Sudah setengah jam terakhir aku mengisi kekosongan dengan memperhatikan dokter muda yang tengah sibuk mondar-mandir sekitar lima meter dari tempatku duduk. Dia terlihat letih sekali. Bayangan hitam dan kantung mata menghiasi wajah putih manisnya. Hijab merah muda yang ia kenakan terlihat kusut dan lepek. Beberapa helai rambut terlihat keluar dari bagian depan celah hijabnya. Walau begitu, dia tampak tetap istiqamah mempertahankan senyum ramahnya pada setiap pasien dan perawat yang menghampiri untuk bertanya padanya yang tengah sibuk menulis data pasien dalam rekam medis1 di nurse station2 di ruang tunggu poliklinik THT3 yang ramai dan sumpeknya sudah nyaris mengalahkan pasar pagi. Ruang tunggu ini memang diperuntukkan bagi tiga poliklinik sekaligus – dua lainnya adalah poliklinik mata dan kulit. Beberapa pasien bahkan terlihat harus berdiri serta duduk-jongkok demi menunggu giliran untuk dipanggil ke dalam ruang poliklinik yang dituju.
Diam-diam aku merasa lega karena memutuskan untuk menurut ketika semalam dipaksa oleh adikku, Yuda, untuk berangkat subuh dari rumah. Namanya rumah sakit pemerintah, rujukan lagi, pasti yang antri banyak. Kasihan tuan putri jika harus berdiri menunggu berjam-jam hanya untuk beberapa menit pemeriksaan, Mbak.
Tuan putri yang dimaksud itu kini sedang pulas terlelap di atas pangkuanku. Wajah kecil peranakan Indonesia-Amerika itu terlihat tenang. Nafasnya teratur dan dalam. Hal kecil seperti ini mungkin luput dari perhatian orang tua lainnya. Tapi bagiku – bagiku yang hampir setiap malam menyaksikan putriku kehilangan nafasnya ketika tidur – bisa merasakan nafas lembut miliknya adalah buah hadiah terindah dari Yang Maha Kuasa.
Aku menyibakkan rambut cokelat dari wajahnya yang kini sudah lepek dengan keringat. Dengan kurang lebih 70 hingga 80 orang di dalamnya, ruang tunggu seluas 10 x 15 m yang hanya difasilitasi dengan 4 AC ini lama-lama terasa cukup pengap dan panas juga.
“Mama,” kedua mata biru cemerlang itu menatapku dengan tatapan mengantuk. Suaranya serak pasca-terlelap sekitar dua jam tadi. Lumayan, jarang-jarang gadis kecil ini berkesempatan untuk memiliki tidur yang berkualitas. Sekarang ia tengah berusaha bangkit dari posisi terlentangnya.
“Halo bule cantik,” aku mengecup kedua pipi ranumnya yang dipenuhi freckles. “Panas ya? Mau cuci muka dulu?” Aku mengipas daerah lehernya dengan kipas lipat yang sedari tadi kugunakan untuk membuatnya tertidur dengan nyaman.
“Masih lama ya Ma? Tania haus.” Aku menyodorkan botol minum yang sengaja aku bawa dari rumah. “Insha Allah sebentar lagi, ya, Nak. Sayang udah jauh-jauh, tapi malah ga sempet ketemu dokternya. Habis ini kita pergi makan, ya.” Sekarang ia tengah termenung, setelah sukses meneguk ¾ isi botol minum yang aku kemas untuknya. Masa-masa mengumpulkan nyawa pasca-bangun tidur, kalau kata orang. Hanya saja, bagi Tania, termenung kini menjadi bagian dari kesehariannya. Berkali-kali aku dihubungi wali kelasnya yang prihatin dengan kebiasaan Tania termenung, tak jarang hingga tertidur, di dalam kelas selama hampir satu tahun terakhir ini. Penjelasan adikku, Yuda, kembali terngiang. Itu OSAS, Mbak –Obstructive Sleep Apnea Syndrome. Mengantuknya itu karena tidurnya keputus-putus terus karena nggak dapet oksigen. Ya, karena ada ganjalan itu, Mbak. Bahaya kalau dibiarkan, nanti otaknya malah nggak berkembang karena nggak dapet oksigen. Worst case scenario bisa gagal nafas, Mbak, kalo ganjalannya makin besar. Segera ke THT saja, Mbak, biar diangkat ganjalannya.
“Tania. Anak Tania,” suara tersebut halus, namun tegas memanggil, bersumber dari nurse station – dekat dari tempat kami duduk. Aku refleks mengacungkan jari. “Saya, Mbak – eh, Dok..” aku buru-buru mengganti kata sapaan yang kugunakan ketika mengetahui suara tersebut adalah milik dokter mungil berhijab merah muda tadi. Ia tersenyum dan memberi isyarat agar kami tetap berada pada posisi kami duduk, sementara ia menghampiri.
“Selamat pagi, Bu. Saya dokter muda Anika. Saya yang sedang bertugas di Poli 3 THT, Bu. Dengan Ibu siapa?” Dokter itu mengatupkan kedua tangannya di depan dadanya dan mendekatkannya padaku untuk memberi salam.
“Saya Hanum, Dok. Saya Ibunya cewek cantik ini,” aku mengelus poni pada jidatnya. Dokter tersebut kembali tersenyum, kali ini terlihat sedikit geli. Tania masih termenung dan hanya membalas dengan sebuah helaan nafas.
“Halo cewek cantik. Maaf, ya, nunggu lama. Tapi sekarang dokter periksa kok. Hayuk masuk dulu ke ruangan yang itu, bareng sama kakak perawat dan Mamanya.” Ia menunjuk salah satu pintu dengan label angka tiga besar-besar terpajang di depannya.
“Ayo, tuan putri.” Aku menggamit lengan kecilnya.