Ruang Keluarga Ardian
Raka duduk di sofa dengan bahu merosot. Ia baru saja tiba dari Stasiun Gambir, masih mengenakan pakaian lapangan yang sama seperti kemarin: kaos hitam yang apek dan celana kargo penuh debu jalanan. Wajahnya kusut, matanya merah karena kurang tidur di kereta ekonomi.
Di hadapannya, Ardian dan Rina duduk mendengarkan dengan wajah tegang. Celine sedang tidur di kamarnya—Kalung Kayu Stigi masih melingkar aman di lehernya, memberikan kedamaian yang semu di rumah mewah itu.
Raka menceritakan semuanya tanpa ada yang ditutupi.
Tentang Mbah Suro. Tentang sejarah kelam Nyi Laras yang dibakar hidup-hidup. Tentang ilusi suara Celine yang hampir mencelakainya. Dan tentang fakta mengerikan bahwa Pohon Akar Merah itu kebal api karena telah “memakan” api itu sendiri selama puluhan tahun.
“Jadi…” suara Rina bergetar, tangannya menutup mulut yang menganga ngeri. “Sosok yang selama ini mengejar anak kita… itu arwah seorang nenek yang kehilangan cucunya?”
Raka mengangguk lemah. “Iya, Tante. Dia menderita. Dan pohon itu… pohon itu menyerap semua dendam dan penderitaannya selama puluhan tahun. Warga desa sudah mencoba membakar, menebang, dan meracuni. Nihil. Pohon itu malah makin besar.”
Ia menatap Ardian dengan tatapan putus asa.
“Saya buntu, Om. Saya tahu letak musuhnya di Kembang Kuning tapi saya tidak tahu cara membunuhnya. Mbah Suro bilang, kalau saya memaksa menebang dengan golok biasa, saya yang akan mati dimakan akar. Saya pulang karena saya butuh rencana lain—bukan bunuh diri konyol.”
Keheningan menyelimuti ruangan itu. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar, berdetak pelan seperti menghitung waktu yang tersisa.
Ardian diam, bersedekap dada. Kacamata bacanya memantulkan cahaya lampu. Otak akademisinya berputar cepat, memaksa laporan Raka masuk ke dalam kerangka logika sains yang selama ini ia yakini.
Batang putih seperti tulang.
Akar merah seperti darah.
Menyerap bahan organik.
Kebal api.
“Tunggu,” gumam Ardian.
Ia berdiri dan berjalan pelan ke arah jendela yang menghadap taman belakang.
“Raka, kamu bilang pohon itu ada di tengah Hutan Kembang Kuning? Di dekat sumur tua?”
“Iya, Om. Kata Mbah Suro, di situ pusatnya.”
Ardian berbalik. Wajahnya memucat, tetapi matanya menyala—seolah sebuah pengakuan lama akhirnya menemukan jalan keluar.
“Om pernah melihat pohon itu.”
Raka dan Rina menoleh bersamaan.
“Maksud Mas?” tanya Rina. “Kamu nggak pernah cerita soal pohon.”
Ardian menghela napas panjang. Ia menatap istrinya lekat-lekat, lalu menunduk, suaranya sarat penyesalan.
“Ingat waktu kita pindah ke Nganjuk beberapa tahun lalu, Rin? Hari pertama kita sampai di rumah dinas?”
Rina mengangguk perlahan.
“Sejak awal aku sudah punya firasat,” lanjut Ardian. “Hutan di belakang rumah itu… rasanya tidak benar. Terlalu sunyi. Terlalu rapat. Seperti menyimpan sesuatu.”
Ia menelan ludah.
“Sore itu, aku ajak Celine jalan-jalan ke pinggir hutan. Niatnya cuma mengenalkan lingkungan. Tapi aku ingat betul, sebelum masuk, aku sempat ragu. Ada rasa tidak enak yang aku abaikan.”