Hanica menghela nafas panjang. Picturesque view yang terpampang tidak sukses mengalihkan perhatiannya dari kekhawatiran yang tengah berkelebat di dalam fikirannya. Gadis berjilbab itu mengaitkan kancing long coat-nya. Angin dingin musim gugur di Seattle ternyata mampu menusuk hingga tulang belakang, walaupun dia sudah mengenakan berlapis-lapis pakaian, lengkap dengan long john di lapisan terdalamnya. Saat ini, gadis itu sedang duduk di bench panjang di halaman rerumputan luas milik University of Washington. Beberapa mahasiswa domestik yang tampaknya sudah sangat familiar dan nyaman dengan cuaca dingin - dilihat dari tipisnya selapis t-shirt yang mereka kenakan - sibuk berceloteh sambil berlalu lalang. Saat musim panas, pekarangan ini biasanya penuh dengan mahasiswa yang berbaring, atau sekedar duduk, di rerumputan. Musim panas yang hanya bertahan maksimal 90 hari di negara bagian ini membuat mereka sangat mensyukuri kehadiran sinar mentari. Sehingga, berjemur merupakan suatu kenikmatan tersendiri yang mungkin akan terlihat aneh bagi mahasiswa seperti Anika yang berasal dari negara tropis. Dalam cuaca panas seperti itu, biasanya akan sangat sulit untuk mendapatkan tempat duduk di salah satu bench panjang yang berjejer di sekeliling satu-satunya air pancur di universitas ini.
Hanica mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Pemandangan sekelilingnya saat ini berbanding jauh dengan ingatannya saat terakhir datang ke kampus tersebut di musim panas tahun lalu. Di hadapannya saat ini, tampak beberapa pohon dengan batang menjulang tinggi yang dedaunannya mulai menguning dan bahkan rontok berguguran. Langit sebagai latar belakangnya tampak rupawan dengan semburat oranye yang dimonopoli dengan awan biru gelap. Cantik. Namun, tetap saja kecantikan tersebut tidak dapat menghapus kekhawatirannya di dalam hatinya.
Baru saja Hanica mendatangi event job fair yang diadakan oleh universitas ini. Setelah berkali-kali menolak bujukan Mike, akhirnya Hanica menyerah dan menurut untuk datang mencari informasi lebih jauh tentang jurusan Biokimia di universitas ini. “Daripada penasaran bagaimana admission, tuition fee, dan adakah beasiswa untuk mahasiswa internasional, lebih baik kamu tanya langsung ke universitasnya. Ayo aku antar." Ternyata, kehadiran mereka di sana bertepatan dengan adanya event job fair di salah satu gedung di universitas tersebut. Mike segera menghilang di antara kerumunan orang di aula tempat event job fair tersebut dilaksanakan dan Hanica sedang tidak mood untuk bersempit-sempitan tanpa tujuan. Sekarang, sahabatnya tersebut masih sibuk berkeliling di dalam aula yang penuh sesak dengan booth-booth perusahaan yang menawarkan berbagai macam bentuk kesempatan kerja atau internship pada mahasiswa. Hanica lebih memilih keluar untuk mencari udara segar.
Hanica-pun sudah mendatangi bagian admission dari International Student Service Office universitas ini. Jawabannya sama tidak memuaskannya dengan informasi yang didapatinya dari membaca situs universitas ini. Biaya kuliahnya sama mahalnya dengan yang ditawarkan oleh Harvard. Hanica sudah melakukan beberapa research. Dia tidak hanya mengecek 1st tier university. Ia bahkan sudah mengecek universitas-universitas lain macam UCs (University of California), Wisconsin, dan Minnesota. Bahkan, Minnesota Twin Cities yang termurahpun tidak kurang dari USD 11,000 per-semester.
Tiba-tiba panas. Menyengat. Rasa seperti terbakar yang ia rasakan pada pipi kanannya sukses mengejutkannya, hingga membuatnya terlompat beberapa senti dari posisi duduknya. Hanica sontak memegang dan mengusap pipi kanannya yang tengah gencar berdenyut pasca-teriritasi benda panas yang memancarkan harum kopi pekat tersebut. Cangkir kopi panas itu kini sedikit terguncang mengikuti getaran tawa Mike, namun segera sirna demi melihat wajah cemberut Hanica.
“Is it really THAT hot?” Mike terbelalak, secara refleks mendekatkan salah satu cangkir kopi ke pipinya – tampaknya penasaran ingin membuktikan. Namun gerakannya yang terburu-buru menyebabkan ketidakseimbangan dari cangkir tersebut, sehingga isinya terpercik keluar, sedikit mengenai wajah bule tersebut. Tubuhnya sontak menggeliat menahan panas sambil kedua lengan serta tangan masih dipertahankan kaku demi mencegah kopi tadi kembali tumpah. Ekspresi komikal Mike tak ayal membuat Hanica otomatis terpingkal. Sembari masih tertawa, Hanica kemudian meraih kedua cangkir tersebut dan meletakkannya di bench yang ia duduki. Ia kemudian langsung menempelkan jari-jemarinya pada pipi Mike, berharap jemari bekunya bisa mengurangi perih pada pipi sahabatnya tersebut.
“Karma is real, Bro!” Hanica masih tergelak, tanpa sadar membiarkan jemarinya masih menempel pada pipi sahabatnya tersebut. Gelagat Mike terlalu komikal hingga membuat Hanica alpa. Namun, tidak dengan Mike. Reaksi Hanica tersebut terlalu extraordinary hingga membuat perih yang tadi dirasakannya segera mereda. Ia sempat tercenung beberapa saat saking terkejutnya kala menyadari Hanica membiarkan guard-nya turun.
Selama setahun mengenal gadis muslim yang hampir selalu dinilainya menutup diri dari lingkungan sekitar ini, belum pernah Mike melihat Hanica tertawa selepas ini. Sepertinya ada beban berat yang tengah dipikul perempuan tersebut, hingga kejadian se-jayus ini bisa memicu gelak tawa bahagia darinya. Bahagia yang terpancar entah mengapa terasa murni baginya, selain juga manis.
Melihat reaksi Mike yang mereda dan kini terdiam menatapnya lekat, Hanica menjadi salah tingkah dan lantas tersadar dengan apa yang tengah ia lakukan. Buru-buru ia menarik tangan kanannya tersebut dan lantas menyembunyikannya dalam-dalam di saku coat-nya. Hanica kemudian membalikkan badan, meraih salah satu cangkir kopi di bench yang ia letakkan sebelumnya dan kembali duduk – berusaha untuk tampak tenang, seolah tidak terjadi apa-apa.
Mike tersenyum melihat kecanggungan temannya itu. Ia meraih cangkir yang tersisa, lantas duduk di sebelah Hanica.
“You’re too precious for this world, cupcake,” ujar Mike sembari menyeruput kopinya. Ia melirik perempuan di sebelahnya yang kini juga terdiam, menyeruput kopi miliknya.
Mike melanjutkan, “aku ngga pernah melihat orang setaat ini dengan agama sebelumnya. You’re something else, Hanica.”
Hanica tetap menjaga pandangannya lurus ke depan, melintasi pekarangan tersebut, jauh mengambang. “Ngga usah berlebihan. Banyak yang lebih baik dariku.”
“Sejujurnya pertama kali aku melihatmu bukan di kelas kalkulusnya Steven Black,” ingatan Mike kembali pada kejadian satu tahun lalu yang sangat berkesan baginya. “Aku pertama kali ngeh sama kamu waktu kamu lagi diteriakim sama security di Holman.”
“Holman Library? Perpus kampus? Oh my Goodness.. Jangan bilang pas kejadian..” Hanica menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya rapat-rapat. Malu sekali dia setiap kali mengingat kejadian yang membuat heboh seantero perpustakaan dua lantai tersebut.
“Yep,” Mike tersenyum iba. “Ngga pantes banget security itu mencaci kamu, padahal yang kamu lakukan cuma beribadah.”
“Ha ha.. Beribadah di tempat yang salah, apparently.” Saat itu, Hanica adalah murid baru di kampus tersebut. Dia belum tahu betul seluk-beluk gedung kampus. Yang dia tahu, dia harus shalat. Maka, dengan polosnya dia membentang sajadah di bawah tangga besar di perpustakaan tempat dia belajar sembari menunggu kelas berikutnya. Dia pilih tempat tersebut untuk mencegah perhatian orang banyak. Namun, jarak antara anak tangganya memiliki rongga besar-besar dan tindakannya terlihat dari pintu masuk perpustakaan, tempat security berjaga. Hanica baru memulai shalatnya ketika security tersebut dengan paniknya mendatanginya dan memerintahkannya untuk menghentikan apapun yang tengah ia lakukan saat itu.
“Untung ada Hyemin, ya,” Mike memecah ingatan Hanica. “She stood up for you. She’s a good friend.”
“Kita belum saling kenal saat itu, Mike. Justru disitulah kita jadi kenalan dan akhirnya berteman baik hingga saat ini.” Hanica ingat dia bahkan sampai menyelesaikan shalatnya saat itu karena Hyemin, yang sudah 6 bulan lebih dulu bersekolah di situ, ternyata kenal baik dengan security tersebut dan menjelaskan bahwa yang Hanica lakukan adalah beribadah. “She’s a good person.”
“Ritual itu wajib ya?”
“Ya. Ada yang tidak bisa kutinggalkan memang, kecuali keadaan-keadaan tertentu,” Hanica melirik jamnya. Pukul 6 malam. Sudah lewat satu jam dari waktu ashar. “Dan.. Aku harus cari tempat untuk shalat sekarang.” Hanica menoleh kanan kiri dan kemudian tersadar dia tidak mengenali kampus ini sama sekali.
“Oh. Kamu butuh tempat buat ibadah ya? Coba aku tanya orang sekitar ya. Siapa tau ada tempat tertutup di mana kamu bisa ibadah. Ruangan tertutup apapun bisa kan?”
Hanica teringat sesuatu. “Actually, Mike, aku mau ke mosque aja.”
“Mos.. What?”
“Mosque. Masjid. Tempat khusus buat kami beribadah. Ada satu di Redmond. Aku baru inget Redmond ga jauh dari sini. Cuma dua kali ganti bus.”
“Dua kali ganti bus itu berapa jam, exactly?”
“Sejam ga nyampe, lah.”
“Sejam ga nyampe? Nyetir Cuma 15 menit tau. Udah, aku anter aja. Lagian cuaca dingin gini.” Michael menegak sisa kopi di cangkirnya, lantas melempar cangkir kertas tersebut ke salah satu tempat sampah di dekat mereka sebelum akhirnya berlari menjauh. Namun ia sempat berteriak, “aku ambil mobil dari parkiran dulu. Kita ketemu di lobby gedung utama ya!” yang kemudian dijawab oleh Hanica dengan cengiran dan kedua jempol tertegak dengan sumringahnya. Memang kalau cuaca lagi dingin begini enaknya naik mobil.
~
Mobil Mike memasuki pelataran parkir suatu kompleks ruko di daerah pinggiran Redmond. Selama perjalanan, Mike menyadari bahwa akses ke tempat ini tidaklah mudah. Mengingat flat Hanica berada di daerah perbukitan Auburn, maka kemungkinan sahabatnya tersebut harus menempuh dua hingga tiga jam perjalanan dengan tiga hingga empat kali berganti bis untuk mencapai tempat ini. Belum lagi halte bis terdekat dari kompleks ruko yang dituju ternyata berjarak tempuh 20 menit dengan berjalan kaki.
“Kamu sering ke sini Hanica?”
“Di sana saja,” Hanica bergumam, menunjuk sebuah car port persis di depan salah satu ruko bertuliskan MAPS besar-besar pada kaca pintu masuk ruko tersebut. Seorang lelaki paruh baya yang tampaknya keturunan Arab berpeci sedang menyapu dedaunan kuning di depan pintu masuk ruko tersebut ketika mobil mereka mendekat. “Ya, ada mungkin tiga kali seminggu. Assalamualaykum, Brother Ikhsan!” Hanica menurunkan kaca jendela pada sisi penumpang depan untuk menyapa lelaki tersebut.
Melihat Hanica, senyuman pada wajah lelaki yang disapanya tadi tampak mengembang lebar, “waalaykum salam sister!” Ia melirik Mike yang masih tampak berusaha memahami kondisi sekitar, lantas menyapanya, “assalamualaykum brother! Masha Allah, kita kedatangan tamu, rupanya.”
Hanica kemudian turun dari mobil untuk menghampiri lelaki tersebut. Namun, sejurus kemudian langkahnya tertahan dengan keluarnya seorang wanita berkulit gelap dengan setelan khimar maroon panjang – tampaknya keturunan Somalia – yang keluar membawa sebuah baki kue dengan uap panas mengepul di atasnya. Wangi kayu manis ikut menghantarkan kedatangan perempuan tadi yang tampaknya belum menyadari kehadiran Hanica di sana, “Brother Ikhsan, baiknya aku letakkan di mana kue ini?”
“Sister Zee Zee, masha Allah! Wangi sekali. Biar kutebak, Cinnamon Rolls?” Hanica mendekati perempuan Somalia tadi yang disambut perempuan itu dengan pekikan terkejut serta girang ketika melihat gadis Indonesia itu mendekat untuk memeluknya.
“Ay, masha Allah, Sister Han! Assalamualaykum! Ke sini dengan siapa? Sudah kubilang, kalau ingin ke sini hubungi aku saja biar kujemput ke Auburn,” ujarnya ramah sembari mengecup kedua pipi Hanica.
Mike telah turun dari mobil ketika Hanica membalikkan badan ke arahnya dan memberinya kode untuk mendekat. “Ini Mike. Michael Bayer. Dia classmate-ku di kampus. Kami dari UW tadi, jadi sekalian ke sini.”