Independent Child

Ir. Rachmat
Chapter #37

Tidak Punya Rumah Lagi

Setengah jam kemudian, Mobil pick up bak terbuka, mulai memasuki jalan raya pusat kota Jakarta, dengan kiri dan kanan, gedung-gedung tinggi pencakar langit, Aku, Fiona dan Rafael, duduk di bak belakang mobil, Beberapa saat kemudian, mobil berhenti di pinggir jalan, depan salah satu Gedung perkantoran, di sekitar Jalan Thamrin, Pengemudi mobil, keluar dari dalam mobil.

“De, Saya sudah sampai tujuan“, Katanya.

“Iya pak“, Balasku.

Pengemudi mobil, kembali masuk kedalam Mobilnya.

“Ayo ade, kita turun“, Kataku, pada kedua adikku.

Aku, dan kedua adikku, turun dari bak mobil, Mobil pick up kembali bergerak, masuk ke halaman parkir Gedung perkantoran itu.

“Kita jalan kaki aja ya“, kataku.

 

Aku, Fiona, dan Rafael, melangkah di terotoar pinggir jalan raya, dengan pandangan pada gedung-gedung tinggi pencakar langit, lampu-lampu penerangan jalan, dan lampu-lampu taman, yang begitu indah menghiasi jalan MH Thamrin di waktu malam, Tiba di persimpangan jalan, aku menghentikan langkah kakiku, begitu juga dengan kedua adikku, Sementara aku memperhatikan gedung-gedung yang ada di sekitaranku, Fiona dan Rafael, pandangannya ter fokus pada Tukang Nasi Goreng gerobak dorong, yang mangkal di pinggir jalan.

“Ade lapar ya, dari tadi pagi, cuma di kasih makan sekali, sama itu tante jahat, yang mau jual kita?“, Tanya Fiona pada Rafael, setengah berbisik.

Rafael mengangguk, sambil memperhatikan Tukang Nasi Goreng yang sedang membuat nasi goreng, pesanan seorang pemuda.

“Sama, aku juga lapar bener, ade, Tapi ka Garvin keliatannya, lagi bingung begitu, pasti engga punya uang“, Kata Fiona.

Rafael kembali hanya mengangguk, Fiona dan Rafael, dengan pandangan padaku yang masih memperhatikan sekitaranku, sama-sama menahan lapar di perutnya.

“Kita jalan lagi, ade“, Kataku.

Aku dan kedua adikku, kembali melangkah, kemudian tiba di persimpangan Bundara HI.

“Ka, aku cape jalan terus, kita istirahat dulu“, Kata Fiona.

“Aku juga kakak”, Sambung Rafael.

Fiona dan Rafael, yang memang sudah begitu lelah berjalan kaki, duduk di kursi taman yang ada di terotoar pinggir jalan raya, menghadap Bundaran HI, Semburan air mancur berwarna-warni yang mereka pelototi, sejenak melenyapkan keletihan kedua adikku itu, Semantara aku, masih memperhatikan gedun-gedung yang ada di sekitaranku.

Di sepanjang terotoar jalan ini, ada beberapa tukang mainan anak-anak yang mangkal, salah satunya Tukang Balon, yang menjual berbagai macam corak balon berbentuk boneka, diantaranya balon alumunium Foil 24 inch kepala Mickey Mouse, Rafael memperhatikan boneka balon itu, dan dua orang anak seusianya, yang di belikan boneka balon oleh ibunya, Walaupun tidak ada kata-kata terucap, namun dari tatapan matanya yang tak henti-henti memperhatikan balon alumunium Foil 24 inch kepala Mickey Mouse, Rafael ingin sekali memilikinya.

“Ade, buat beli nasi goreng aja ka Garvin engga punya uang, Apalagi buat beli mainan balon Mickye Mouse, Ade jangan minta di beliin“, Kata Fiona, berbisik pada Rafael. 

Rafael hanya mengangguk, sedu.

“Kita jalan lagi ya“, Kataku.

Aku dan kedua adikku, kembali melangkah, Tidak jauh di hadapan kami, ada sebuah halte bus, disitu ada sepasang suami istri, dan kedua anaknya seusia kedua adikku, berpakaian compang camping, tidur ber alaskan kardus bekas, Fiona dan Rafael, memperhatikannya.

“Ka, kenapa mereka tidur halte bus?“, Tanya Fiona.

“Mereka engga punya rumah“, Jawabku.

“Jadi gelandangan ya, ka?“.

Aku ngangguk, kami terus melangkah, masih di terotoar pinggir jalan Thamrin, Aku sebari memperhatikan sekitaranku.

“Ka, kita sebenarnya mau kemana, Kita pulang aja ke rumah, aku ngantuk mau tidur, Badan aku juga, pada gatal semua, sudah dua hari engga mandi-mandi“, Kata Fiona.

“Kita sudah engga punya tempat tinggal lagi, ade, Ibu yang punya rumah, sudah ngontrakin itu rumah, sama orang lain“, Kataku.

“Ja,.. jadi kita, mau kemana, tidur dimana, ka!“.

Tanya Fiona panik, sedih, ingin menangis, Rafael walau tanpa ada kata yang terucap, namun raut wajahnya berubah cemas, dan sesekali menggaruk-garuk kulit pundaknya, sebab gatal belum mandi, Beberapa saat kemudian, aku menghentikan langkah kakiku dekat halte bus yang kosong, namun di lantai halte, ada beberapa lembar kardus bekas.

“Kita sudah sampai tujuan, ade”, Kataku senyum-senyum.

Fiona spontan kaget, kemudian menangis, dengan pandangan pada halte bus itu, Rafael hanya diam terpaku sedu, sambil memperhatikan kardus bekas yang ada di lantai halte bus.

“Ja,… jadi kita, tidur di halte bus, seperti gelandangan tadi itu!”, Tanya Fiona masih menangis.

“Ya engga ade, Untuk sementara, kita tinggal disana“.

Lihat selengkapnya