Independent Child

Ir. Rachmat
Chapter #3

Sabuk

Pertokoan di kawasan pusat perbelanjaan pasar Jatinegara Jakarata Timur, lebih kenal dengan sebutan pasar Mester, siang ini tidak begitu banyak di kunjungi calon pembeli, atau lalu-lalang orang yang hanya ingin sekedar melihat-lihat produk fashion, aku diantaranya, Aku anak laki-laki berusia 11 tahun, namaku Garvin Altamis, Garvin dalam kamus bahasa Inggris maknanya Teman, Altami dalam bahasa Arab, ber makna pemimpin, Panggilan hari-hariku, Garvin, Postur tubuhku saat itu, kurus mendekati kerempeng, Aku walaupun berkulit putih, wajah katanya cukup tampan, namun kusam, dan dekil, sama seperti pakaian yang aku kenakan, bahkan aku sesekali, harus mengangkat celanaku, agar tidak melorot, sebab strap sabuk yang aku pakai sudah lapuk, sudah tidak dapat di fungsikan lagi untuk mengaitkan tulang penusuk (prong), pada lubang-lubang kecil yang ada pada strap sabukku ini.

Aku tiba di muka sebuah toko yang menjual banyak ragam, dan corak sabuk, namun apapun jenis dan corak sabuk, pasti, dan harus memiliki bagian pengikat, dengan sebutan kepala ikat pinggang atau gesper, bahasa Inggrisnya, buckle.

“Sabuk Buckle Frame itu, strap nya bukan dari bahan kulit asli ya, pak?“, Tanyaku pada pemilik toko, sambil menunjuk sabuk ber buckle Frame.

Pemilik toko pria usia 35 tahun ingin menjawab, namun setelah melihat penampilanku yang kusam, dekil, bahkan aku sesekali harus menaikan celana yang melorot, bukan menjawab, malah mengalihkan pandangannya dariku, Di dalam toko ada dua orang pria berbusana dinas pegawai negeri Pemda DKI, usia 35 tahun an, yang sedang melihat-lihat sabuk.

“Harganya berapa, pak?“, Tanyaku lagi.

“300 ribu!“, Jawabnya agak katus, masih sambil mengalihkan pandangannya.

“Mahal bener“.

“Kamu tau merk sabuk mahal tidak!“, Tanya pemilik toko, kesal.

“Se ingat aku, sabuk termahal di dunia, diantaranya, Versace Crystal 3D Medusa, Ralph Lauren Alligator, Stefano Ricci Crocodile Palladium, Billionaire Italian Couture Alligator, Malah Hermes Entriviere, harganya sekarang ini, 5.100 US dollar, kalau di rupiahkan, sekitar 70 juta“.

 

Mendengar jawabanku yang meyakinkan, dan logat bahasa Inggrisku juga fasih, sekejap membuat Pemilik Toko, dan dua pria berseragam dinas ASN, tercengang kaget. 

“Kamu tau dari mana, merk-merk sabuk termahal di dunia?“, Tanya salah seorang pria berseragam dinas ASN.

“Aku pernah dengar promonya, waktu ada pemeran di pekan raya Jakarta, pak“, Jawabku.

Dua pria berseragam ASN, senyum-senyum kagum padaku, Pemilik toko masih tercengang kaget, sementara aku sudah keluar toko, sambil sesekali menaikan celanaku yang melorot.

   

Sekolah Dasar (SD) Negeri ini terbilang megah, sebab ber lantai tiga, struktur bangunannya juga kokoh, serta di lengkapi sarana olah raga, Sangat berbanding terbalik dengan penghuninya, yaitu para murid, sebagian besar berasal dari golongan masyarakat tidak mampu, yang tinggal di kawasan semi kumuh dimana sekolah itu berada, Inilah salah satu bentuk keperdulian Pemerintah, dalam mensetarakan fasilitas dan kualitas Pendidikan, tanpa bayar, alias gratis, untuk semua golongan masyarakat.

Pada tahun 2005, dimasa pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yoedoyono (SBY), untuk pertama kalinya dalam sejarah pendidikan Republik Indonesia, Program pendidikan mulai dari tingkat SD, sampai SMP, di gratiskan, alias tanpa di bungut biaya, Inilah peristiwa ter indah bagi kami anak-anak bangsa di waktu itu.

 

Di ruang kelas 5, semua murid sudah duduk di kursinya masing-masing, termasuk aku, Kami semua sesuai tata tertib peraturan seragam sekolah di hari Senin, menggunakan pakaian putih, celana merah, berdasi merah, baju di masukan, pakai sabuk warna hitam, sepatu kets warna hitam, kaos kaki putih, Untuk Wanita, rok dibawah betis, Namun pakaian seragam yang aku pakai, warnanya sudah kusam, dan pudar, Aku juga pakai sabuk, walaupun strap nya sudah lapuk, sudah tidak dapat di fungsikan lagi untuk mengaitkan tulang penusuk, pada lubang-lubang kecil yang ada pada strap sabukku ini.

Aku duduk di kursi bagian tengah ruang kelas, dekat seorang murid bernama Angga, anak pria usia 11 tahun an, teman dekatku, Di muka kelas, ada satu set kursi dan meja untuk guru, Darman pria usia 40 tahun an, guru mata pelajaran IPA, duduk di kursi itu, Ia sambil membaca buku pelajaran IPA.

“Cahaya putih telah mengalami pembiasan, dan terurai menjadi bermacam-macam warna, yaitu, merah, jinggga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu, Warna-warna yang membentuk cahaya putih itu, disebut spektrum. Peristiwa ini seperti terjadi pada cahaya yang menembus prisma“.

Lihat selengkapnya