Hampir setiap sore, jika tidak turun hujan, warga yang tinggal di sepanjang bantaran Sungai Ciliwung, duduk-duduk santai di depan rumahnya masing-masing, yang menghadap ke Sungai, Diantara warga itu, Nela dan Desi, wanita usia 40 tahun an, ibu-ibu tetangga dekat rumah tempat tinggalku, Mamaku dengan tangan menenteng kantong kresek, tiba dan melangkah di tempat itu, Nela dan Desi, mendekati mamaku.
“Dari mana Leana?“, Tanya Nela.
“Habis beli obat racun serangga, di rumah banyak lalat, kecoa, semut“, Jawab mamaku.
“Leana, jadi suami elo, di bui berapa tahun?“, Desi bertanya.
Mamaku bukannya menjawab, malah mempercepat langkah kakinya, menghindar dari mereka, Namun sesaat kemudian, langkah kaki mamaku terhenti, sebab di hadang seorang ibu usia 50 tahun an. bernama Hindun, biasa di panggil Bu Hindun, pemilik rumah kontrakan yang kami tempati selama ini.
“Leana, saya sudah tiga kali ke tempat kamu, ketuk-ketuk pintu, tidak juga di buka, Malah semalam, rumah saya yang kamu kontrak itu, gelap, Apa listriknya sengaja kamu matikan!“, Tanya Hindun, dengan nada suara langsung tinggi, juga kesal.
“Listriknya bukan saya matikan, bu, tapi di putus PLN“, Jawab mamaku, dengan nada suara sedu.
“Kamu tidak usah pasang muka melas begitu, supaya saya iba, memberi kelonggaran lagi, Saya ini sudah begitu baik sama kamu, Sampai kamu bisa memiliki KTP, dan KK sendiri, pakai alamat rumah saya“.
Mamaku hanya merunduk.
“Jadi kapan, kamu bayar sewa rumah kontrakan, yang sudah menunggak 4 bulan!“, Tanya Hindun lagi, dengan nada suara masih tinggi.
“Besok!“, Jawab mamaku, kesal.
“Maksud kamu, Besok kamu lunasi, atau bayar sabagian?“.
“Besok semuanya selesai!“.
Jawab mamaku semakin kesal, kemudian kembali melangkah, Bu Hindun jadi terdiam, bingung, belum mengerti dengan ucapan mamaku.
Malam selepas waktu Isya, Aku, Fiona dan Rafael, dengan berjalan kaki, baru tiba di depan rumah tempat tinggal kami, di bantaran sungai Ciliwung.
“Ka, rumah kita gelap bener“.
Kata Fiona, memperhatikan bagian dalam rumah yang gelap gulita, Namun bagian depan rumah, masih ada penerangan dari lampu-lampu rumah tetanggaku.
“Mungkin mama, belum manyalahkan lampu pelita“, Kataku.
Aku mendorong pintu yang tidak terkunci, Kami masuk kedalam rumah, Dari balik pintu ruang dapur yang tertutup, ada bias cahaya lampu pelita.
“Mama ada di dapur, ka“, Kata Fiona.
Aku ingin membuka pintu dapur, namun pintu terkunci dari dalam, Aku jadi agak panik.
“Ma, mama,…. !“, Sapaku setengah berteriak.
Pintu ruang dapur terbuka, mamaku ada di balik pintu, mamaku yang membuka pintu.
“Kalian dari mana?“, Tanya mamaku dengan tersenyum.
“Dari kantor papa ma, Tapi papa engga mau kita temuin“, Fiona yang menjawab.
Mamaku senyum-senyum padaku, Aku bingung dengan perubahan sikap mamaku, Karena sebelumnya begitu kesal padaku.
“Mari nak, mama sudah menyiapkan minuman istimewa untuk kalian“, Kata mamaku, masih dengan tersenyum.
Aku, Fiona dan Rafael, masuk ke ruang dapur, Di ruangan ini, dalam penerangan lampu pelita, ada tikar yang sudah di gelar, Di atas tikar, ada 4 gelas berisi air, kami duduk di alas tikar.
“Kebetulan aku haus, jalan kaki jauh bener“, Kata Fiona.
“Aku juga kakak“, Sambung Rafael.
Fiona dan Rafael, kedua adikku, masing-masing mengambil gelas berisi air itu.
“Kita minumnya sama-sama ya“, Kata mamaku.