Inang Kedua

Camèlie
Chapter #26

Bab 26 Menuju Desa Girah

Stasiun Pasar Senen.

Hiruk pikuk stasiun pagi itu tidak mampu mengusir rasa sepi di hati Raka. Ia berdiri di peron, tas gunung besar tersampir di bahunya. Isinya sederhana: pakaian ganti, senter, golok peninggalan Bapak, dan beberapa bungkus garam kasar dari Budhe.

Sebelum naik ke kereta ekonomi tujuan Jawa Timur, Raka mengeluarkan ponselnya. Ia menatap layar sebentar, ragu, lalu menekan tombol panggil.

Tuut... Tuut...

"Halo, Kak Raka?" Suara Celine terdengar cerah, meski masih sedikit sengau.

Hati Raka mencelos. "Halo, Cel. Udah bangun?"

"Udah dong. Hari ini dokter bolehin aku pulang, lho! Katanya lukanya cepet kering. Kakak mau mampir nanti sore?"

Raka menggigit bibir bawahnya. Ia menatap gerbong kereta di depannya. Kereta yang akan membawanya menjauh ratusan kilometer.

"Sorry ya, Cel. Hari ini aku nggak bisa jenguk," kata Raka pelan, berusaha terdengar senormal mungkin. "Budhe minta tolong sesuatu... urusan keluarga di luar kota. Mungkin menginap."

"Yah..." Nada kecewa terdengar jelas. "Yaudah deh. Salam buat Budhe ya, Kak. Hati-hati di jalan."

"Iya. Kamu juga. Inget pesen aku: jangan pernah lepas kalungnya, apa pun yang terjadi."

"Siap, Kak! Aman kok."

Telepon ditutup. Raka mematikan ponselnya dan mencabut kartu SIM-nya. Ia tidak mau terlacak, dan ia tidak mau tergoda untuk menelepon lagi.

Raka naik ke dalam kereta. Duduk di dekat jendela, ia menatap wajah Jakarta yang perlahan bergerak mundur.

Ia merasa telanjang tanpa Kalung Kayu Stigi di lehernya, tapi tekad di dadanya jauh lebih panas dari kayu itu. Ia meninggalkan Celine dalam keadaan aman—relatif—untuk memastikan keamanan itu benar-benar permanen.

"Gue bakal balik," bisiknya pada pantulan kaca yang berembun.

Desa Girah, Perbatasan Nganjuk - Kediri.

Perjalanan itu menyiksa fisik. Setelah kereta ekonomi yang keras, bus mikro yang pengap, dan ojek pangkalan yang membelah hutan jati selama satu jam, Raka akhirnya sampai.

Desa Girah adalah desa tua yang terpencil. Udaranya lembap, berat, dan sunyi. Rumah-rumah di sini masih berbentuk joglo tua dengan dinding anyaman bambu. Pohon-pohon besar menaungi jalan setapak, seolah menyembunyikan desa ini dari dunia luar. Sinyal HP timbul tenggelam.

Raka berhenti di depan sebuah rumah kayu besar di ujung desa, tepat di perbatasan hutan lindung. Di halaman depannya berdiri pohon beringin tua dengan akar-akar menggantung hingga tanah, menciptakan tirai alami yang gelap dan rapat.

Ini rumah Mbah Suro, juru kunci yang tertulis dalam jurnal Bapak.

Raka mengetuk pintu kayu tebal itu.

"Kulonuwun..."

Hening sejenak.

Lalu terdengar langkah kaki diseret.

Srek... Srek...

Pintu terbuka. Seorang kakek tua muncul dengan punggung bungkuk dan mata memutih karena katarak. Ia bertelanjang dada, kulitnya keriput dan kering seperti kulit kayu jati yang lama terpapar matahari.

"Sopo kowe?" Suaranya serak, seperti gesekan batu kali.

"Saya Raka, Mbah. Anaknya Pak Damar."

Mendengar nama itu, ekspresi datar sang kakek berubah. Kepalanya maju-mundur perlahan, hidungnya mengendus udara di sekitar Raka seperti hewan liar yang mencium jejak darah. Mata kataraknya terpaku pada luka di leher Raka.

"Baumu podo..." gumamnya. "Bau darah pemburu... yang sedang diburu." Tangannya yang kasar menunjuk leher Raka. "Dia sudah mencicipi kulitmu di kota. Sekarang dia menunggu sisanya di sini. Mlebu. Cepet. Hutan sedang lapar."

Kebenaran yang Terbakar

Di ruang tamu yang remang-remang, hanya diterangi lampu minyak, Raka duduk di tikar pandan. Aroma kemenyan sisa pembakaran semalam masih tercium, bercampur bau kayu tua dan tanah lembap.

Raka menceritakan semuanya tanpa ditutup-tutupi: Celine yang dirasuki, Nini yang hampir membunuhnya, kalung yang retak, dan niatnya membakar Pohon Akar Merah.

"Saya mau bakar pohon itu, Mbah," kata Raka tegas, tangannya mengepal di atas lutut. "Biar putus akarnya. Biar dia mati."

Mbah Suro mendengarkan sambil mengunyah sirih. Tiba-tiba ia tertawa. Tawa yang kering, pendek, dan terasa kosong.

"Mbakaran?" Ia menggeleng pelan, lalu meludah ke wadah kuningan. "Le, le... kalau pohon itu bisa mati cuma dengan api, pohon itu sudah musnah sejak lama."

Raka terdiam. "Maksudnya?"

Mbah Suro lama tidak bicara. Lampu minyak di antara mereka berkedip pelan. Api kecilnya naik-turun, memantul di dinding bambu yang kusam, menciptakan bayangan panjang yang tampak seperti bergerak di belakang punggung sang tetua.

Lihat selengkapnya