Disepanjang bantaran sungai Ciliwung, sekitar wilayah Manggarai, Tebet, Jakarta Selatan, nyaris di penuhi bedeng-bedeng terbuat dari kayu-kayu bekas, kardus bekas, dan ber atap terpal lusuh, Penghuni bedeng itu, hampir sebagian besar, merupakan kaum urban, urbanisasi dari Desa Ke Kota, Mereka merupakan sebagian kelompok masyarakat sangat miskin, penghuni liar tanpa KTP, di salah satu pemukiman kumuh kota Jakarta. Diantara bedeng-bedeng darurat itu, ada juga rumah-rumah permanen, dan semi permanen, milik penduduk asli ber KTP Jakarta, Walaupun tinggal di pinggiran sungai Ciliwung, wailyah ini tidak pernah kebanjiran, karena berada dekat pintu air Manggarai.
Di pemukiman ini, ada sebuah rumah semi permanen sangat sederhana, berukuran (3 X 8) meter an, Berdinding triplek bekas, ber atap seng gelombang, sebagian ruangan tidak di lengkapi plafon, Di teras muka rumah, ada bale kayu untuk duduk-duduk santai, Itulah rumah tempat tinggalku saat ini, di pinggir bantaran sungai Ciliwung, Rumah kontrakan milik warga setempat.
Dua tahun lalu, setelah musibah itu, Aku dan keluargaku, jadi salah satu penghuni pemukiman semi kumuh ini, namun kedua orang tuaku, sudah ber KTP daerah ini, Karena pada saat membuat KTP, dan KK, Dapat ijin tertulis dari pemilik rumah kontrakan, untuk menggunakan alamat rumahnya.
Duduk gelisah di bale kayu, seorang pria bernama Hugo, Hugo adalah nama ayahku, lengkapnya Hugo Altamis, Aku memanggilnya, papa, Hugo berkulit putih, wajah cukup tampan, Walaupun usianya belum genap 37 tahun, namun papaku sudah seperti berusia di atas 55 tahun, Uban sudah banyak tumbuh di rambutnya, tubuhnya kurus kering, krempeng, hingga celana panjang yang di pakainya longgar, sama seperti aku.
Melangkah di hadapan papaku, seorang pria bernama Jumari, usia 25 tahun an, sambil menghisap rokok filter.
“Apa khabar Jumari“, Sapa papaku yang mengenali Jumari.
“Baik, om Hugo”, Jawabnya.
“Maaf dik Jum, boleh saya minta rokok“.
“Rokok saya, cuma yang saya hisap ini“.
“Untuk saya saja ya“.
Jumari sejenak bingung, lalu menyerahkan rokok yang sedang di hisapnya itu pada papaku, Papaku menghisap dalam-dalam rokok yang tinggal puntung itu, Jumari meninggalkan tempat, Papaku setelah menghisap rokok, baru bisa duduk tenang dan santai.
Dari jalan perkerasan beton bantaran sungai Ciliwung, tiba dua orang wanita, bernama Elena usia 36 tahun, dan Fiona usia 9 tahun, Elena adalah ibuku, Aku memanggilnya, mama, Fiona adik sulungku, Mama dan adikku, ber paras cantik, berkulit putih, Namun postur tubuh mereka juga kurus, kering, Pakaian yang mereka kenakan sudah kusam, lecak, longgar, kebesaran dengan ukuran tubuhnya, Sama seperti aku dan papaku.
“Pa, di kampung kita ini, cuma tukang telur, yang masih percaya sama mama untuk ngutang“, Kata mamaku, menunjukan kantong kresek berisi telur yang ia bawa.
“Tidak apa-apa, ma, yang penting, ada yang bisa kita makan“, Jawab papaku dengan tersenyum.
“Papa ini, mama di suruh ngutang kesana kemari, tapi papa, malah duduk-duduk santai!“, Sindir Fiona, adikku.
“Lantas papa harus bagaimana, Jalan mundar-mandir di pinggiran sungai, begitu“, Jawab papaku, masih tersenyum.
“Harusnya papa keluar rumah, cari kerja, biar mama ada uang, Papa lihat aja di dapur, sudah engga ada beras, Iya kan, ma?“, Kata Fiona, dan bertanya pada mamaku.
“ Cari kerja itu gampang Fiona, Cari uang yang susah“, Mamaku yang menjawab.
“ Sudah tau cari uang susah, Papa malah beli rokok“, Sindir Fiona lagi, pada papaku.
“ Ini rokok, boleh minta!“, Balas papaku, kesal.
Papaku yang merasa tersindir, mengalihkan pandangannya dari Fiona, Fiona adikku, memang pintar bicara, apapun yang tidak berkenan di hatinya, langsung dia sampaikan, tanpa basi-basi.
“Fiona, tidak baik bicara seperti itu sama papa kamu“, Kata mamaku, membela papaku.
“Aku kasihan sama mama, di suruh ngutang terus sama papa“, Balas Fiona, sedu, sedih.
“Kamu kedalam sana, ajak adik kamu makan“.