Inang Kedua

Camèlie
Chapter #28

Bab 28 - Anatomi Memori

Ruang Kerja Ardian

Hujan turun tanpa jeda, memukul atap seng dengan irama datar seperti derau radio rusak. Suara itu menutup dunia luar. Di dalam ruang kerja yang dingin, hanya ada dengung lampu mikroskop dan detak jam dinding yang terasa terlalu keras.

Ardian menggeser kaca preparat ke bawah lensa. Jarinya berhenti sesaat di knop fokus, seolah ragu.

Perbesaran 400x.

Sebagai botanis, ia tahu betul seperti apa seharusnya sel tumbuhan terlihat. Dinding sel yang kaku. Pola geometris yang tertib. Kehidupan yang, meski kompleks, tetap patuh pada bentuk.

Apa yang muncul di bawah lensanya tidak patuh pada apa pun.

Akar: Daging yang Mengingat

Ardian menahan napas.

Jaringan itu tidak memiliki dinding sel yang jelas. Tidak ada batas tegas. Bentuknya lonjong, lentur, dan bergerak—bukan tumbuh, melainkan bergerak, seperti sesuatu yang menghindari sentuhan.

Membrannya tipis, hampir transparan. Di dalamnya, cairan merah keruh mengalir pelan, seolah ada denyut yang terlalu lambat untuk disebut jantung.

Ini tidak menyerupai akar.

Ini menyerupai sesuatu yang pernah menjadi bagian dari makhluk hidup lain.

Di antara cairan merah itu, Ardian melihat bintik-bintik hitam halus. Polanya membuat perutnya mengencang.

Karbon.

Bukan dari tanah. Bukan dari kayu. Ini jejak pembakaran biologis—sisa panas ekstrem yang pernah mengubah sesuatu menjadi abu.

Akar ini tidak sekadar tumbuh di tanah. Ia tumbuh di atas sisa peristiwa.

Minyak kulit yang terbakar. Tulang yang retak oleh panas. Lonjakan kimia tubuh di detik-detik terakhir sebelum mati. Semua itu tidak hilang. Semuanya diserap, disimpan, dan dipertahankan.

Lampu mikroskop menyinari preparat itu sedikit lebih lama.

Sel-sel merah itu berkerut.

Menjauh.

Ardian tersentak mundur.

“Tidak mungkin…”

Mereka bereaksi terhadap cahaya. Terhadap panas.

Seolah-olah sesuatu di dalamnya masih mengingat api.

Trauma itu tidak pernah sembuh. Ia tidak memudar. Ia diawetkan—dipelihara—menjadi bagian dari struktur organisme ini.

“Kau tidak tumbuh,” gumam Ardian, suaranya serak. “Kau menyimpan.”

Dan pikirannya menolak menjawab pertanyaan yang muncul sesudahnya.

Batang: Kulit yang Mengenali

Ardian beralih ke irisan kulit batang yang pucat. Warnanya bukan putih kayu, melainkan putih yang sakit—seperti kulit yang terlalu lama terendam air.

Ia meneteskan reagen.

Permukaan itu mendesis pelan. Terlalu pelan.

Lihat selengkapnya