Bungkusan plastik berisi Garam Krosok itu tergeletak di meja marmer yang dingin, di antara botol-botol bahan kimia berbahaya. Butiran kristalnya yang kasar dan kusam terlihat kontras dengan peralatan laboratorium yang mengkilap.
Ardian menatap garam itu, lalu menatap Raka.
"Garam?" Ardian skeptis. "Raka, Om baru saja menyiramnya dengan asam klorida dan dia malah 'makan'. Kamu pikir bumbu dapur bisa membunuhnya?"
"Ini bukan bumbu dapur biasa, Om. Ini Garam Krosok murni yang sudah didoakan Budhe," kata Raka keras kepala. "Semalam Nini lari terbirit-birit cuma karena dilempar garem ini. Kulitnya melepuh."
Raka menunjuk toples sampel akar yang masih berdenyut mengejek.
"Makhluk itu hidup dari energi negatif. Garam ini penetral. Secara mistis, ini racun buat dia."
Ardian terdiam. Dia ilmuwan, tapi dia juga baru saja melihat akar tanaman memakan api. Logika lamanya sudah runtuh. Dia membetulkan kacamata kerjanya, otaknya berputar mencari jembatan antara dua dunia ini.
"Secara teori..." gumam Ardian pelan. "Garam punya sifat higroskopis. Dia menyerap air. Kalau konsentrasinya tinggi, dia bisa bikin sel pecah karena dehidrasi ekstrem."
Ardian mengambil sedikit serpihan akar yang masih hidup, meletakkannya di cawan petri.
Raka menaburkan butiran garam kasar di atasnya.
CESS...
Asap tipis berbau belerang mengepul. Akar itu menggeliat kecil.
Ardian segera melihat ke mikroskop.
"Berhasil..." bisik Ardian. "Dinding selnya retak. Cairan merahnya bocor!"
Tapi sedetik kemudian, wajah Ardian berubah keruh.
"Sial. Dia beradaptasi."
Di layar mikroskop, sel-sel akar di lapisan bawah—yang tidak kena garam langsung—segera memproduksi lendir tebal. Lendir itu mengeras, membungkus butiran garam, mengisolasinya agar tidak masuk lebih dalam.
"Dia bikin benteng lendir," umpat Ardian. "Garamnya cuma ngerusak kulit luar. Intinya tetep aman."
Raka menghembuskan napas kasar. "Berarti tetep nggak bisa?"
Ardian mondar-mandir di ruangan sempit itu. Mondar-mandir... lalu berhenti mendadak di depan rak bahan kimia. Matanya berbinar menatap sebuah botol kaca cokelat.
"Masalahnya bukan senjatanya, Raka. Senjatanya udah bener: Garam. Masalahnya adalah delivery system-nya."
"Maksudnya?"
Ardian menyambar botol itu. Labelnya bertuliskan: DMSO (Dimethyl Sulfoxide).
"Kalau kita cuma tabur garem, pohon itu bakal bikin tameng lendir. Kita butuh Kuda Troya."
Ardian menunjukkan botol itu pada Raka. "Ini pelarut organik keras. Sifat ajaibnya: dia bisa menembus kulit, membran sel, bahkan kayu, dalam hitungan detik tanpa merusak jaringannya. Dokter sering pake ini buat bawa obat masuk ke dalem tulang tanpa suntikan."
Raka mulai paham. Senyum tipis muncul di bibirnya.
"Kita bikin larutan jenuh," lanjut Ardian, tangannya bergerak cepat menyiapkan gelas ukur. "Garam Krosok 'sakti' kamu ini kita larutkan ke dalam DMSO konsentrasi tinggi."
"DMSO bakal jadi kurirnya. Dia bakal menipu sel pohon itu, menembus dinding lendirnya, lalu... BOOM. Dia meledakkan muatan garamnya tepat di dalam inti jantungnya."
"Racun Hybrid," gumam Raka merinding. "Sains bawa kendaraannya, Mistis bawa bomnya."
"Tepat."
Jeritan dari Toples
Suasana tegang. Bunyi gelas ukur beradu.
Ardian menuangkan DMSO ke dalam gelas beker. Cairan bening itu berbau seperti bawang putih.
Raka menuangkan Garam Krosok ke dalamnya.
Saat kedua bahan itu bersatu, reaksinya aneh.
Cairan itu tidak mendesis panas. Cairan itu mendidih dingin. Warnanya berubah menjadi putih keruh yang berkilau, seperti susu yang bercahaya.
"Larutan jenuh 80%," lapor Ardian.
Dia mengambil pipet kaca panjang. Dia menyedot larutan Racun Hybrid itu.
Tangan Ardian gemetar, tapi dia memaksanya stabil.