Ketika buku saya, Sekolahnya Manusia (2009) dan Gurunya Manusia (2011) di-launching, banyak guru yang bertanya kepada saya.
“Pak Munif, apa sekolahnya dan gurunya manusia ini hanya mimpi, hanya dongeng di negeri antah-berantah?”
“Tidak! Bukan dongeng. Ini nyata. Hanya mereka belum terungkap ke permukaan atau memang tidak mau dipublikasikan. Di negeri ini ternyata banyak guru-guru hebat,” jawab saya langsung.
Keyakinan tersebut makin menguat ketika saya kali pertama bertemu Pak Ciptono di SLB Negeri Semarang. Bayangkan, siswa-siswa Pak Cip—panggilan akrab saya kepada beliau—berjumlah sekitar 600-an dan semua adalah anak-anak yang mempunyai berbagai hambatan. Saya salut dan kagum ketika Pak Ciptono menjelaskan kepada saya bahwa kunci pentingnya adalah: sekolahnya menerima anak dengan berbagai kondisi. Yang penting para siswa itu diterima terlebih dahulu. Ketika siswa diterima di sebuah institusi pendidikan, secara langsung siswa tersebut akan merasa nyaman. Eksistensinya dihargai sebagai manusia. Padahal, saat ini ada banyak sekolah yang melakukan seleksi ketat dalam penerimaan siswa baru. Bahkan, SLB pun ada yang menerapkan seleksi masuk, dengan alasan sumber daya manusianya yang terbatas. Usaha Pak Cip menerima siswa dengan beragam hambatan inilah yang membuat banyak orang kagum. Ternyata ada dan bisa.