The Call
~
“Ma..”
Wanita berusia 32 tahun tersebut menghentikan aktivitas yang tengah dia lakukan dengan handphone-nya. Dia kemudian mengalihkan perhatiannya pada sumber suara, yakni anak perempuan di pangkuannya. Anak blasteran Indonesia-Amerika itu meraih tangan Mamanya, menuntut perhatian.
“Kenapa, sayang?” Wanita itu menyibakkan poni pada dahi anaknya tadi dengan lembut. Kedua mata si kecil tampak sayu mengantuk, nyaris tertidur. Sudah sekitar satu jam mereka menanti di depan ruang tunggu antrian pemeriksaan radiologi. Ini adalah hari kedua dari rangkaian pemeriksaan untuk persiapan operasi pengangkatan amandel yang harus dilalui putri kecilnya. Lagi-lagi mereka terpaksa menunggu dalam antrian panjang di rumah sakit rujukan yang pasiennya selalu membludak ini. Wanita itu bersyukur memiliki sesuatu yang bisa dia kerjakan selagi menunggu, yaitu melanjutkan hobinya menulis novel di aplikasi Evernote handphone-nya. Dia tidak masalah menunggu sembari menulis. Namun, mau tak mau dia merasa bersalah karena terpaksa membuat putri kecilnya izin dari sekolah selama dua hari berturut-turut. Perjalanan menuju operasi mengharuskan pasien melakukan serangkaian pemeriksaan yang tidak sedikit untuk memastikan kesiapan dan kesanggupan tubuh pasien menjalani operasi.
“Bosen, ya, Nak?” wanita itu mengecup dahi anak semata wayangnya tersebut. Yang dicium menggelengkan kepala dan malah membalikkan badan, mencari posisi yang nyaman untuk berbaring di pangkuan Ibunya, melanjutkan tidurnya.
“Tania mau main di handphone Mama?” Hanum memang sengaja mengunduh beberapa aplikasi interaktif anak-anak yang dipersiapkan untuk kondisi-kondisi seperti ini, di saat mereka terpaksa menunggu lama.
“Eh, apa kita mau gangguin Om Yuda aja, sayang? Kita cari Om Yuda aja, yuk?” otak jahilnya mulai bekerja. Mendengar nama pamannya tersebut, putri kecilnya bangkit dari posisi tidurnya dan dengan bersemangat mengangguk senang, “yuk, Ma! Mau!”
“Sebentar, ya. Coba Mama telfon Om-mu dulu. Kita tanya dia ada di mana. Siapa tahu dia bisa ke sini sebentar, main sama kita.” Wanita itu baru akan meng-unlock handphone-nya sebelum terdengar nada panggilan masuk dari gadget tersebut. Nama yang tertera pada layarnya mebuat wanita tersebut memutar bola matanya ke atas.
“Ya?” wanita tersebut menjawab malas-malasan.
“Halo?” suara baritone bocor dari telfon Hanum dan terdengar oleh Tania.
“Opa!” Tania berseru dengan ceria di dekat telfon yang tengah digenggam oleh Ibunya. Wanita itu segera menyerahkan telefon genggamnya pada anak perempuannya tadi.
“Tania sayang.. Apa kabar, Nak?” terdengar Opanya menyapa cucunya dengan lembut.
“Tania baik, Opa! Sebentar lagi Tania mau dioperasi dong!” jawab gadis kecil itu riang, seolah-olah yang dia maksud operasi adalah tamasya ke taman bermain.
“Apa? Dioperasi? Coba, Nak, Opa bicara dulu sebentar dengan Mamamu,” suara di seberang terdengar khawatir.
“Ini,” Tania dengan patuh mengembalikan telefon tersebut ke Ibunya, lalu kembali pada posisi semula, yakni berbaring di pangkuan Ibunya.
“Hanum,” suara di seberang kini terdengar tegas begitu ujung atas telefon genggam tersebut menempel pada daun telinga wanita tadi. “Tania betul mau dioperasi?”
“Operasi amandel, Pak. Ini lagi mau periksa ke radiologi dulu. Operasinya masih besok-besok kalo hasil pemeriksaannya bagus semua.”
“Kalian di mana sekarang?”
“Rumah sakit tempat si Yuda koskap.”
“Oh.” Lelaki tersebut terdiam sebelum akhirnya melanjutkan, “kabari Bapak kalau sudah waktunya Tania mau dioperasi. Nanti Bapak ke Jakarta.”
“Ya,” Hanum merespons singkat pernyataan Bapaknya. Dia memang malas basa-basi dengan Bapaknya yang dia anggap asing sejak Bapaknya memutuskan untuk hengkang dari rumah, meninggalkan istri dan anak-anaknya. Bapaknya pergi karena merasa bahwa pernikahannya sudah tidak bisa lagi diselamatkan – bahwa istrinya sudah terlalu sulit diatur dan Bapaknya lebih baik “hijrah” bersama wanita lain yang mau menurut dengan dirinya.
Sudah lima tahun semenjak berpisahnya Ibu dan Bapak. Tapi sampai kini, Bapaknya belum menceraikan Ibunya secara hukum dan Ibunya juga malas mengurusi. Pernah adiknya bertanya. Ibunya dengan dingin menjawab bahwa dia sibuk dan masih banyak hal yang jauh lebih penting yang harus dikerjakan, lebih dari sekedar mengurusi permasalahan dengan suaminya.
“Bapakmu yang minta pisah aja belum masuk-masukkin berkas gugatan ke KUA, tuh. Ibu males ngurusin. Nunggu panggilan aja.”
“Tapi berarti Bapak ga nikah lagi, dong, Bu.”
“Gatau. Nikah sirih bisa kali.”
Mungkin memang sudah membatu hati Ibunya. Mungkin Ibu sudah terlalu letih dan tidak lagi cinta dengan Bapak. Istri waras mana yang tidak koyak hatinya ketika mendengar, dari mulut suaminya sendiri, bahwa suaminya akan menikah lagi dengan perempuan lain? Tapi kalau difikir-fikir memang Ibunya berbeda dari istri kebanyakan.
Sampai SMA, Hanum selalu melihat Bapak dari kaca mata Ibu. Hanum dan adik-adiknya senantiasa disuapi curahan hati Ibu mengenai Bapak. Suapan-suapan yang, kini setelah Hanum menikah dan memiliki Tania, Hanum ketahui tidak sehat untuk dikonsumsi oleh anak-anak. Tanpa sadar, Ibu telah menanam benih kebencian di dalam diri Hanum dan adik-adiknya terhadap Bapak. Analisa Hanum kini adalah karena Ibu tidak dekat dengan orang tuanya dan selalu jauh dari saudara serta keluarganya, sehingga Ibu tidak punya tempat bercerita. Hanum juga jarang melihat Ibu berkomunikasi atau bergaul dengan teman-temannya. Hanum dan adik-adiknya adalah pensive tempat Ibu mengeluarkan semua uneg-unegnya terhadap Bapak. Dan tidak jarang, Ibu menggunakan ujaran-ujaran kebencian yang tidak sepatutnya didengar oleh anak-anak mengenai orang tua mereka. Apalagi dengungan tersebut sudah didengarnya sejak dia duduk di bangku sekolah dasar.
Hanum teringat pembicaraannya dengan Ibu ketika dia masih duduk di kelas lima sekolah dasar. Saat itu adalah kali pertama Hanum melihat Ibu sangat marah hingga bibirnya bergetar, bahkan ketika terkatup dalam diam.
“Bapakmu laki-laki tidak tahu diuntung. Kurang ajar.” Hanum ingat tangan Ibu mencengkeram setir mobil dengan kencang. Adik-adik ditinggalnya di rumah bersama Bapak. Setelah ribut melempar piring ke arah Bapak hingga pecah berserakan, Ibu menarik Hanum kecil keluar dari rumah dan mendorong paksa Hanum ke dalam mobil.
“Buk, Hanum mau sama Yuda dan Ayu,” cicit Hanum kala itu. Dia takut sekali melihat wajah merah Ibu dan mendengar umpatan Ibu yang tidak berhenti sepanjang perjalanan.
“Ibu yang sekolahkan kalian. Ibu yang kerja. Kalau Ibu ngga ada, kalian jadi apa, hah? Jadi gelandangan kali kalian di pinggir jalan. Bapakmu bisa kasih apa sih ke keluarga? Dasar setaaaaaan!” Pekik Ibu sambil memukul stir.
Hanum kecil resah. Dia ingin berkumpul bersama adik-adiknya. Dia tidak suka ada di mobil sendirian dengan Ibu yang tidak lagi dikenalnya. Dia tidak suka melihat orang tuanya saling dorong, saling menghempas pintu, saling melempar barang, saling menunjuk, dan saling memaki dengan kata-kata kasar. Tanpa Hanum kecil sadari, air mata menggenang di pelupuk matanya, tapi tidak cukup banyak untuk jatuh mengalir di pipinya. Dadanya terasa nyeri.
“Bu sudah, Bu. Kok Ibu gitu ngomongnya? Ibu jangan bicara seperti itu tentang Bapak. Hanum tidak mau dengar.”
“Bapakmu itu baiknya di depan kalian saja! Di depan semua orang dia berlagak suci! Lembut sama orang, tapi sama istri sendiri kasar dan semena-mena! Dari dulu! Biar kamu tau, ya, Hanum. Sekalian aja kalian tau. Bapakmu itu bejat! Kepala rumah tangga kok begitu. Ibu capek! Ibu menderita, tahu!”
“Sudah Bu…” Hanum mengiba.
Tapi Ibu tidak berhenti bicara. “Sejak hamil kamu, Hanum, ya Allah.. Sejak hamil kamu Bapakmu sudah nyaci maki Ibu. Dia mencekik leher Ibu cuma karena Ibu minta beli TV! Ibu sudah mau cerai dari dulu!” Ibu mulai terisak. “Ibu karena ingat ada kamu saja, Hanum, makanya Ibu bertahan.” Ibu terdiam sejenak. Air mata mengalir di pipinya.
“Karena ada Yuda dan Ayu, Ibu bertahan.” Volume suara Ibu menurun. Pandangannya mengawang.
“Karena anak-anak..” Ibu menangis tersedu-sedu. Dia coba menghapus air mata yang mengalir deras dan menghalangi pandangan. Percuma. Air mata terus mengalir tanpa henti bagai air terjun dari kedua matanya.
Akhirnya Ibu menepikan mobil. Dia menundukkan kepala hingga dahinya menyentuh kedua punggung tangannya yang masih mencengkeram setir. Ibu menangis keras sangat lama. Hanum kecil hanya bisa diam melihat Ibunya – antara kasihan, takut, bingung, dan resah. Kompilasi rasa tidak nyaman.
Entah berapa lama kala itu Hanum dan Ibu tetap pada posisinya masing-masing di dalam mobil. Pada akhirnya emosi Ibu perlahan surut menjadi sesenggukan tanpa tangis. Dengan mata bengkak, Hanum ingat Ibu akhirnya menoleh padanya sambil tersenyum tipis dan berkata, “Ibu capek, Hanum.. Ibu capek..”
“Adikmu, Ayu, menikah bulan depan, ya, Hanum?” Suara Bapaknya di seberang sana memecah memori Hanum.
“Kok tahu?”
“Ayu nelfon Bapak. Minta Bapak datang.”
“Ya datanglah. Gimana dia mau nikah kalo walinya nggak datang,” jawab Hanum apa adanya. Ayu adalah anak ketiga sekaligus anak bungsu di keluarga mereka.
Sunyi sejenak terdengar di ujung sana sebelum Bapaknya melanjutkan, “Ibrahim apa kabar?”
“Baik, Alhamdulillah.”
“Boleh Bapak bicara dengan Ibrahim?”
“Abang sedang ke Madura.”
“Oh? Ada apa di Madura? Jenguk Bapak Ibunya?”
Hanum terdiam sebentar sebelum melanjutkan, “Ada dinas luar di Sumenep. Audit di perusahaan minyak.”
“Oh, ya. Asik ya, bisa sekalian tengok Pak Ali dan Bu Sunenah. Sudah lama Bapak tidak mengobrol dengan mereka.”
Hanum mengernyit mendengar pernyataan Bapaknya. Bukan karena terkejut bahwa Bapaknya akrab dengan orang tua Ibrahim yang notabene baru menjad besannya lima tahun terakhir ini. Tapi lebih kepada karena keengganaannya untuk melanjutkan pembicaraan dengan Bapaknya. Hanum diam tidak menanggapi.
“Jadi kalian berdua saja pergi ke rumah sakit?”
Sejak meninggalkan rumah, Bapaknya memang sering menelpon untuk sekedar menanyakan kabar keluarga kecilnya. Tapi, Hanum malas meladeni, jadi biasanya telfonnya dia alihkan pada Tania atau Ibrahim, suaminya, yang dengan senang hati berbicara dengan Bapaknya. Entah apa yang diobrolkan, kadang bisa sampai satu jam lamanya. Saking jarangnya bicara dengan Bapaknya, entah mengapa basa-basi ini terasa canggung untuk Hanum.
“Ya, berdua saja. Mau bagaimana lagi.” Ibrahim memang suami yang baik. Tanpa diminta, dia akan selalu mengawal istri dan anaknya ke manapun mereka pergi. Kecuali berhalangan sekali, seperti saat ini, Ibrahim tidak akan pernah mangkir dari tanggung jawabnya sebagai suami dan orang tua – walau Tania bukan putri kandungnya.
Tania adalah buah pernikahan Hanum dengan suami pertamanya saat dia dulu tinggal di Negeri Paman Sam. Sebuah pernikahan yang dia sesali dan sangat ingin dia lupakan. Walau begitu, Ibrahim selalu mengingatkannya untuk senantiasa bersyukur karena dari pernikahan tersebutlah lahir Tania.
“Kalau begitu Bapak bicara sebentar sama Tania, ya.” Hanum melirik anaknya yang kini sudah kembali mendengkur halus di pangkuannya.
“Tania tidur, Pak.”
Terdengar helaan nafas berat Bapaknya di seberang telefon. “Ya sudah. Besok Bapak telfon lagi ya. Ibrahim pulang kapan dari Madura?”
“Lusa in sha Allah,” jawab Hanum sembari berusaha membayangkan kalender di rumah yang sudah dilingkari tanggal kepulangan Ibrahim dari dinas luarnya.
“Syukurlah kalau sebentar lagi Ibrahim pulang. Jangan lama-lama pergi dinas luarnya. Biar anak Bapak ada yang jaga.” Kalimat terakhir Bapak menggelitik telinganya. Biasanya Hanum acuhkan. Namun kali ini, dia gatal untuk tidak menyahuti.
“Sejak kapan, Pak, peduli dengan anak-anak?”
“Hanum..”
“Kalau Bapak benar peduli, tidak basa-basi, Bapak tidak akan pergi meninggalkan Hanum dan adik-adik dan lantas membentuk keluarga baru.” Sunyi di seberang sana. Emosi Hanum dengan cepat memuncak.
“Hijrah apa, Pak?” Cibir Hanum. “Bapak adalah nahkoda. Bapak pergi begitu saja, membiarkan kapal ini karam. Anak-anak sebagai awak kapal Bapak biarkan terombang-ambing nggak jelas.”
“Bapak tidak pernah jadi nahkoda,” suara Bapak terdengar getir di seberang sana. “Bapak tidak pernah diberi kesempatan untuk menjadi nahkoda oleh Ibumu. Bagaimana Bapak mau tanggung jawab di depan Allah? Kamu dan adik-adikmu adalah tanggung jawab Bapak. Ibumu seharusnya menjadi tanggung jawab Bapak. Tapi, kamu lihat sendiri Hanum, selama ini apa mau Ibumu menurut dengan Bapak? Tidak. Ibumu membuat segalanya susah untuk Bapak.”
“Lalu solusi Bapak adalah dengan pergi meninggalkan kami – yang Bapak bilang adalah tanggung jawab Bapak – dan pergi mencari tanggung jawab baru, begitu?”
Bapak mengacuhkan pertanyaan Hanum barusan. Laki-laki setengah baya itu melanjutkan, “Permintaan Bapak tidak susah, Hanum. Bapak hanya minta Ibumu berhenti bekerja dan biarkan Bapak melaksanakan tanggung jawab Bapak sebagai kepala keluarga, yaitu pencari nafkah utama dalam keluarga. Apa susahnya Ibu melepaskan pekerjaan, lalu dukung Bapak? Fokus pada kalian saja, pinta Bapak. Biarkan Bapak kerja.”
“Ibu tidak pernah melarang Bapak untuk bekerja. Silahkan saja, jika Bapak mau bekerja. Ibu tidak perlu berhenti bekerja, kan, Pak? Apalagi waktu itu Ayu perlu uang untuk masuk kuliah, sementara Yuda sedang kuliah kedokteran yang tidak murah. Ibu tidak mau melepaskan pekerjaannya adalah hal yang wajar. Bapak ini hanya cari-cari alasan.”
Bapaknya menghela nafas berat, “susah kalau sudah begini. Pandangan kalian sudah tertutup tirai yang dirajut Ibu kalian sejak kalian kecil.”
“Hanum, rezeki tiap keluarga sudah ada porsinya. Sudah ditentukan Allah besarannya. Tinggal Bapak cari. Tapi, ketika porsi tersebut sudah terpenuhi oleh Ibumu, sekeras apapun Bapak mencari, tetap tidak akan ada gunanya, karena sudah direbut oleh Ibumu.” Hanum terdiam. Ah, apa benar begitu?
“Ibumu dari dulu mangkir dari peranya sebagai Ibu. Sudah ada porsinya masing-masing, Nak. Kalau melepas kodrat, celaka keluarga. Lihat saja kenyataannya. Sekarang Bapak tanya, walau sudah besar, sudah dewasa, apa kamu tidak perlu Ibu?”
“Maksud Bapak?”
“Sosok Ibu. Kamu tidak butuh?”
“Apaan, sih, Pak. Ibu ada kok buat kami. Kan Bapak yang pergi ninggalin kami!”
“Ibu ada raganya. Jiwanya nggak pernah ada, kan, Hanum? Kamu hidup bebas dulu di Amerika, sampai punya Tania dengan lelaki non-muslim itu salah siapa? Yang suruh kamu pergi ke Amerika siapa, Hanum? Yang tidak pernah ajarkan kamu mengaji siapa, Hanum? Ibumu seharusnya jadi madrasah buatmu dan adik-adikmu. Itu kodrat dia sebagai Ibu. Dia tinggalkan kodratnya sebagai Ibu dari anak-anaknya dan malah mengejar duniawi, mengejar uang, yang jelas-jelas sudah jadi porsi Bapak untuk lakukan. Mengambil lahan Bapak dan meninggalkan kepengurusan atas kalian yang seharusnya jadi fokus Ibumu.”
Tenggorokan Hanum mendadak tersekat mendengar Bapak membuka kembali cacat di masa lalunya yang berusaha dia kubur dalam-dalam. Hanum merasakan nyeri di dada yang menjalar hingga tangan kirinya. Nyerinya terasa seperti seolah ada ribuan jarum tak terlihat menusuk sampai tulang. Hanum berusaha mengingat-ingat ucapan psikiater tempat dia berkonsultasi selama ini. Deep relaxation. Breathe, Hanum, breathe..
Bapaknya masih semangat melanjutkan, “Ibumu gampang aja cari alasan di hadapan kalian. Apa Ibumu bilang? Bapak tidak kompeten sebagai pencari nafkah? Itu hanya tameng yang dipakai Ibumu untuk menjustifikasi keinginan dia mengejar mimpi pribadinya – punya uang banyak, punya jabatan. Entah apa tujuan akhirnya. Entah apa yang mau dia buktikan. Mungkin obsesi? Atau mungkin hanya sekedar tidak percaya dengan rezeki Allah? Bahwa rezeki ada yang mengatur? Entahlah.”
“Teman Bapak, dulu sama-sama di ITB, pebisnis, juga sempat hancur. Dia ditipu orang. Dari yang punya banyak rumah di Menteng sampai nggak punya apa-apa. Wajar hal seperti itu dalam bisnis, Hanum. Tapi istrinya tabah. Istrinya tidak lantas mengambil setir. Istrinya dukung dia. Kerjakan porsinya. Lihat sekarang teman Bapak sudah bisa berdiri gagah lagi. Itu yang Bapak butuhkan. Istri yang supportive dengan suami. Hanya dengan begitu Bapak bisa sukses bangkit dan kembali pada tanggung jawab Bapak sebagai nahkoda seperti yang kamu bilang tadi.”
Nyeri itu terasa semakin kuat di daerah dada Hanum. Rasanya seperti ada beban berat menimpa dadanya. Seolah, dadanya sedang dilindas truk besar. Hanum berusaha mengatur nafasnya agar bisa mengeluarkan suara. Tangannya sebelah berusaha memijat dadanya. Lirih, hampir berbisik, Hanum bisa mendengar dirinya berkata, “kalian egois. Orang tua egois.. Teruslah saling menuding.. Saling menyalahkan.. Nggak perduli kan kalian bagaimana akibatnya ke anak-anak kalian. Bapak dan Ibu sama saja..” Nafas Hanum mulai menderu.
“Hanum?”
Dengan terengah Hanum melanjutkan, “Kalian toksik, tau Pak.. Fokus saja terus pada diri kalian sendiri..” Hanum tersengal-sengal.
“Apapun permasalahannya.. Kalau.. Kalau Bapak merasa.. Memang.. Kepala keluarga.. Ini.. Bapak nggak.. Lari..”
“Hanum?” suara Bapaknya terdengar khawatir. Hanum bisa mendengar nafasnya sendiri berat dan panjang. Susah payah dia berusaha menarik nafas. Kini tubuh Hanum sudah condong ke depan dengan kedua tangannya mencengkeram lututnya, berusaha menopang beban tubuhnya pada posisi tripod. Tania sudah terbangun dan kini dalam posisi duduk di sebelah Mamanya.
“Nggak Bapak, nggak Ibu.. Kalian sama saja! Sama-sama egois! Sama-sama salah! Mengorbankan.. Kami.. Anak-anak.. Demi ego kalian masing-masing.. Saya sakit, Pak.. Karena kalian.. Puas kah Bapak? Puas?” Hanum bisa merasakan hangat mengalir di kedua pipinya, deras.
“Ma?” Suara Tania terdengar khawatir. Kedua tangan Tania meraih Mamanya. Salah satu tangannya mengusap-usap punggungnya. Beberapa orang di sekitar mereka sudah mulai melirik ke arah mereka, penasaran.
Hanum tidak memedulikan pandangan tersebut. Salah satu alasan kenapa Ibrahim tidak pernah membiarkan Hanum pergi sendirian adalah karena ini, panic attack. Hanum tidak ingat kapan persisnya dia mulai bergejala. Hanum ingat sejak SMP, beberapa kali dia sempat dibawa ke UKS karena mendadak sesak. Semua menduga dia asthma. Hanumpun berfikir demikian. Sampai kemudian gejalanya makin intens dia rasakan lima tahun belakangan dan Ibrahim, suaminya, bersikeras untuk mengusut gejala Hanum hingga tuntas.
Bukan asthma ternyata temuan dokter. Hanum dirujuk ke spesialis kejiwaan, atau yang biasa disebut dengan psikiater. Diagnosa psikiater, Hanum memiliki panic disorder.
“Hanum? Asthmamu kambuh?” suara Bapak terdengar semakin jauh seiring dengan jatuhnya telepon genggam Hanum dari genggamannya. Dengan tangan tersebut Hanum berusaha memberi tanda stop untuk menghalau beberapa ibu-ibu di sekitarnya yang tampak khawatir dan kini sudah mulai mendekat ke arahnya, berusaha membantunya. Makin Hanum berusaha menggapai udara, tenggorokannya terasa makin sekat. Dadanya terasa makin sempit.
Tangan Hanum tremor ketika dia berusaha meraih ke dalam tasnya. Kontainer obatnya di mana? Hanum tidak bisa mengakses ingatannya. Kepalanya terasa ringan bagai kertas. Pandangannya mulai buram, namun Hanum sempat melihat raut cemas pada wajah Tania. Beberapa perawat tampak berlari ke arahnya dengan panik sembari berteriak code blue pada perawat lainnya.
Riuh suara orang-orang di sekitarnya saat Hanum merasakan tubuhnya limbung dan dia kehilangan pegangan. Gravitasi menariknya ke arah belakang dan Hanum bisa mendengar suara dentuman keras. Entah dari mana. Sayup, Hanum juga mendengar Tania terisak memanggil-manggil disusul dengan suara keras seorang perawat berusaha menariknya kembali pada kesadaran yang makin lama terasa makin jauh.
Kemudian gelap.
~
I watched you die
I heard you cry every night in your sleep
Hanum kecil menggapai handle pintu dan menariknya turun. Pintu terbuka. Kamar orang tuanya senyap. Tepat di seberang pintu sebuah tempat tidur berukuran king size sedang diduduki seorang perempuan. Dia menunduk dalam dengan pandangan terpaku pada kedua tangannya, sibuk memainkan jemari lentiknya. Rambut sebahunya menutupi keseluruhan wajahnya. Hanum berjingkat perlahan ke arah tempat tidur. Kedua tangan dan kaki kecilnya dia kerahkan untuk memanjat kasur yang terasa sangat besar tersebut. Ketika berhasil mendudukan diri di samping wanita tersebut, Hanum menyibakkan rambut panjang sebahu di hadapannya, berusaha mencari wajah Ibunya.
Kulit putih Ibu tampak semakin pucat. Lebam biru tampak pada mata kanannya. Sudut bibirnya tampak merah berdarah. Bibir bawahnya sobek. Tampak pula lecet pada sebelah pipi Ibunya. Ibu menatap Hanum dengan kedua matanya yang tampak sangat bengkak seperti habis menangis lama.
“Bu, selamat idul fitri.”
“Selamat idul fitri, Hanum.”
“Hanum minta maaf ya Bu.” Hanum kecil tidak tahu harus meminta maaf tentang apa. Yang dia tahu, sanak saudaranya yang tengah berkunjung di lantai bawah saling bermaaf-maafan. Jadi dia ikut menyuarakan.