Fiona dan Rafael, kedua adikku, duduk di bale kayu depan teras muka rumah, Mereka memainkan mainannya, Fiona menyusun seperangkap ala-alat kedokteran dari bahan plastik, Rafael me maju-mundurkan mobil-mobil an plastik, ber kepala gambar animasi kartun Micky Mouse, Aku setengah berlari, tiba dari jalan perkerasan beton bantaran Sungai Ciliwung.
“Ade, ini ada nasi Padang komplit lagi“, Kataku, dengan napas masih ngos-ngos an.
Aku menunjukan kantong kresek, berisi tiga bungkus nasi Padang.
“Kita bisa makan kenyang lagi, ade“, Kata Fiona pada Rafael.
“Iya kakak“, Jawab Rafael.
“Makannya di sini aja ya, ka“, Kata Fiona.
“Boleh, tapi cuci tangan dulu yang bersih“, Balasku.
Fiona dan Rafael, masuk kedalam rumah, kemudian kembali, setelah mencuci kedua tangannya, Mereka pun dengan lahap, menyantap nasi Padang komplit, Ada daging rendang, kikil, perkedel dan sayuran, Aku memperhatikannya dengan haru.
“Enak kakak“, Kata Rafael.
“Iya ade, makan yang banyak“, Kataku.
“Kaka belum makan?“, Tanya Fiona.
“Ini masih ada satu bungkus lagi, untuk kaka bagi dua sama mama“.
Jawabku, menunjukan sisa satu nasi bungkus dalam kantong kresek.
“Ka, kenapa mama ngeracunin kita pake racun serangga?“, Tanya Fiona.
Aku kaget mendengar pertanyaan Fiona, belum sempat aku menjawab, Mamaku sudah ada di muka pintu rumah yang terbuka, dengan tangan menggenggam sepucuk surat dalam amplop putih, Wajah mamaku pucat pasi, mata legam memerah, seperti kurang tidur, dan terlalu sering menangis, Aku jadi trenyuh iba dengan kondisi mamaku.
“Ma,….“, Sapaku.
Aku berharap mamaku tersenyum, dan membalas sapaanku, Namun mamaku memperlihatkan wajah juteknya padaku, Sementara Fiona dan Rafael, jadi takut dengan mamaku.
“Kamu ke kantor polisi sana, titip surat ini untuk papa kamu!“, Kata mamaku, dengan nada suara tinggi, sebab kesal, lalu menyerahkan surat itu padaku.
“Iya ma“, Jawabku, menerima surat.
“Aku ikut ke kantor polisi, ka“, Kata Fiona.
“Aku juga kak“, Sambung Rafael.
“Fiona, Rafael, Kalian di rumah saja!“, Kata mamaku, dengan nada suara masih tinggi.
Mamaku ingin kembali masuk kedalam rumah, Aku menyapanya.
“Ma,…“.
Mamaku berhenti melangkah, namun tanpa menoleh padaku, Aku sambil menenteng kantong kresek berisi nasi bungkus, mendekati mamaku.
“Ini ada nasi Padang komplit, ma“, Kataku, menyodorkan kantong kresek berisi nasi bungkus.
Mamaku tanpa bicara, merampas kantong kresek berisi nasi bungkus dari genggaman tanganku, lalu masuk kedalam rumah, Aku kembali duduk di bale dekat kedua adikku.
“Untuk kaka. mana, kaka kan belum makan?“, Tanya Fiona.
“Di dapur, masih ada nasi yang tadi pagi kaka masak“, Jawabku.
“Ka, aku takut di rumah, Aku ikut kaka“, Pinta Fiona, memelas.
“Aku juga kakak“, Sambung Rafael.
“Ade, mama masih marah sama kaka, Entar kalau kaka bawa ade, Mama bisa tambah marah“, Kataku.
Fiona dan Rafael, kedua adikku, walaupun ngangguk, meng iyakan, namun dari raut wajahnya, terlihat jelas ada kecemasan, dan kepanikan, Aku jadi khawatir untuk meninggalkan kedua adikku di rumah, sebab kejadian kemarin malam.
“Ade tunggu di luar rumah saja, Nanti kalau ada apa-apa, temuin Bu Nela, atau Bu Desi“, Kataku, menenangkan kedua adikku.
“Iya ka“, Jawab Fiona.
Agar lebih cepat sampai tujuan, Aku mengeluarkan uang 15 ribu rupiah, untuk bayar ongkos ojek, Belum sampai sepuluh menit, Aku sudah tiba di kantor Polsekta, Kepolisian Sektor Kota, Dari keterangan seorang Polisi Petugas Jaga, Papaku sudah di pindahkan ke tahanan Polrestabes, Kepolisian Resor Kota Besar, Aku pun harus mengeluarka uang 15 ribu lagi, untuk baya ongkos Bajaj.
Laju kendaraan Bajaj yang lambat, dan jalanan yang padat, rapat, dengan kendaraan yang lalu-lalang, Perlu waktu 40 menit lebih, untuk aku tiba kantor Kepolisian Resor Kota Besar, di singkat Polrestabes, Kantor yang lebih besar, dan mewah, dari kantor Polsekta.
Setelah melapor pada salah seorang Polisi, yang bertugas sebagai penerima tamu, Aku di minta untuk menunggu di ruang besuk tahanan, Ruang besuk tahanan dalam kantor Polrestabes, cukup luas dan nyaman, Di ruangan ini, ada beberapa ibu-ibu yang ingin membesuk suaminya sebagai tahanan sementara, Dari pintu masuk, tiba beberapa orang tahanan, diantaranya papaku, Mereka semua berseragam tahanan warna orange, berkepala pelontos, Melihat kondisi papaku, aku jadi iba, lalu menangis, dan memeluk papaku.
“Pa,………!“.
Papaku bukannya membalas pelukanku, malah dengan kasar mendorong aku, hingga tubuhku terdorong, dan hampir jatuh ke belakang, Mereka yang ada di ruangan ini, memperhatikan aku dan papaku, diantaranya seorang tahanan pria usia 45 tahun, yang bertubuh kekar.
“Untuk apa kamu besuk papa, Bukannya kamu sendiri yang memaksa papa, untuk mendekam di sel tahanan ini, sampai papa mati membusuk, Mama kamu stress berat!“, Kata papaku, langsung bicara keras, penuh emosi.
“Pa, aku memaksa papa menyerahkan diri ke polisi, Karena aku yakin, papa engga bersalah“, Kataku, membela diri.