Independent Child

Ir. Rachmat
Chapter #26

Ingin Mati Bunuh Diri

Dari sekolahah, aku kembali ke rumah, pintu dan jendela tertutup rapat, Aku mengetuk-ngetuk pintu rumah, namun pintu belum juga terbuka.

“Fiona, buka pintunya,….!“, Kataku dengan suara di keraskan.

Pintu terbuka, Fiona dan Rafael, kedua adikku, ada di balik pintu.

“Jendelanya kenapa ditutup ade, Memangnya ade engga kegerahan?“, Tanyaku.

“Ya gerah bener, ka, panas lagi, badan kaya mau kebakar, Tadi mama yang tutup semua pintu, jendela, Katanya, jangan di buka-buka“.

“Mama nya mana, Apa masih tidur di kamar?“.

“Pergi“.

“Pergi kemana?“.

“Mana aku tau, Perginya engga bilang-bilang“.

Aku jadi panik, cemas, dan ada rasa khawatir, Mamaku pergi dari rumah, karena kesal, dan kecewa padaku.

“Ka, kasihan mama, tadi banyak yang datang marah-marahin mama, Mereka pada nagih hutang“, Kata Fiona, dengan nada suara sedu.

Aku mulai tenang, ke khawatiranku tidak terbukti, Sebab mamaku pergi, hanya untuk menghindar dari para penagih hutang saja, dan itu, sudah sering mamaku alami.

“Ade sudah pada makan?“, Tanyaku pada Fiona dan Rafael.

Fiona dan Rafael, serentak gelengkan kepalanya, sebagai isyarat belum makan.

 

Aku dan kedua adikku, tiba di dapur ruang belakang rumah, di atas meja kayu, ada piring berisi 13 butir telur rebus, lima gelas kosong, dan air minum dalam teko plastik.

“Katanya belum pada makan, Ini telur yang tadi pagi kaka rebus 20, tinggal sisa 13?“, Tanyaku.

“Yang tujuh, di makan mama“, Jawab Fiona.

Aku kaget, namun juga senang, berarti mamaku, sejak kemarin belum makan, kini sudah makan 7 butir telur rebus.

“Sekarang kita makan telur dulu, besok baru  makan nasi Padang komplit“, Kataku pada Fiona dan Rafael.

“Yang benar, ka, Nanti kaya papa lagi, cuma janji terus?“, Tanya Fiona.

“Serius ade, tapi satu bungkus, untuk kita makan ber empat“.

“Iya ka iya, biar sedikit, tapi makan enak“, Balas Fiona, begitu senang.

Rafael adikku juga sudah tersenyum, Kami mengupas semua kulit telur, kini telur sudah siap untuk di santap, Fiona dan Rafael, kedua adikku, seperti biasanya sebelum menyantap telur, kedua lubang hidungnya di tutup dengan jemari tangan kirinya, lalu pejamkan mata, Baru satu butir telur tertelan, mereka muntahkan lagi, sebab merasakan mual, Sepertinya kedua adikku, sudah jenuh, dan trauma makan telur lagi, yang ber akibat bisulnya tidak akan pernah sembuh, Aku jadi cemas, bingung, karena biar bagaimana pun juga, kedua adikku harus makan, agar perutnya ter isi.

“Coba lagi ade, siapa tau ada yang masuk ke dalam perut“, Kataku dengan perasaan iba.

Kedua adikku ngangguk walau dalam kepanikan, Mereka kembali menelan telur, sambil pejamkan mata, dan menutup hidung, Dari masing-masing 5 telur yang di telan, 3 telur di muntahkan, berarti, hanya ada 2 telur yang masuk kedalam perut adikku, jelas masih kurang untuk kebutuhan tubuhnya, Sementara telur, tinggal tersisa satu butir.

“Kaka rebus telur lagi ya, Itu stok telur masih banyak“.

Kataku dengan pandangan pada tiga krat berisi telur upah jasa mamaku memasarkan telur, Kedua adikku serentak gelengkan kepalanya.

“Kalau begitu, ade minum yang banyak“.

Aku menuangkan air minum dari teko kedalam lima gelas kosong itu, Kedua adikku masing-masing menenggaknya setengah gelas.

“Minumnya yang banyak, ade“, Kataku.

“Kenapa mesti minum yang banyak, ka?“, Tanya Fiona.

“Dari buku yang pernah kaka baca, Kita mahluk manusia, bisa bertahan hidup tanpa makan sampai tiga minggu, tapi 4 hari saja engga minum, bisa mati“.

Fiona dan Rafael, kedua adikku jadi panik.

“Minum yang banyak ade, biar kita engga mati“, Kata Fiona pada Rafael.

Kedua adikku kembali menenggak minuman hingga habis dua gelas, Aku menyantap sisa telur yang ada.

 

Usai makan siang, Fiona dan Rafael, kedua adikku, kembali ke ruang muka, lalu duduk terpaku memandangi rak kayu tempat TV, walau sudah tidak ada TV lagi, Jika sudah bosan, mereka pindah ke dapur, lalu kembali lagi ke ruang muka, begitu seterusnya, Ingin ngemil makanan, hanya ada telur yang tinggal di rebus, tapi tidak mungkin mereka mau memakannya, kecuali jika memang sudah sangat lapar sekali, Aku tiba dari ruang dalam.

“Ade, kaka mau ke tempat papa kerja”, Kataku.

“Ke kantor polisi?“, Tanya Fiona.

“Iya, tapi ade  engga usah ikut, soalnya jalan kaki, lumayan jauh lagi“.

“Aku ikut, aku bosan di rumah terus“.

“Aku juga kakak“, Sambung Rafael.

Aku bingung juga dilema, karena papaku bukan bekerja di kantor polisi, tapi jadi tahanan sementara polisi, sebelum kasusnya masuk persidangan, Aku memang sudah ada rencana kesana, untuk mengetahui kondisi papaku saat ini.

“Aku kangen papa, ka“, Kata Fiona, melas ingin menangis.

Rafael adikku, walau tidak bersuara, namun dari mimik wajahnya, begitu berharap bisa bertemu papaku.

“Boleh ikut, tapi nanti, kalau ada yang tanya-tanya papa, ade diam saja“, Kataku mengingatkan.

“Iya ka“, Jawab Fiona.

Sekejap wajah kedua adikku, berubah jadi ceria, dan senang.

Lihat selengkapnya