Ruang Rawat Inap VVIP Rumah Sakit
Bau antiseptik menyambut Raka saat ia melangkah masuk. Di atas ranjang, Celine tampak ringkih. Tangan kanan dan sebagian bibirnya dibalut perban putih.
"Hai, Kak..." sapa Celine. Suaranya sengau, tertahan oleh bengkak di wajahnya. Meski begitu, matanya berbinar melihat kedatangan Raka.
Raka duduk di kursi samping ranjang, meletakkan kantong buah di nakas. "Gimana kondisimu?"
"Sakit, Kak. Perih banget kalau efek obatnya hilang," Celine mengangkat tangan kanannya yang terbebas dari selimut. "Mama bilang aku ceroboh. Katanya semalam aku mau nambah sop di dapur terus kesiram sendiri. Tapi aneh... aku sama sekali nggak ingat kejadiannya. Aku cuma ingat kita makan malam, terus tiba-tiba... blank."
Raka hanya tersenyum getir, mengiyakan kebohongan orang tua Celine demi menjaga kewarasan gadis itu. Namun, pandangan Raka terhenti pada leher Celine. Di sana, melingkar sebuah kalung kayu tua yang kontras dengan baju pasiennya yang modern.
"Aku juga baru sadar pas bangun tadi, aku pakai kalung Kakak," Celine menyentuh liontin kayu itu dengan tangan kirinya. "Kakak kasih ini pas aku pingsan ya?"
Tiba-tiba, mata Celine membelalak. Ia meringis kecil sambil memegang lehernya. "Aduh... panas."
Raka tersentak. Di saat yang sama, dadanya terasa hampa. Biasanya, setiap kali ia berada di dekat Celine, kalung itu akan berdenyut hangat, peringatan yang tak pernah ia abaikan.
Tapi sekarang, situasinya terbalik.
"Kalungnya... tiba-tiba anget pas Kakak duduk di sini," bisik Celine heran. Ia menatap Raka dengan tatapan yang sulit diartikan. "Dan ada yang aneh, Kak. Biasanya, tiap kali aku bareng Kakak, aku selalu merasa dingin. Kayak ada es yang nempel di punggungku. Tapi sekarang... dingin itu hilang. Malah aku ngerasa... Kakak yang kelihatan 'dingin' sekarang."
Raka terpaku. Punggungnya terasa kosong—lalu dingin. Ia sadar apa yang terjadi. Perlindungan itu sudah berpindah. Sesuatu kini menanti celah untuk menyerangnya.
"Jaga kalung itu baik-baik, Cel. Jangan dilepas, apa pun yang terjadi," pesan Raka dengan nada rendah yang sangat serius. "Itu jimat keberuntungan yang bisa bikin kamu tetap merasa hangat."
Sabtu Dini Hari, 02.45 WIB.
Kamar Raka
Tanpa Kalung Stigi, kamar Raka terasa seperti lemari es. Dulu, dingin itu selalu berada di dekat Celine. Sekarang, dingin itu menunggu dirinya sendiri. Hujan rintik di luar membuat suasana makin mencekam. Raka duduk di sudut kasur, mencoba tetap terjaga dengan bantuan kopi hitam ketiga.
Ia tahu risikonya. Tanpa pelindung, ia adalah mangsa empuk. Namun, kelelahan fisik setelah menguras energi untuk menyelamatkan Celine tak bisa dikompromi.
Pukul 02.50, pertahanan Raka runtuh. Ia jatuh tertidur dalam posisi duduk yang tidak nyaman.
Teng... Teng... Teng...
Jam dinding di ruang tengah berdentang tiga kali. Witching hour.
Raka tersentak bangun—atau setidaknya, jiwanya bangun. Matanya terbuka lebar, tapi seluruh tubuhnya terasa seberat timah. Ia ingin menggerakkan jari, tapi kaku. Ia ingin berteriak, tapi lidahnya seperti kelu terlipat.
Tindihan.
Hawa dingin yang tadi dirasakan Celine kini berpindah sepenuhnya ke kamar ini. Bau tanah kuburan yang basah dan anyir darah menyeruak masuk ke indra penciumannya.
Kreeeek...