Jayabaya itu dipercaya tidak benar-benar mati," suara Bu Siska terdengar, membahas legenda Kerajaan Kediri. "Ada kepercayaan bahwa beliau melakukan moksa. Menghilang raga dan sukma untuk kembali lagi di masa depan..."

Kata kembali lagi berdenging aneh di telinga Celine.

Kepalanya mendadak pusing hebat. Suara Bu Siska perlahan tenggelam, digantikan oleh dengungan lain. Bunyi gamelan yang bertalu-talu dari kejauhan, bercampur dengan suara angin hutan yang menderu.

"...Sari..."

Sebuah bisikan samar, serak seperti gesekan dahan kering.

Celine menopang dagu dengan tangan kirinya, berusaha tetap fokus. Tapi pandangannya kabur. Ruang kelas memudar menjadi siluet gelap.

"...pulang, Nduk..."

Suara itu makin dekat. Makin menuntut.

"...cucu Nini... ayo pulang..."

Celine merasa tubuhnya ditarik ke belakang, jatuh ke dalam sumur gelap yang sangat dalam. Dia mencoba melawan, tapi kelopak matanya terlalu berat.

Celine tertidur. Bukan tidur biasa, tapi "padam". Kesadarannya dicuri paksa.

"Celine Ardiana!"

Suara bentakan Bu Siska dan penggaris kayu yang dipukul keras ke meja membuyarkan kesunyian kelas.

BRAKK!

Teman-teman sekelas tersentak kaget. Vivi, teman sebangku Celine, sampai melompat kecil di kursinya. Tapi Celine tidak bergerak. Dia masih menunduk.

Bu Siska menghampiri meja Celine dengan wajah merah padam. "Celine! Kamu tidur di jam saya?!"

Perlahan, kepala Celine terangkat.

Vivi langsung menggeser kursinya menjauh saat melihat wajah teman sebangkunya.

Wajah Celine pucat pasi, seputih kertas. Tapi matanya melotot lebar, menatap lurus ke arah Bu Siska tanpa berkedip. Pupil matanya membesar, hitam pekat.

"Ulangi apa yang saya jelaskan barusan! Tentang orang mati yang kembali!" perintah Bu Siska galak, merasa diremehkan.

Bibir Celine bergerak kaku.

Suara yang keluar bukan suara permintaan maaf, bukan juga jawaban soal sejarah Jayabaya. Suara itu berat, datar, dan bergema dengan aura kuno yang mengerikan.

"Hong wilaheng... Sekaring bawana langgeng..."

Satu kelas hening seketika. Bu Siska mengernyit. "Kamu ngomong apa?"

Celine tidak berhenti. Dia lanjut merapal, matanya kosong menatap papan tulis seolah melihat gerbang dunia lain di sana.

"Rogo mati... Sukma bali... Tangi... Tangi... Tangi..."

Hawa dingin tiba-tiba menyergap ruangan kelas yang tadinya panas. Gorden jendela berkibar kencang padahal tidak ada angin dari luar. Lampu neon di langit-langit berkedip satu kali. Zrrrrt.

Itu bukan pelajaran sejarah. Itu seperti kidung kematian.

"Celine! Cukup!" Bu Siska merinding, merasa dipermainkan dengan hal klenik di siang bolong. "Kamu kesurupan atau ngejek saya?! Keluar kamu! Cuci muka sekarang! Jangan masuk sampai jam saya selesai!"

Bentakan keras itu memutus transisi Nini. Seperti kabel yang dicabut paksa.

Celine mengerjap. Tubuhnya tersentak. Mata melototnya kembali normal, binar bingung mulai muncul. Dia menoleh kiri kanan, melihat seisi kelas menatapnya dengan wajah horor, dan Bu Siska yang murka di depannya.

"Eh? Maaf, Bu... Saya tadi..." Celine bingung. Dia tidak ingat apa-apa. "Saya ketiduran?"

"KELUAR!"

Di Lorong Sepi

Celine berdiri di lorong luar kelas dengan lutut lemas. Dia berjalan gontai menuju deretan jendela kaca yang memisahkan kelas dengan taman sekolah.

Dia menatap pantulan dirinya di kaca jendela yang gelap karena efek film kaca.

Di sana, bayangannya menatap balik. Wajah yang sama. Rambut yang sama. Seragam yang sama. Tapi Celine merasakan keterasingan yang luar biasa.

Lihat selengkapnya