Independent Child

Ir. Rachmat
Chapter #12

Puntung Rokok Membawa Petaka

Setelah menerima uang dari Herman sebesar 5 juta, Papaku menemui Wan Abas, Uang 3 juta, ia serahkan pada Wan Abas, Papa aku pun dapat keuntungan, sebesar 2 juta rupiah.

Dari tempat Wan Abas, papaku kembali di emperan pertokan pasar Mester Jatinegara, dan kini sudah berada di depan sebuah kios rokok, dan minuman, Papaku sambil menikmati teh botol dingin, memperhatikan beberapa macam produk rokok, yang terpajang di kios itu, Papaku berhitung dalam hatinya.

“Uang ada 2 juta rupiah, Untuk beli sabuk Garvin, 75 ribu, Jika saya belikan rokok 2 slop, untuk stock 1 bulan, masih lebih dari cukup untuk bayar hutang istri saya, beli 5 bungkus nasi Padang, dan belanja kebutuhan makan selama 2 bulan”.

Kata papaku bicara dalam hatinya, lalu mendekati pemilik kios, seorang ibu usia 45 tahun an.

“Rokoknya bu, 2 slop“, Kata papaku.

“Banyak sekali pak, Ada acara hajatan, ya?, Atau untuk di bagi-bagikan orang satu RT yang kerja bakti?“, Tanya Ibu pemilik kios, agak kaget.

“Sudah cepat, jangan banyak tanya!“, Kata papaku, kesal.

Ibu pemilik kios, mengambil 2 slop rokok sesuai permintaan papaku, lalu di masukan dalam kantong kresek, Kantong kresek ia serahkan pada papaku.

“Jadi berapa bu, dengan teh botol?“, Tanya papaku.

“300 ribu“, Jawab itu ibu.

Papaku menyerahkan tiga lembar uang kertas 100 ribu an pada ibu pemilik kios.

 

Daru pria pedagang kaki lima, baru saja menerima uang dari dua orang pemuda, yang membeli topi, dan dompet, Papaku sambil menghisap rokoknya, tiba di depan lapaknya Daru.

“Sabuk yang tadi, mana mas?“, Tanya papaku.

“Bapak jadi beli juga?“, Daru balik bertanya.

 “Iya“.

Daru mengambil sabuk warna hitam, lalu di masukan dalam kantong kresek, Papaku mengeluarkan uang 75 ribu rupiah.., dari saku bajunya.

“Ini mas, 75 ribu“, Kata papaku sambil menyodorkan uang pada Daru.

“Harganya 150 ribu, pak“.

“Telinga saya ini, tidak tuli mas, Sebelumnya mas bilang, 75 ribu“.

“Iya, tadi itu saya belum panglaris, makanya saya berani jual rugi, Kalau sekarang, sesuai dengan harga pasaran saja“.

“Mas jangan mempermainkan saya!“, Bentak papaku yang emosi.

“Harga pasaran sabuk seperti itu, memang 150 ribu, Kalau tidak percaya, bapak cek, di lapak sebelah sana“.

Papaku naik pitam, lalu menghajar Daru, Daru tidak terima, dan balas menghajar papaku, Mereka pun berkelahi, Papaku yang masih merokok, tanpa disadari, rokoknya terlempar, dan jatuh di tumpukan sweater (baju hangat) dan jacket, di lapak pedagang kaki lima, yang mangkal di samping lapaknya Daru, Seorang Petugas Satpam pria usia 40 tahun an tiba, merelai perkelahian mereka.

“Ada apa ini?“, Tanya Petugas Satpam.

“Saya di pukul pak Satpan!“, Jawab Daru yang masih kesal.

“Dia mempermainkan saya, pak Satpam!“, Kata papaku membela diri, sebari menatap kesal Daru.

Jufri pria usia 35 tahun an pemilik lapak itu tiba, Ia kaget, panik, Sweater (baju hangat), dan jacket dagangannya sudah terbakar, dan mengeluarkan asap, yang berasal dari bara api puntung rokok papaku, Papaku juga panik.

“Dagangan saya,…. !“, Teriak Jufri dalam kepanikan.

Jufri di bantu Pedagang kaki lima lainnya memandamkan api dengan air mineral, Api memang padam, namun 10 Sweater (baju hangat), dan 5 jacket, sudah hancur dan bolong terbakar api, Jufri mengambil puntung rokok dari tumpukan sweater yang terbakar itu.

“Siapa yang buang puntung rokok sembarangan,…. !“, Teriak Jufri, geram, kesal, dengan pandangan pada papaku dan Daru.

“Dia bang“, Jawab Daru menunjuk papaku.

Jufri dan dua orang pedagang kaki lima, serentak menghajar papaku, Papaku dengan wajah babak belur jatuh terpuruk, Petugas Satpam menghalaunya.

“Tenang, tenang, jangan emosi begini, Kita selesaikan permasalahan ini, di pos“, Kata Petugas Satpam.

 

 

Malam ini di ruang muka rumah, Aku mengajari Fiona adik sulungku, menghafal kali-kalian dari angka satu sampai 9, Walaupun sempat beberapa kali salah, namun Fiona bisa juga menghafalnya, Sementara Rafael adik bungsuku, hanya duduk diam, dengan bahu bersandar di dinding triplek.

“Besok kita belajar pembagian ya. ade“, Kataku.

“Iya pak guru“, Jawab Fiona.

Aku sejenak memperhatikan Rafael.

“Rafael, kamu kenapa diam saja?“, Tanyaku.

Lihat selengkapnya