Inang Kedua

Camèlie
Chapter #23

Bab 23 Perjamuan Tulang

Kamis Malam, Pukul 19.00 WIB.

Ruang Makan Keluarga Ardian.

Lampu kristal di atas meja makan memancarkan cahaya kuning hangat, memantul indah pada piring porselen dan sendok perak. Meja panjang itu penuh dengan hidangan lezat. Rina dan Ardian mengundang Raka makan malam sebagai ucapan terima kasih resmi karena sudah "menjaga" Celine.

Raka duduk berhadapan dengan Celine.

Celine tampak cantik malam itu. Rambut panjangnya digerai rapi, mengenakan gaun rumah berwarna krem yang sopan. Dia tersenyum manis, menyendok makanannya dengan anggun.

Terlalu anggun. Terlalu mekanis.

"Ayo dimakan, Nak Raka. Jangan sungkan," ujar Rina ramah, meski kantung matanya menyiratkan kelelahan luar biasa. "Tante masak Sop Buntut kesukaan Celine. Spesial, dagingnya Tante pilih yang paling empuk."

"Terima kasih, Tante," Raka mengangguk sopan.

Suasana makan malam itu terasa ganjil. Ardian berusaha mencairkan suasana dengan bertanya soal sekolah dan rencana kuliah, tapi Raka sulit fokus. Matanya terus melirik Celine.

Gadis itu makan dengan tempo yang konstan. Sendok masuk, mulut terbuka, kunyah tiga kali, telan. Begitu terus.

Namun, saat Raka tak sengaja melihat pantulan wajah Celine di permukaan cembung sendok perak di tangannya... jantungnya berdesir.

Di pantulan itu, Celine tidak sedang makan dengan sopan. Bayangan di sendok itu menyeringai lebar hingga ke telinga, menatap Raka dengan tatapan lapar yang tidak tertuju pada makanan, melainkan pada energi di sekitarnya.

Ting.

Sendok Celine menyentuh dasar piring. Kosong. Bersih licin tanpa sisa kuah setetes pun.

Celine mendongak. Hidungnya bergerak-gerak pelan, mengendus udara seperti hewan yang mencium bau darah. Tatapannya terpaku lurus ke arah dapur, tempat aroma daging sapi menguar kuat.

"Celine, mau tambah?" tawar Rina melihat piring anaknya sudah bersih.

"Mau," jawab Celine datar. Suaranya sedikit serak. "Lapar."

"Bentar ya, Mama ambilkan lagi dari panci di dapur. Biar kuahnya dapet yang panas."

Rina berdiri membawa mangkuk kosong menuju dapur yang letaknya tak jauh dari ruang makan, hanya terpisah sekat lemari hias.

Hening sejenak di meja makan.

Ardian meletakkan sendoknya, menatap Raka serius. "Om dengar dari wali kelas, nilai kamu bagus semua, Raka. Rencana mau ambil jurusan apa nanti? Nerusin jejak Bapakmu di... bidang itu?"

Raka menoleh sebentar ke arah Ardian untuk menjawab sopan. "Enggak, Om. Saya rencana ambil Arsitektur. Bapak nggak pernah mau saya jadi—"

Ucapan Raka terhenti.

Dia menoleh kembali ke depan. Kursi di hadapannya kosong.

Tidak ada suara kursi bergeser. Tidak ada suara langkah kaki. Dalam hitungan dua detik saat Raka menoleh ke Ardian, Celine sudah menghilang dari kursinya tanpa suara sedikit pun, seolah dia melayang.

"Lho? Celine mana?" Ardian bingung.

Belum sempat Raka menjawab, terdengar suara KLONTANG keras dari arah dapur. Panci logam jatuh beradu dengan lantai keramik.

Diikuti jeritan Rina yang memekakkan telinga.

"AAAAAA!! MAS!!"

Raka dan Ardian melompat dari kursi. Mereka berlari sekencang mungkin menuju dapur.

Keserakahan

Pemandangan di dapur itu membekukan darah mereka.

Panci besar berisi Sop Buntut yang kuahnya masih mendidih kini terguling miring di atas kompor. Apinya sudah mati, tapi uap panasnya masih mengepul tebal.

Rina terduduk lemas di lantai, menutup mulutnya dengan wajah ngeri, tubuhnya gemetar hebat menunjuk ke arah kompor.

Dan Celine... dia berdiri di depan panci panas itu.

Dia tidak memakai sendok, centong, atau mangkuk. Tangan kanannya langsung merogoh masuk ke dalam kuah sop yang masih meletup-letup.

Cesss...

Lihat selengkapnya