Suara jangkrik di pekarangan rumah tua itu menjadi satu-satunya pengisi keheningan. Raka duduk bersila di bale-bale bambu, menatap lekat-lekat Kalung Kayu Stigi di tangannya. Liontin itu seharian ini terasa panas, seolah menyimpan amarah yang tak kunjung padam.
"Budhe," panggil Raka pelan, memecah kesunyian.
Budhe Narti meletakkan cangkir teh melatinya. "Iya, Le?"
"Kenapa kalung ini reaktif banget sama Celine? Raka sering liat hantu lain, bahkan sering papasan sama orang yang punya 'bawaan', tapi kalung ini biasanya adem ayem aja."
Raka menatap wanita tua itu, keningnya berkerut mengingat kejadian di rumah sakit.
"Apalagi pas di ICU kemarin. Jujur, Raka nggak nyangka efeknya bakal sekuat itu, Budhe. Raka cuma modal nekat, nempelin tangan ke kaca karena udah kepepet."
Raka menelan ludah, mengingat betapa mengerikannya sosok Nini saat itu.
"Tapi begitu kalung ini aktif... Nini langsung berhenti. Raka sendiri kaget. Padahal energinya di ruangan itu gede banget. Kenapa dia takut banget sama kalung kecil ini? Apa karena ini Kayu Stigi?"
Budhe Narti tersenyum tipis, namun matanya tidak menyiratkan kegembiraan.
"Stigi memang 'Raja Kayu' yang ditakuti makhluk tanah, Le. Tapi kalau cuma Stigi biasa, demit sekuat itu mungkin cuma bakal geli."
Budhe mencondongkan tubuhnya, menunjuk liontin di tangan Raka.
"Kalung itu ampuh karena isinya. Bapakmu bukan cuma ngasih kayu. Bapakmu meninggalkan sumpah di dalamnya."
"Sumpah?"
"Iya. Bapakmu tau Nini dendam padanya. Jadi, Bapakmu memindahkan sebagian energinya ke kalung itu. Energinya spesifik dibuat untuk Nini." Budhe menjelaskan dengan nada serius.
"Ibaratnya, bagi hantu lain itu cuma kayu. Tapi bagi Nini, itu adalah bara api dari neraka. Itu satu-satunya benda di dunia ini yang bisa membakar kulitnya. Meski mungkin nggak bisa membunuhnya."
Raka terdiam, menatap kalung itu dengan pandangan baru. Jadi ini bukan sekadar perisai. Ini senjata yang didesain khusus oleh ayahnya untuk musuh bebuyutan. Pantas saja.
Budhe melanjutkan, wajahnya berubah semakin gelap.
"Tapi kamu harus tau kenapa Bapakmu seniat itu, Raka."
"Kenapa?"
"Karena Nini bersumpah akan menghancurkan keturunan Damar."
Budhe memperbaiki posisi duduknya.
"Sepuluh tahun lalu, Bapakmu membuat Pagar Gaib di badan seorang bocah 5 tahun. Tujuannya biar Nini nggak bisa masuk dan mengambil alih sukma anak itu. Pas Bapakmu menutup pintu itu, Nini marah besar.
Dia bersumpah: 'Dasar penghalang! Kamu pisahkan aku dari cucuku! Aku tandai darahmu, Damar. Kalau aku tidak bisa ambil cucuku sekarang, aku akan hancurkan kamu lewat keturunanmu.'"
DEG.
Darah Raka berdesir hebat. Jantungnya seakan berhenti berdetak sesaat.
"Keturunan Damar..." bisik Raka. "Itu aku."