Independent Child

Ir. Rachmat
Chapter #23

Gagal Ikut Lomba Cerdas-Cermat

Tiga  mobil mini bus, parkir di halaman muka sekolahku, Disitu ada Darman guru IPA ku, dan 20 murid kelas 6, diantaranya, 2 murid yang terpilih mewakili sekolahku, untuk mengikuti lomba Cerdas Cermat di stasiun TV, Darman sebagai koordinatornya, Betrix ibu kepala sekolahku, tiba di tempat itu.

“Garvin Altamis murid kelas 5, belum juga datang?“, Tanya Betrix.

“Justru anak itu, yang bikin kami cemas, bu, Sementara sesuai jadwal, kita sudah harus berada di stasiun televisi, paling lambat jam 10“, Jawab Darman.

Betrix sejenak melihat jam di pergelangan tangannya.

“Sudah jam 9 lewat 5 menit, Tidak ada waktu lagi untuk menunggu“.

“Jadi bagaimana, bu?“.

“Kalian berangkat saja, Untuk pengganti Garvin Altamis, pak Darman bisa sertakan, dari murid kelas 6, yang ikut seleksi tahap akhir“

“Baik bu, kebetulan anaknya, ada bersama kami“.

Darman dan 20 murid kelas 6, menaiki tiga mobil mini bus, mobil mini bus bergerak meninggalkan sekolahan.

   

Kipas angin berputar-putar, menyejukan mamaku yang ber baring belum siuman, di atas tempat tidur ber kasur busa dalam kamarnya, Fiona tidak henti-henti menangis, meratapi mamaku, Aku iba dengan mamaku, namun juga bingung, Kenapa mamaku begitu marah padaku, padahal, apa yang aku lakukan, menurut pemikiran aku, Demi kebaikan papaku, agar papaku bisa membuktikan pada pihak kepolisian, jika papaku tidak bersalah.

“Ka, mama  kenapa?“, Tanya Fiona.

“Mama engga apa-apa, ade, Mama cuma tidur istirahat, kecapean“, Jawabku.

Tiba-tiba, lampu bohlam padam, kamar mamaku jadi agak gelap, pengap dan panas, sebab kipas angin, sudah tidak ber putar lagi, karena tidak ada aliran listrik.

“Listriknya mati, ka“.

“Stop kontak MCB nya, turun kali, sebentar kaka lihat“.

Aku keluar kamar, sesaat kemudian, kembali masuk kamar.

“Stop kontak MCB, engga turun, ade, Lampu di rumah tetangga kita juga, pada hidup semua, Apa listrik di rumah kita, di putus PLN?“.

“Iya kali ka, Soalnya kemarin itu, ada orang PLN, ngasih surat sama papa“.

Aku jadi panik.

“Cepat ka ke kantor PLN, bayar tunggakan listrik, biar listriknya hidup lagi, kasihan mama kegerahan“.

“Kaka engga punya uang, ade“.

Mamaku karena kepanasan, perlahan-lahan siuman, dan membuka kedua matanya, Aku senang, haru.

“Mama,…..“, Sapaku.

Mamaku setelah melihat aku, langsung balik badan, menghadap ke dinding triplek, dengan posisi masih rebahan, Fiona bingung dengan sikap mamaku.

“Fiona, mama ingin sendiri di kamar“, Kata mamaku.

“Iya ma“, Jawab Fiona.

Aku dan Fiona, keluar kamar, Aku ingin menutup pintu dari luar kamar.

“Pintunya jangan di tutup!“, Kata mamaku lagi, masih menghadap dinding triplek, dengan nada suara tinggi, kesal.

Lihat selengkapnya