Independent Child

Ir. Rachmat
Chapter #18

Jacket Belel

Ruang tengah, merupakan kamar tidur papa dan mamaku, Papaku sudah mengenakan celana panjang formil, dan kemeja lengan pendek di keluarkan, Lalu memakai jacket ber bahan jeans belel model lama, dan sudah kusam, bahkan sebagian robek, bolong, Jacket penuh bordir stiker bunga lencana, dan di lengkapi tali rantai, Mamaku yang baru masuk kamar, menahan tawa.

“Papa ingin jadi anak berandalan apa, pakai jacket seperti itu?“, Tanya mamaku.

“Ya tidak lah ma, Ini jacket kumunitas club motor, 10 tahun lalu, setiap kali papa touring dengan kawan-kawan papa, Kita wajib pakai jacket ini“, Jawab papaku, sambil sesekali menaikan celananya yang melorot.

“Tapi papa sudah tidak punya motor lagi, untuk apa di pakai?“.

“Papa ingin jual“.

“Jadi, yang papa maksud peras otak, untuk cari solusi tadi itu, Solusinya jual jacket bekas?“.

“Iya sayang“.

“Siapa yang mau beli, papa sayang, Tukang loak saja, belum tentu mau“.

“Ini jacket jeans, merk ber kelas, ma“.

“Sudah dekil begitu, banyak bolong lagi“.

“Papa sudah menemukan pembelinya, ma“.

“Ya bagus lah pa, biar kita ada uang, paling tidak, untuk beli sabuk nya Garvin, biar dia besok, bisa ikut lomba cerdas cermat, Kalau beras, masih cukup sampai lusa“.

“Iya ma, Apa mama masih punya peniti?“.

“Ada, tapi masih mama pakai, untuk mengikat lipatan daster mama, biar tidak kelihatan longgar“.

“Papa pinjam dulu, biar celana papa tidak melorot“.

Mamaku melepas peniti yang melipat daster panjangnya, lalu di serahkan pada papaku, Papaku melipat bagian pinggang celana formilnya, kemudian di kaitkan dengan peniti, Kini celananya sudah tidak melorot lagi. 

“Papa berangkat dulu ya sayang“.

“Iya papa sayang, hati-hati di jalan, Mama juga mau ke rumah mba Yayu, mengembalikan sabuk anaknya yang mama pinjam“.

Papaku sejenak mencium kening mamaku, lalu keluar kamar, Mamaku tiba di ruang dapur, Mamaku melepas sabuk dari celana seragam sekolahku yang ada di bak plastik.

 

 

Bersamaan dengan tibanya jam pulang kantor, Gedung perkantoran ber lantai 8 ini, di sibukan dengan aktivitas para pegawai keluar dari pintu kantor, kemudian menaiki kendaraannya masing-masing yang parkir di area parkiran, Papaku sudah ada di tempat itu. Papaku yang memakai jacket jeans bebel model lama, sebagian robek, penuh bordir stiker bunga lencana, dan di lengkapi tali rantai, jadi pusat perhatian seorang Preman usia 30 tahun an, Tukang Parkir di perkantoran itu, yang memakai jacket belel seperti jacket papaku, kulit tangannya penuh tato, Ia mendekati papaku.

“Smok (rokok) bang?“, Kata itu preman, berlogat bahasa prokem, menawarkan rokok pada papaku. 

Papaku gelengkan kepalanya.

“Abang biasa nongkrong dimana?“, Tanyanya lagi.

Papaku bingung, sebab tidak mengenalinya, Herman kawan papaku, keluar dari dalam gedung perkantoran, Papaku mendekatinya.

“Sorry Herman, saya jadi datang ke kantor kamu lagi“, Kata papaku.

“Engga apa-apa Go, Kita ngobrol di rumah makan saja ya“, Kata Herman.

Papaku dan Herman, masuk kedalam rumah makan terbuka, yang ada di samping gedung perkantoran ini.

Lihat selengkapnya