Matahari baru sejengkal beranjak dari permukaan bumi belahan Timur, Aku bercelana kolor bola, kaos osblong dan bersandal jepit, Sudah bergerak meninggalkan rumah tempat tinggalku, untuk mencari kedua adikku, Dari salah satu media masa yang pernah aku baca, dan aku ingat, Ada pemilik Panti Asuhan, yang murni bertujuan sosial, menampung anak-anak terlantar untuk di didik, dan di besarkan, Tapi ada juga oknum pemilik Panti Asuhan, ber kedok sosial, menampung anak-anak terlantar untuk di jual, atau di komersilkan, Aku yakin, mamaku menitipkan kedua adikku, di Panti Asuhan tidak jauh dari tempat tinggalku, karena menurut warga, mamaku ke tempat itu, dengan berjalan kaki.
Setengah jam kemudian, aku tiba di depan sebuah rumah sederhana, namun cukup luas, yang di jadikan Panti Asuhan, Seperti tertulis pada papan nama di muka rumah itu, Kebetulan pintu pagar rumah terbuka, aku langsung masuk ke halaman rumah itu, Aku menekan bel yang ada dinding tembok dekat pintu masuk rumah, Pintu terbuka lebar, di buka oleh seorang ibu usia 45 tahun an, Dari kartu tanda pengenal yang mengalungi lehernya, ibu itu bernama Astuti.
“Maaf bu, mau tanya, Apa kemarin ada yang menitip adik-adikku di panti ini, Adikku yang perempuan, umurnya 9 tahun an, yang laki-laki, 6 tahun an“, Tanyaku.
“Sudah seminggu ini, kami belum menerima titipan anak“, Jawab Astuti.
Aku sekilas, melihat seorang anak pria seusia Rafael adikku, melongok dari balik salah satu pintu kamar, yang ada di dalam rumah ini, Namun wajahnya tidak terlihat jelas, hanya sebatas mata, dan keningnya saja.
“Rafael,….!“, Sapaku berteriak.
Anak pria itu sudah tidak terlihat lagi, karena pintu kamar di tutup oleh seorang wanita usia 30 tahun an, yang ada di dalam kamar, Aku ingin masuk kedalam rumah, namun di halau Astuti.
“Kamu jangan masuk sembarangan!“, Kata Astuti, agak kesal.
“Bu, itu ada adikku!“, Balasku kesal, juga sedih.
“Sudah saya bilang, dalam seminggu ini, saya belum menerima titipan anak“.
Astuti ingin menutup pintu rumah, Aku bergegas menyelinap, masuk kedalam rumah, Astuti malah membiarkan aku, membuka pintu kamar itu, Di dalam kamar, ada tujuh anak pria usia 5 sampai 7 tahun an, sedang belajar mengenal angka, Wanita usia 30 tahun an itu, yang mengajar, Namun tidak ada Rafael adikku.
“Nama kamu siapa?“, Tanya Astuti, sudah ada di dekatku.
“Aku Garvin, bu“, Jawabku.
“Nak Garvin, Panti kami ini, resmi terdaftar di Kementrian Sosial, jadi kami, tidak mungkin menyembunyikan identitas anak-anak asuh kami“.
“Maafin aku, bu, Aku cuma takut kehilangan adik-adikku, apalagi aku pernah baca berita di koran, ada panti yang menampung anak-anak terlantar, untuk di jual“.
Kataku dalam kepanikan, dan menangis, Astuti iba denganku.
“Memang ada oknum panti ilegal seperti itu, Memanfaatkan anak-anak terlantar, untuk bisnis“.
“Ibu tau alamatnya?”.
“Di kota Jakarta ini, ada ratusan Panti Asuhan nak Garvin“.
“Maksud aku, yang ada sekitar daerah ini saja, bu“.
“Saya ada datanya, sebentar ya“.
Astuti mendekati meja kerjanya, lalu mengambil beberapa lembar berkas data, dari dalam laci meja kerjanya itu.
Dengan selembar kertas catatan berisi alamat-alamat panti asuhan dari Astuti, Aku sudah mendatangi tiga Panti Asuhan, namun aku, belum juga menemukan kedua adikku, Aku jadi semakin cemas, dan panik, sebab tinggal dua Panti Asuhan lagi yang belum aku datangi, Jika kedua adikku tidak juga ada di Panti Asuhan itu, Aku sudah tidak tau, harus mencari kemana lagi.
Sebuah spanduk berukuran besar, ber tuliskan, ‘SELAMAT DATANG PARA PESERTA, WORD MEMORY TOUR JAKARTA, 3 th JAKARTA NATIONAL OPEN MEMORY CHAMPIONSHIP‘, berikut logo-loga perusahaan ternama sebagai sponsor, terpampang di atas pintu gerbang, dan pintu masuk lobby, Salah satu Hotel Bintang Empat (Hotel And Convention), di sekitaran kota Jakarta Timur.
Di muka pintu lobby, Dua orang Petugas Satpam berstelan safari, pria usia 45 tahun, menyambut kedatangan para peserta yang diantar keluarganya masing-masing, Ada juga peserta per orangan, pegawai-pegawai perkantoran, Mereka semua berasal dari kalangan ekonomi menengah ke atas, Serta banyak juga peserta dari luar kota Jakarta, yang menginap di hotel ini.
Odi Ogleg dan Iboy, sudah berada di area parkir Hotel berbintang empat ini, Pandangan mereka berdua, ter fokus pada pintu gerbang hotel, menunggu kedatangan aku.
“Itu anak, kenapa belon nongol juga ya Di?“, Tanya Iboy.
“Makanya gue jadi semaput begini, Boy, Kalo sampe namanya di panggil panitia, dia kagak juga ada, Otomatis gugur jadi peserta“, Jawab Odi Ogleg.
“Jadi kita mesti begimana?“.
“Kita masuk ke lobby hotel, Tanya sama panitia, Garvin Altamis, peserta nomer urut ke berapa, abis itu, kita jemput Garvin“.
“Kagak salah elo, Orang kaya kita ini, masuk ke hotel bintang empat, bisa di usir Satpam kita, Kecuali sama Garvin, yang simpen kartu tanda peserta“.
“Tenang, kita pasti bisa masuk”.
Odi Ogleg dan Iboy, yang bercelana jeans belel banyak robek, rambut gondrong, kulit penuh tato, memang tekesan angker, beringas, Namum hati mereka begitu baik, dan memiliki jiwa sosial yang tinggi.
Odi Ogleg dan Iboy, tiba di depan pintu lobby hotel, Mereka dengan gayanya yang cuek, selengean, ingin langsung masuk kedalam lobby, namun di hadang oleh salah seorang Petugas Satpam ber stelan safari itu.
“Maaf saudara, Ini hotel, bukannya pasar!“, Kata itu Petugas Satpam, setengah membentak.
“Sialan, kita di bilang mau ke Pasar, Emangnya kita, mau beli ayam potong apa!“, Bisik Iboy pada Odi Ogleg, menahan kesal.
“Pak, emang bapak engga kenal siapa kita?“, Tanya Odi Ogleg, pada Petugas Satpam
“Memangnya sudara siapa?“, Petugas Satpam balik bertanya.