Chapter 4: Intersection Number One
~
Langit di balik jendela tampak legam. Dari jendela lantai dua tersebut, tampak ranting pohon gundul bergoyang sedikit tertiup angin malam yang kencang. Sesekali gerakannya disertai dengan dengkingan suara angin yang menari-nari di antara celah ranting. Selain itu, sunyi. Suasana senyap khas tengah malam musim dingin di Auburn, Washington, menciptakan momen belajar terbaik menurut Hanica. Minim distraksi.
Hanica melirik jam dinding yang bertengger manis di samping satu-satunya jendela kamarnya tadi. Jarum pendeknya tampak bertengger di angka satu. Hanica berusaha membujuk kedua kelopak matanya agar menurut dan terus terbuka hingga setidaknya pukul tiga dini hari. Masih banyak tugas yang harus ia kerjakan demi mengejar deadline akhir minggu ini. Diraihnya mug kopi di atas meja kerjanya untuk kemudian kecewa setelah mengetahui isinya hampa hingga dasar.
Kekecewaan pada wajah gadis Indonesia itu mengundang perhatian gadis Korea yang sedari tadi duduk menemani belajar malamnya di meja kerja yang terletak persis berseberangan darinya. Gadis itu lantas mengalihkan fokusnya dari laptop di hadapannya dan bertanya, “mau kubuatkan kopi lagi?”
Hanica tersenyum sembari meregangkan otot-ototnya yang kaku dan menguap, “nggak usah. Nanti aku pipis-pipis lagi.”
Berbeda dengannya, gadis Korea teman sekamarnya tadi, Hyemin, tampak masih segar lewat tengah malam. “Memang rencana mau bangun sampai jam berapa?”
“Jam tiga, mungkin? Sebenarnya tidak ada lagi yang perlu aku siapkan untuk pagi ini. Aku sedang mengerjakan extra credit kelas kalkulusnya Steven Black saja. Masih akan dikumpul Jum’at, sih.”
Hanica mencermati satu persatu barang di atas meja belajar Hyemin. Laptop merah muda, mouse merah muda, mouse pad lebar merah muda, beberapa buku catatan berwarna spektrum merah muda, pulpen dan pensil merah muda, serta mug merah muda. Terkadang pening di kepala Hyemin dengan tiba-tiba terpicu kalau terlalu lama melihat semua benda berwarna merah muda di bagian kamar Hyemin, apalagi kalau sedang lelah. Pada dasarnya memang Hanica tidak terlalu menyukai warna merah muda. Untuk alasan yang diapun tak tahu, Hanica lebih menyukai warna biru dongker. Ramai barang di kamarnya berwarna biru dongker. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk membuat batasan yang jelas untuk membagi area mereka masing-masing. Batasan tersebut membagi kedua kamar sama besarnya dengan garis tengah membagi area kerja mereka berdua dengan posisi meja belajar mereka saling berhadapan. Awalnya, mereka mengatur agar posisi mereka saling memunggungi. Namun, ternyata mereka sepakat lebih bersemangat dalam mengerjakan tugas dan pekerjaan mereka lebih baik dengan adanya teman kerja di hadapan mereka masing-masing. Dengan melihat giatnya teman sekamarnya dalam mengerjakan tugas atau belajar, mereka sama-sama merasa lebih terpacu untuk menyelesaikan tugas dan pekerjaan mereka. Seperti malam ini, mereka mampu bekerja melewati tengah malam; seringnya berakhir di jam 3 pagi karena Hanica mentargetkan untuk tidur malam setidaknya empat jam dalam sehari.
Hanica sepertinya terlalu lama terpaku pada barang-barang di atas meja Hyemin karena kepalanya mulai terasa sakit. “You know, what.. I think I’ll go downstairs for a bit,” ucap Hanica sembari kembali meregangkan otot leher dan punggungnya yang terasa sangat kaku.
“Jadi buat kopi?” kedua mata sipit Hyemin masih terpaku pada layar laptop merah mudanya.
“Nggak. Aku mau buat yang kamu buat tadi.”
“Hot chocolate?” Hyemin akhirnya memalingkan pandangannya dari laptop dan melepas kedua kaca matanya. Hyemin ini sebetulnya kaca matanya tebal sekali berkat minus matanya yang tinggi. Tapi, kalau keluar rumah, agar tetap terlihat trendy, dia senantiasa menggunakan contact lens dengan berbagai warna.
“Is that what you had?”
“Iya. Pake marshmallow. Aku buatin, ya.” Hyemin yang malam itu menggunakan baju dan celana berbahan kaos gombrong dengan rambut dicepol, poni di-roll ke atas, dan wajah yang sama sekali bersih dari riasan benar-benar terlihat seperti Korean Ahjumma; walau sebetulnya yang membuat karakter mamak-mamak Korea itu menjadi nyata sebetulnya adalah her caring attitude.
“Yes, love. Thank you,” Hanica meraih mugnya dan mendahului Hyemin untuk membuka pintu. Pijakan pertama mereka di luar kamar disambut dengan bunyi desahan dan erangan yang bersumber di balik pintu kamar yang terletak persis di seberang kamar mereka. Thuy Nguyen Ho - dibaca “tuei ngwin ho” – salah satu house mate mereka, adalah pemilik kamar tersebut.
“Tsk,” Hanica berdecak kesal. “Pacarnya datang lagi ya?” Sekat rumah yang hampir semua terbuat dari tripleks seringkali meloloskan suara sang pemilik kamar di dalamnya. Terkadang sulit sekali menyembunyikan sesuatu di rumah tersebut. Kadang, jika tidak ada sama sekali orang di rumah, suara bisikan dari kamar Hanica bahkan bisa terdengar hingga ruang tamu di lantai dasar.
Hyemin menempelkan telinga ke pintu kamar Thuy. Mendadak suara desahan dan erangan erotis tadi berhenti.
“Nope, I don’t think his boyfriend’s in there.”
“Tapi kok suaranya berhenti?”
“Sudah selesai mungkin?”
“Hah? Selesai apanya?”
Tiba-tiba deru suara langkah tergesa-gesa terdengar ribut dari balik pintu kamar tersebut sebelum akhirnya pintu di hadapan mereka terbuka dengan tiba-tiba.
“Haiyaa why are you guys being so noisy?” Tampak Thuy, dengan rambut kusut masai dan wajah merah padam melongok dari balik pintu yang sedikit terbuka.
Hanica melongo mendengar pertanyaan Thuy yang super aneh tersebut. “Kita? Berisik? You should’ve heard the sound you make from inside! Pfft!” Hanica segera berlari dan melompati beberapa anak tangga ke lantai dasar, takut ditimpuk Thuy pakai sendal. Pernah kejadian soalnya.
“You have guest?” Hyemin yang tingginya melampaui Thuy, mau tak mau dapat melihat ke dalam ruangan di balik badan Thuy.
“Hei, lihat apaan!” dengan tiba-tiba Thuy menginjak sandal rumah Hyemin sebelum membanting pintunya dengan keras. “Haish! This Korean Ahjumma! Why are you so nosy!” terdengar pekikan kesal Thuy dari dalam kamar yang kini pintunya telah tertutup rapat tersebut.
“OUCH!” Hyemin otomatis mengangkat kaki kanan yang baru diinjak oleh Thuy tersebut, mengusapnya sebentar, sebelum akhirnya melepas sandal di kaki kanan tersebut, dan melemparnya mengenai pintu kamar Thuy.
“YAA!! Why did you step on my foot!” Hyemin berteriak kesal.
“Shh! Udah, jangan berisik malam-malam!” ucap Hanica berusaha menenangkan teman sekamarnya dari ujung bawah anak tangga. “Yuk,” Hanica mengisyaratkan Hyemin untuk segera turun, sembari me-mouthing, “malu dia,” dan menunjuk ke arah kamar Thuy.
Raut wajah Hyemin seketika berubah, walau masih sedikit menyisakan tanda kekesalan. Raut wajahnya seperti mengisyaratkan perasaan bersalah.
“Ya! Kalau kamu mau turun ke bawah, nanti aku buatin coklat panas,” ajak Hyemin dengan nada rendah di depan pintu kamar Thuy yang masih tertutup.
Tidak terdengar jawaban apa-apa, maka Hyemin menyusul Hanica turun ke dapur. Hanica sedang membuka kulkas, berusaha mencari cemilan untuk dimakan.
“Jangan ngemil. Bentar lagi udah mau tidur juga,” Hyemin mengingatkan Hanica sembari berjalan ke arah jendela besar di ruang tamu yang bertepatan langsung dengan car port di depan rumah. “Ga ada mobil pacarnya. Bener kan kataku. Dia sendirian itu di atas,” gumam Hyemin.
“Sudah, love. Ga usah diperpanjang. Makin malu nanti dia. Aku boleh minta kimchi ga?”
“Jangan. Besok bangun pagi kamu bolak-balik ke kamar mandi. Sini, aku buatin coklat. Kamu duduk aja sana.”
“Dikit aja ya,” mohon Hanica bandel sambil meraih sepotong sawi dari dalam container kimchi di kulkas pakai tangan. Lalu buru-buru ngacir ke ruang tamu setelah menyadari Hyemin memelototinya dengan ganas.
“Jorok banget sih. Besok berubah nih rasanya.”
Hanica tidak merespon. Pandangannya terpaku pada kepingan salju yang mewarnai latar belakang hitam pekat pada jendela dapur mereka. “Oh my goodness.. Are you kidding me?” Hanica setengah berbisik.