Kamar Tidur Celine
Suasana kamar itu seperti ruang ICU darurat yang hening dan dingin. Bau alkohol medis menguar kuat, menggantikan aroma bunga kantil yang biasanya tercium samar.
Celine terbaring tak sadarkan diri di atas kasur. Wajahnya pucat pasi, bibirnya membiru tipis. Sebuah selang infus tertancap di punggung tangan kirinya, meneteskan cairan nutrisi dan penenang dosis rendah untuk menjaganya tetap stabil.
Monitor detak jantung portable di atas nakas berbunyi pelan namun konstan, menjadi satu-satunya penanda kehidupan di ruangan itu.
Beep... beep... beep...
Raka berdiri di sisi tempat tidur, menatap gadis yang nyaris mati karenanya semalam.
Tatapan Raka tertuju pada leher Celine.
Kalung Kayu Stigi itu masih melingkar di sana, tapi kondisinya mengenaskan. Retakan besar yang muncul semalam kini terlihat menganga, seolah kayu itu baru saja ditebas kapak tak kasat mata. Warnanya kusam, abu-abu mati, energinya sudah terkuras habis-habisan menahan gempuran dari dalam darah Celine.
Maafin gue, Cel, batin Raka. Gue janji ini terakhir kalinya lo sakit.
Ardian masuk ke kamar membawa sebuah koper medis kecil berwarna perak. Wajahnya keras, tanpa ekspresi, seperti seorang jenderal yang akan mengirim pasukannya—termasuk keluarganya sendiri—ke misi bunuh diri.
Rina menyusul di belakangnya, matanya bengkak tapi kering. Dia sudah kehabisan air mata.
"Dengarkan aku baik-baik, Rin," suara Ardian tegas, memecah keheningan pagi.
Ardian membuka koper itu di atas meja rias Celine.
Di dalamnya terdapat benda-benda yang akan menentukan hidup mati anak mereka:
Dua buah suntikan yang sudah diisi cairan bening.
Sebuah Telepon Satelit berwarna hitam tebal dengan antena panjang.
"Ini bukan HP biasa," Ardian mengangkat telepon hitam itu. "Ini telepon satelit. Sinyalnya tembus hutan dan cuaca buruk. Jangan pernah matikan alat ini. Jangan pernah jauh dari alat ini, bahkan saat ke toilet."
Rina mengangguk pelan. Dia menerima telepon itu dengan tangan gemetar, menggenggamnya seolah itu adalah detak jantung anaknya.
"Nanti siang, saat aku dan Raka sudah di posisi di tengah hutan..." Ardian menunjuk suntikan pertama yang berlabel merah.
"Aku akan telepon kamu. Ingat, Rin. Di detik aku bilang 'SEKARANG', kamu tidak boleh ragu. Kamu harus suntikkan obat ini ke selang infus Celine. Langsung habiskan."
"Ini apa, Mas?" tanya Rina lirih, menatap cairan bening itu ngeri.
"Kombinasi Propofol dan Atropin dosis tinggi," jelas Ardian tanpa berkedip. "Ini akan mematikan kesadaran Celine total. Obat ini akan memblokir semua reseptor saraf di otaknya. Dia akan masuk ke dalam koma buatan selama kurang lebih 10 sampai 15 menit."