“Belum ada yang bisa dikenalin ke Papa. Belum ada calon, Pa.” Perempuan berusia 24 tahun itu memelankan suaranya hingga berbisik tatkala matanya menangkap seorang perawat yang dikenalnya berjalan ke arahnya. Sempat dikatupkannya tangan kanannya pada ujung bawah handphone-nya seraya tersenyum pada perawat tersebut, yang memandangnya dengan tatapan penuh tanya, sebelum akhirnya ia memutar tubuhnya untuk menghadap tembok. Bahaya, bisa jadi bahan gosipan kalau kedengeran.
“Makanya lebih baik kakak coba ketemu dulu, ya, sama anaknya Ustadz Hakim yang tetangga kita itu. Dia lulusan S2 Jurusan Perbandingan Agama dari Yaman. Papa kemarin dengerin ceramahnya di masjid deket rumah sampai nangis, loh, kak.” Suara Papanya di seberang terdengar sepenuh hati meminta padanya. Anika melirik kanan-kiri, berusaha memastikan tidak ada lagi orang-orang yang dikenal berada di sekitarnya. Padahal ia sudah berusaha mencari tempat tersepi di gedung rawat inap ini, berharap tidak ada yang tiba-tiba menangkap dan menyeretnya untuk membantu menangani pasien ke-20 sesore ini. Kedua telapak kakinya sudah sangat pegal menopang tubuhnya yang harus berlari-lari ke sana ke mari untuk menangani para pasien dari pukul 7 pagi hingga 4 sore ini. Ia butuh sedikit istirahat – setidaknya untuk mendinginkan kepalanya yang sudah terlalu panas setelah dipakai berfikir seharian.
“Anika sudah dengar dari Mama. Insha Allah sudah tahu juga orangnya yang mana. Tapi, kenapa sih, harus buru-buru, Pa? Anika masih belum selesai kepaniteraan1. At least satu tahun lagi baru selesai.”
“Lalu apa? Mau ambil pendidikan spesialis atau S2, kan? Anika, pendidikan perempuan itu tidak harus tinggi-tinggi. Toh nantinya akan kembali ke dapur, stay di rumah untuk mengurus suami dan anak. Kamu jangan dengerin omongan Mamamu yang nggak bener.”
Anika menggeretakkan giginya. Geram. Kenapa ia kerap mendengar kalimat merendahkan dari Papanya sendiri? Bukankah seharusnya Papanya bangga punya anak yang berhasil lulus dengan predikat cum laude untuk pendidikan pre-kliniknya? Apa perjuangannya selama ini tidak dianggap hanya karena ia perempuan? Mengapa juga Papanya jadi membawa-bawa Mamanya dalam pembicaraan ini?
“Kok jadi Mama, sih, Pa? Mama nggak bilang apa-apa, kok.” Di ujung sana terdengar Papanya mencibir.
“Alah, Papa udah faham, kok, kak, Mamamu itu gimana. Kamu harus fikirkan suamimu kelak, kak. Kalau kamu S2 atau spesialis, sementara suamimu bukan, bagaimana perasaan dia?” Anika menghela nafas. Papanya ini memang spesial sekali, sangat out of the box pemikirannya. Suka nuduh, pula.
“Ya, kalau itu yang Papa khawatirkan, nanti Anika cari yang serba lebih dari Anika. Tapi, kan, nggak harus sekarang juga, Pa. Nanti kalau Anika menikah, lalu mertua minta momongan, sementara Anika masih kepaniteraan, kan, susah, Pa.” Anika sibuk memikirkan berbagai alasan lain. “Lagipula, Anika ini sudah cukup terlambat loh, Pa, masuk FK-nya karena pendidikan D3 Biokimia di Amerika dulu itu. Teman-teman seusia Anika sudah pada kerja sekarang. Kalau harus menikah sekarang, Anika takut keteteran lagi.”
Terdengar Papanya menarik nafas berat di ujung sana. “Anika, perempuan tidak mencari. Menurut agama, Papamulah yang berkewajiban untuk mencari pasangan untukmu. Lalu, memang kenapa kalau selesainya pendidikanmu harus tertunda? Tidak akan merubah banyak hal, toh, kamu juga pada dasarnya sudah terlambat.”
Kalau sudah begini, Anika malas sekali meladeni Papanya. Tiba-tiba ujung pandangan Anika menangkap pergerakan yang cukup dekat di sisi kanannya, membuatnya sontak menoleh. Seorang laki-laki yang juga mengenakan snelli2 menatapnya lekat dari jarak sekitar satu meter dari seberang tempat Anika berdiri. Sambil kedua lengannya bersedekap, dia menyandarkan bahu kanannya pada dinding. Dari raut wajahnya, terlihat ia sedang serius menyimak dan mereka-reka pembicaraan Anika. Tatapan mereka bertemu. Sejak kapan dia di sana?
“Pa, maaf, Anika dipanggil konsulen3. Nanti lagi ya bicaranya. Assalamualaikum.” Anika lekas menekan tombol merah pada layar handphone-nya tanpa menunggu jawaban dari seberang. Ia memalingkan pandangannya ke lelaki tadi yang kini bergerak semakin mendekat padanya.
“Amin! Konsulen bedah ortopedi ya, insha Allah. Sekarang, sih, belum. Gue nggak manggil lo, sih, tapi. Dilanjutin nggak apa-apa, loh, itu tadi sebenernya.” Anika mundur selangkah. Ia memandang lelaki tersebut dari atas hingga bawah.
Tinggi lelaki tersebut sekitar 180 cm. Tinggi Anika sendiri hanya mencapai dadanya. Badannya padat berisi, dengan otot terbentuk pada tempat-tempat yang sesuai. Bahkan, saat latihan pemeriksaan fisik abdomen dengannya, Anika mengetahui bahwa lelaki ini dikaruniai six pack yang maha indah. Lelaki itu kini mengenakan kemeja hitam berlengan pendek yang ujung bawahnya disisipkan di dalam celana krem courdorouy-nya. Ia masih terlihat sangat rapih walau hari sudah menjelang malam. Lelaki itu kini bergerak melepaskan snelli-nya.
“Kok, lo masih pake baju ini aja? Lo jaga, kan, malem ini bareng gue? Mau ganti baju kapan?” Anika tampak keheranan melihat pakaian yang dikenakan oleh Kresna, teman seangkatannya tersebut. Kresna sudah menjadi teman lelaki terbaiknya selama ia menempuh pendidikan kedokteran 3 tahun terakhir ini. Di mana ada dirinya, di sana ada Kresna. Teman-teman seangkatannya sudah faham betul hubungan baik yang terjalin di antara mereka, sampai-sampai setiap kocokan jaga malam, teman-temannya sudah tidak perlu repot-repot mengocok nama mereka berdua, dan langsung menempatkan mereka untuk jaga malam bersama. Yah, selain juga karena tidak semua teman-teman seangkatannya yang perempuan nyaman dengan kehadiran Kresna di dekat mereka. Kresna memang dikenal sebagai seorang charmer dengan karsima semerbak. Tidak sedikit teman-teman sekelasnya yang mengadu pada Anika setelah di-PHP-in oleh sahabatnya ini. Banyak yang lantas sakit hati dan memilih untuk tidak lagi berurusan dengan Kresna. Tapi yang bersangkutan cuek-cuek saja tanpa sedikitpun rasa bersalah tersisa pasca-menghancurkan harapan anak gadis orang.
“Iya, niatnya habis isya nanti gue mandi dan ganti baju di ruko. Lo istirahat duluan aja. Barusan gue denger dari kakak perawat bakal ada tiga pasien baru yang sebentar lagi naik dari IGD. Nggak mau, kan, lo ngerjain 3 pasien sekaligus?”
Anika mengernyit, merasa sedikit tersinggung karena entah mengapa kalimat Kresna tadi seakan menuduh bahwa yang ia kerjakan seharian tadi tidaklah tulus. “Nggak, ah. Gue mau kok. Udah, lo duluan aja.” Anika berjalan meninggalkan Kresna menuju nurse station terdekat. Kresna menangkap pergelangan tangan kanannya dari belakang.
“Pake boong segala sama gue. Lo capek, kan, seharian berdiri di poli? Katanya gue denger tadi nyampe 100-an pasien di poli? Udah sana mandi, bobo-bobo cantik dulu sebentar. Mumpung gue lagi baik.” Kresna mencengkram kedua bahunya, memutar tubuhnya, dan mengarahkannya ke arah ruko perempuan.
Anika menghela nafas. Ia memutuskan untuk menyerah oleh karena kedua lututnya kini ikut-ikutan minta dimanja. “Yaudah. Lo mau gue beliin apa? Gue kayaknya mau ke kantin sekalian.”
Kresna mengeluarkan dua lembar uang berwarna merah dari dompetnya dan menyerahkannya pada Anika. “Apapun, yang penting not the usual. Surprise me. Sisanya pake aja buat nambahin lo beli makan malem.”
“Nggak butuh duit. This one’s on me.” Sudah terlalu sering ia lengah membiarkan Kresna menanggung berbagai hal untuknya, termasuk mentraktirnya makan. Ia tidak mau harus merasa berhutang pada sahabatnya tersebut. Ia ingin menghindari dicap sebagai seseorang yang berteman hanya untuk mendapat keuntungan material. Anika menggeleng keras dan mendorong uang tersebut kembali pada Kresna.
“Ealah, Nik, masih kaku aja sama gue. Gue minta dibeliin Starbuck’s sekalian, loh.” Kresna mendorong kembali uang tersebut pada Anika.
Dengan satu dorongan kuat, Anika mendorong balik uang tersebut dan buru-buru ngacir dari TKP. “Katanya terserah gue. Berarti Starbuck’s, ya. Gue ogah dimodusin sama lo! Ambil aja uangnya. Kalo sama gue, dua ratus doang mah nggak cukup. Kalau mau ngasih sekalian puluhan juta buat nambahin tabungan biaya kuliah PPDS4 gue nanti,” teriakan Anika menggema di sepanjang lorong bangsal. Ia tidak mau lagi melihat ke arah Kresna dan buru-buru mencegat lift.
Sudah sering ia mendengar tanggapan teman-temannya perihal sikap Kresna pada mereka yang tak jarang sangat amat berbeda dari yang selama ini ia ketahui dan rasakan dari Kresna. Selama ini, ia mengenal sahabatnya sebagai seorang yang loyal dan royal. Kresna akan selalu ada di saat Anika kesusahan dan membutuhkan bantuan. Tidak hanya dari segi materi, namun juga support psikis dan mental. Walau begitu, Kresna tidak pernah menyalakan romantic mode-nya pada Anika. Selama ini, Kresna memperlakukannya sebagaimana Kresna memperlakukan teman-teman lelakinya yang lain. Walau, Anika sangsi ada teman-teman lelakinya yang rela ditelfon tengah malam untuk sekedar diajak mengobrol ngarol-ngidul ataupun curhat colongan di tengah-tengah waktu tidur berharga mereka. Pasti tidak ada juga yang rela dengan tiba-tiba dipaksa menemaninya berjalan-jalan tanpa arah mengelilingi Jakarta ketika Kresna merasa suntuk. Mana ada pula teman laki-lakinya yang rela, atau sekedar mengetahui, untuk berbagi informasi mengenai teman-teman perempuan di angkatn. Kresna adalah saingan terberat mereka. Anika mengangguk. Gue memang terlalu baik. Udah sewajarnya tuh bocah juga berlaku baik sama gue.