10 butir telur rebus dalam piring kaleng, ada di atas bale kayu depan rumah berukuran (3 X 18) meter, Fiona dan Rafael, kedua adikku yang duduk dibale kayu, Jangankan ada niat untuk menyantap, melihatnya pun tidak, walaupun itu piring berisi telur, ada di hadapannya.
“Fiona, Rafael, Kalian tidak kepanasan, duduk ber jam-jam disitu?“, Tanya mamaku, yang baru keluar dari dalam rumah.
“Tunggu papa pulang, ma“, Jawab Fiona.
Mamaku memperhatikan 10 butir telur rebus itu.
“Mama rebus telur dari pagi, belum juga kalian makan“.
“Itu telur, di kasih kucing saja, ma, Kita kan siang ini, kata papa, makan di restoran Padang“.
Aku dengan wajah sedu, lesu, tiba dekat mereka, Mamaku dan Fiona, memperhatikan baju seragam sekolah aku yang tidak di masukan.
“Kaka habis dihukum bu Guru ya, baju seragam engga dimasukin?“, Tanya Fiona.
Aku gelengkan kepala.
“Mama pikir, kamu di setrap?“, Tanya mamaku.
Aku menaikan baju, hingga terlihat tali rapia pengikat celanaku, agar tidak melorot, Mamaku, Fiona dan Rafael, spontan menahan tawa, Aku kembali menurunkan baju, lalu memperhatikan pintu rumah yang sudah terpasang, dengan engsel dari strap sabuk milikku, berbahan kulit asli.
“Tenang ka, sebentar lagi papa pulang bawa uang banyak, Mama juga sudah janji, mau beliin kaka sabuk baru“, Kata Fiona, menghibur aku.
“Iya ade“, Jawabku senyum-senyum.
Aku mendekati Rafael, adik bungsuku, lalu memperhatikan ubun-ubun di kepalanya.
“Bisul dikepala ade, sudah mulai kempes“, Kataku, senang.
“Perut ade juga, kempes, ka, Dari pagi engga mau makan“, Kata Fiona.
Papaku tiba dari jembatan kecil yang melintangi sungai, Jembatan untuk penyeberangan orang, dan kendaraan roda dua, Rafael yang melihat papaku, dan memang sedang menunggu, Berteriak senang.
“Papa,……..!“.
Rafael dan Fiona, setengah lari, mendekati papaku.
“Kita jadi kan, pa, makan di restoran Padang?“, Tanya Fiona, bersemangat.
Papaku dengan wajah di tekuk, hanya diam cembetut, lalu duduk di bale kayu, Mamaku sepertinya, memahami sikap papaku itu.
“Garvin, bawa adik-adik kamu kedalam“, Kata mamaku.
“Iya ma“.
Aku dengan menuntun tangan Fiona dan Rafael, masuk kedalam rumah.
Aku, Fiona dan Rafael, tiba di dapur, Aku membuka penutup ember tempat beras, Didalam ember, tidak ada satu butir pun beras.
“Dari semalam di ember, emang sudah engga ada beras lagi, ka“, Kata Fiona.
“Jadi ade dari pagi, belum pada makan?“, Tanyaku.
Fiona dan Rafael, serentak gelengkan kepalanya.
“Kenapa?“.
“Kata kaka, kalau terus-terus an makan telur, bisa bisulan“.
Aku jadi tidak tau harus bicara apa lagi, Mamaku tiba membawa piring berisi 10 butir telur rebus, Telur rebus yang sebelumnya di bale kayu.
“Ma, aku sudah lapar bener, Sekarang aja ke restoran Padang nya“, Kata Fiona, melas.
“Aku juga, mama“, Sambung Rafael.
“Kita tidak jadi makan di restoran Padang, Papa kamu tidak dapat uang, Sekarang makan saja yang ada“, Kata mamaku.
Mamaku meletakkan piring berisi 10 telur rebus, di hadapan Fiona dan Rafael, Fiona dan Rafael, sama-sama mengalihkan pandangannya dari telur