Inbetween: Me (A)nika

Yofara
Chapter #3

Chapter 1: In Auburn, In Love

Gadis mungil berhijab itu melangkahkan kakinya dengan cepat, berusaha memasuki gerbang kampusnya, menembus lautan manusia yang berlawanan arah dengannya di sore hari yang dingin itu. Tentu saja mereka ingin segera pergi dari tempat ini. Semua ingin pulang untuk mengakhiri minggu. Beberapa dari mereka mungkin melengkapinya dengan party, sementara sisanya mungkin memilih untuk membaca buku dengan tenang di flat mereka, seperti yang gadis manis itu mau lakukan sebelum diganggu oleh chat dari advisor-nya yang super ganteng, memintanya untuk bertemu sekarang di kantornya.

Ia mengatupkan kedua telapak tangannya dan saling menggosoknya sembari meniupkan uap panas dari mulutnya ke kedua telapak tangannya tersebut. Saking buru-burunya keluar, ia lupa meraih sarung tangan wol di atas pantry di perbatasan antara dapur dan ruang tamu flat-nya. Walau sudah satu tahun tinggal di Amerika, ia masih belum terbiasa dengan dinginnya udara yang ditawarkan oleh winter – walau saljunya sudah mulai mencair menuju spring. Gadis itu mengaitkan kancing long coat yang digunakannya, menyelipkan kedua tangannya dalam saku long coat-nya, dan mempercepat langkahnya menuju gedung bertuliskan International Office yang kini sudah berjarak sekitar 500 meter di depannya.

Ketika ia masuk, gantungan di dekat pintu berdenting. Hawa hangat dari heater lantai dan atap menyelimutinya, mencairkan jari-jemari serta wajahnya yang mulai kaku dan beku. Ia berada di dalam ruang tunggu dari International Office, yang merupakan kantor dari para advisor yang bertanggung jawab terhadap setiap mahasiswa internasional yang bersekolah di universitas tersebut.

Ia selalu terpesona dengan ruang tunggu tersebut. Banyak ornamen khas berbagai negara menempel di dinding. Hampir kebanyakan merupakan hadiah dari mahasiswa-mahasiswa yang bersekolah atau pernah bersekolah di sini. Selain itu, banyak sertifikat serta foto-foto menghiasi dinding – foto-foto mahasiswa internasional yang telah sukses merantau di Amerika. Foto-foto tersebut memberinya semangat. Suatu hari nanti, fotoku akan terpajang di atas sana.

Gadis itu menyapukan pandangannya pada sekitar ruang tunggu tersebut, lalu melongokkan kepalanya untuk melihat lorong yang berada persis di belakang meja receptionist. Ruangan para advisors terletak di dalam lorong yang kini tampak sepi tersebut. Sudah sore, sih, memang. Mungkin sebagian sudah pada pulang.

Seorang wanita bule separuh baya bertubuh gemuk dengan susah payah bangun dari kursinya di balik meja receptionist yang terletak persis di depan pintu masuk. “Hanica Linardi! Earl’s been waiting for you since noon. Were you at class?

Hanica mengernyit. Memangnya aku ada janji dengan Earl hari ini? Earl yang dimaksud adalah advisor-nya yang memintanya datang untuk bertemu sore ini. “Sepertinya aku tidak ada janji dengan Earl hari ini. Dia bahkan baru saja menghubungiku – memintaku untuk segera ke sini. Jadi ini dadakan, bukan appointment.” Jawab Hanica dengan pronounciation Bahasa Inggris yang menyerupai native. Banyak orang – bahkan orang Amerika – yang memuji cara pengucapannya yang nyaris sempurna tersebut. Mereka awalnya mengira Hanica dibesarkan di Amerika sejak kecil. Padahal ia belum pernah meninggalkan Jakarta sebelum ini. Kalau saja ia tidak beruntung mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di community college ini, mungkin dia akan selamanya mengedon di Jakarta, tidak pernah mencicipi dunia luar.

Salah satu pintu yang terletak jauh di dalam lorong di belakang meja receptionist terdengar terbuka. Derap suara langkah kaki yang tegas dan terkesan terburu-buru terdengar bergaung di sepanjang lorong tersebut.

Hanica! Thank you for making it this afternoon.” Pemilik langkah cepat bagai paskibraka tadi adalah seorang laki-laki etnis Asia dengan kisaran usia 30 – 35 tahun. Wajahnya mengingatkan Hanica pada salah seorang personil Super Junior, Siwon. KW-an Siwon tadi lantas merentangkan kedua tangannya lebar-lebar dengan penuh semangat, sembari menebar senyumnya yang menawan. Ia memang selalu penuh karisma dan energi. “I hope I didn’t interrupt your Friday plan or anything. This will only take a while.”

“Kita nggak ada janji, kan, Earl?” Hanica melirik Martha, wanita paruh baya bertubuh gemuk tadi.

“Eh, nggak ada, kok. Hanya saja aku punya beberapa hal yang ingin aku konfirmasikan denganmu. Martha, I’ll take her to my office now.”

“Eh, iya.. Saya fikir kamu ada janji dengan gadis muda ini tadi.” Martha tampak kebingungan.

“Teguk teh hangatmu, Martha. Keburu dingin nanti.” Earl mengelus pundaknya, seraya menuntun wanita tua yang sedang kebingungan itu untuk kembali pada posisi duduknya. Ia kemudian mengisyaratkanku untuk mengikutinya ke dalam ruangannya.

Earl mempersilahkan Hanica duduk di kursi yang berseberangan dari tempatnya duduk. Di atas mejanya, tampak papan nama besar berbahan dasar akrilik bertuliskan Earl Wu dengan huruf besar-besar. Ia menyalakan kedua monitor desktop computer di atas mejanya. Pandangannya terkunci pada data-data Hanica di layar monitor tersebut. “Jadi, aku langsung saja ya. Tentang kalkulus-mu..”

“Ada apa dengan kalkulus-ku?”

“Data dari kelas Steven Black baru masuk. Kamu tahu, kan, dia rajin nge-update banget orangnya. Aku lihat kalian baru saja melewati mid-term exam ya minggu lalu?” Kamu juga nggak kalah rajinnya, deh. Hari gini udah ngecekin hasil midterm orang.

“Iya. Nilainya emang udah keluar? Aku dapet apa?”

“B+.”

“Oke.. Lalu?”

“Ini nggak oke, Hanica. You know you gotta do better than that kalau mau tembus ke Biochemistry Harvard.”

“Oh, ya ampun, Earl. Itu bahkan bukan B minus. Lagian itu kan baru mid-term exam, belum final exam.”

“Justru karena baru mid-term exam makanya masih banyak hal yang bisa kamu lakukan to fix that B. Minta extra credits sama Steven Black, ya. Nilai akhir kamu di kelas ini harus A juga, sama seperti kelas-kelas lainnya. Kita harus pertahankan IPK 4.00 kamu. Harus straight As.” Hanica menghela nafas.

“Memangnya batas minimum Biochemistry Harvard berapa sih?”

“3.97. Itu 0.03-nya cadangan kalau-kalau kamu sakit dan terpaksa kinerjanya buruk. You can’t help it when you’re sick, kan? Personal statement udah dikerjain?” Hanica menghela nafas. Kali ini lebih panjang dari sebelumnya. Personal statement adalah esai yang harus dibuat oleh setiap siswa community college pada tahun keduanya sebagai pra-syarat masuk ke tahun ketiga universitas yang dituju. Personal statement merupakan tulisan kreatif seseorang yang menjelaskan mengenai latar belakang dirinya dan rencananya di masa depan. Hanica bahkan belum memulai esainya tersebut. Terlalu banyak yang harus ia lakukan. Dengan adanya setumpuk assignments dari lima kelas berbeda yang sedang ia ambil, dilengkapi dengan kerja sampingan yang ia lakukan sana sini, rasanya 24 jam sehari tidak memberikan kelonggaran waktu bagi Hanica untuk merenungkan makna kehidupan yang dijalaninya, let alone harus meng-compose tulisan mengenai hal tersebut.

On progress. Oke, nanti aku minta extra credits dari Mr. Black.” Sesampainya di flat nanti jadi statusnya akan menjadi on progress, insha Allah.

Hanica bersiap-siap berdiri sebelum Earl melanjutkan, “kamu masih kerja?” Hanica mengurungkan niat untuk berdiri.

“Masih. Inside campus, kok. Cuma tutoring pre-calculus, anatomi, fisiologi, sosiologi, dan bantu-bantu di departemen IESL, jadi tenaga pengajar juga. Yang di lab kimia udah nggak lagi, kok. Aku kan mau siap-siap buat pindahan.”

Earl terdiam. Ia tampak berfikir. “Kamu udah cek biaya per-semester untuk mahasiswa internasional di Harvard tahun ini berapa?” Hanica menggeleng.

Earl memutar salah satu layar monitor desktop computer-nya ke arahku. Pada layar itu, terbuka website Harvard dengan halaman cost attendance yang menampilkan beberapa angka besar. Mata gadis itu terpaku pada barisan tuition and fees dengan angka 5 digit berkepala 4 dalam USD. Sekitar Rp500.000.000,- jika diconvert ke IDR. Hanica menelan ludah.

“Ini per-semester, Hanica. Private university, apalagi yang ivy league memang parah mahalnya. But, you’ll get what you paid for.” Anika masih menatap layar monitor tak percaya. “Kamu baru lihat halaman website ini sekali ini ya? Kan aku sudah bilang untuk mengecek halaman ini dari sejak pertama kali kamu di sini.”

“Beda banget sama community college, ya.”

“Iyalah, sweetheart. Jadi.. Bagaimana rencanamu ke depan? Sayang nilaimu kalau harus masuk ke 2nd tier university.” Earl memutar kembali layar monitor tersebut menghadap dirinya. Hanica terdiam tercenung. Ya, bagaimana? Apakah usahanya selama ini harus sia-sia saja? Tidak mungkin orang tuanya mampu membiayai semahal itu. Untuk community college-nya ini saja orang tuanya tidak mengeluarkan sepeserpun, walau mereka masih tetap mengirim beberapa juta rupiah yang hanya cukup Hanica gunakan untuk menyewa text books di awal-awal term. Bahkan, untuk mencukupi biaya hidupnya sehari-hari di sini, termasuk penyewaan flat, Hanica harus banting tulang kerja sampingan sana sini.

“Harvard offer beasiswa nggak, Earl, untuk international students?” Earl mengunci tatapannya pada layar monitor tersebut. Terdengar jari telunjuk kanannya meng-click mouse beberapa kali.

“Setahu saya, kalaupun private university offer beasiswa ke international students, pasti sangat terbatas. Baik in nominal, maupun in amount of scholarships offered. Aku bicara private university secara umum, ya. Jadi mereka mungkin hanya meng-cover setengah. Atau beberapa hanya meng-cover untuk book fees atau housing fees. Tapi nanti coba kamu cari-cari lagi, informasi tentang financial aid untuk international students di Harvard” Hanica menelan ludah. This is too much to take in.

Now, Hanica, kamu masih punya setengah tahun untuk mempersiapkan kepindahanmu ke universitas. Coba fikirkan matang-matang apa langkah yang akan kamu ambil next. Apapun itu, kami di international office akan berusaha untuk mendukung siswa kami semaksimal yang kami bisa.” Ia melirik jam yang tertera pada pojok kanan bawah salah satu layar desktop computer-nya. “Coba disusun over this weekend, rencanamu bagaimana. Aku ingin mendengar hasilnya minggu depan. Terserah waktunya kapan, tapi minggu depan. At the very least by Thursday evening, ya.” Hanica mengangguk lemah.

Cheer up, Hanica! Aku nggak akan membiarkan hal sepele ini mematahkan semangatku, jika aku adalah dirimu. Dengan nilai seindah itu, aku sih, nggak akan terlalu ambil pusing. Harusnya ada jalan yang terbaik bagimu. Straigt As will be welcomed happily anywhere. Makanya, jangan sampai kalkulus-mu nggak A, ya.” Anywhere, tapi bukan Harvard ya? Hanica menghela nafas. Earl kini sudah berdiri di samping Hanica, menepuk-nepuk punggungnya dengan semangat. Hanica bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah pintu.

Thanks, Earl. I’ll think this through over the weekends.” Ia meninggalkan pintu ruangan Earl terbuka.

Lihat selengkapnya