INDUGHILISHIR

Imron Mochammad Alghufara
Chapter #2

NUVALALA, BAB I: PANEN BESAR

Di suatu kawasan hutan belantara, di pinggiran wilayah tengah sebelah barat, di pesisir utara danau berwarna hitam, dengan pepohonan rindang memayungi pohon-pohon bebungaan, dimana pegunungan barat yang kelabu menjadi latar belakangnya, sekelompok makhluk mirip manusia berambut abu-abu, terlihat tengah sibuk memanen bunga mawar hutan di sebuah sudut yang sedikit membukit. Makhluk itu bertelinga lancip, berkulit pucat, tinggi mereka setengah kali lipat lebih tinggi dari manusia. Betinanya sibuk memanen, berpakaian mirip kaum primitif dengan kain-kain kasar terbalut menjadi cawat—tapi ada kain sedikit yang menutupi—yang kemungkinan terbuat dari pelepah, atau kulit pepohonan, kulit binatang ataupun daun khusus. Dadanya tertutupi oleh pernak-pernik sederhana dari perbagai jenis perhiasan alami: batu-batuan, kayu-kayuan atau tetulangan. Di kepalanya ada semacam ornamen terbuat dari rotan atau hal yang terbuat dari ranting semak yang diperhalus, bulu-bulu, dengan hiasan daun atau bunga yang juga sederhana. Sangat khas. Sementara pejantannya membawa tandu-tandu; bergotong royong membawa hasil panennya ke lumbung bunga berbentuk kantung-kantung yang ada di pusat perkampungan, yang tampak berupa rimbunan pepohonan megah penuh dengan dahan-dahan setapak yang meliuk-liuk, balkon-balkon kayu, dan jendela-jendela dari rotan. Sangat elok. Para pejantannya memakai cawat yang lebih pendek, mereka bertelanjang dada, tapi menggunakan aksesoris di lehernya berupa tulang yang dibengkokkan atau tanduk hewan, dan di kepalanya melingkar diadem kayu yang bersemak atau apapun itu, sesuai selera masing-masing.

Semerbak harum menyebar memenuhi udara, dan keranjang-keranjang telah tertata rapi kembali di sebelah tandu-tandu, setelah selesai berputar mengintari pematang. Hampir semua gerakan mereka syahdu dan teratur, namun cekatan, seperti sekelompok semut yang sangat sibuk. Demikianlah kegiatan masyarakat Mogho di desa Giraki pada awal musim semi, yang menjadi momen besar seluruh tanah terbuka di seluruh hutan itu. Tapi, apa itu Mogho?

Sebelumnya, kita bahas dulu apa itu Mogho. Mogho adalah sekumpulan etnis makhluk buniyan (mirip peri) yang sudah lama terisolir dan selama beberapa zaman sudah tidak berinteraksi dengan manusia. Mereka tinggal di belantara rimba Moghoforsum yang dikelilingi kabut tebal, dengan mengembangkan peradaban sendiri yang unik. Secara tradisional mereka berbicara menggunakan bahasa mogholog dan mereka menulis dengan huruf mogholot yang sangat khas. Namun, di samping itu mereka juga sudah mengenal bahasa umum dan huruf umum—hal itulah yang memperkuat dugaan mereka mengenai makhluk bertelinga bulat (maksudnya kita ‘manusia’) yang konon pernah keluar masuk dunia mereka dan memberi pengaruhnya. Itu sudah menjadi legenda mereka, bahkan ada yang mengingkari keberadaan makhluk itu. Tapi menurut versi resmi mereka, bahasa umum telah diajarkan oleh para Moghiam (dewa-dewa mereka) kepada leluhur-leluhur mereka pada suatu zaman yang tidak bisa dijelaskan lagi, sejak era awal kejadian mereka. Meskipun kemudian mereka menciptakan bahasa dan huruf tersendiri di suatu zaman yang juga sudah tidak bisa ditelusuri lagi. Peralihan dari bahasa tradisonal mereka ke bahasa umum pun sudah tidak bisa dikenali lagi.

Mogho secara umum bisa diklasifikasi sebagai makhluk Jinas—penerus Amun-Nisani ‘era siluman’ yang telah punah—tapi penjelasan seperti itu sudah tidak dikenal dalam masyarakat Mogho sendiri, itu hanya klasifikasi yang dibuat manusia di masa kemudian. Dalam tradisi mereka justru menyebutkan bahwa mereka adalah anak-anak sulung langit (enbinukshuma) atau keturunan para Moghiam di Shuma (panteon dewa-dewa mereka di puncak ketinggian). Itulah yang sudah menjadi sejarah spiritual mereka. 

 Mereka, sejak kemunculannya, terbagi menjadi lima sub klan resmi yang dibedakan menurut warna rambut, yang mereka sebut dengan ‘kebelsum’, atau klan rasial dalam bahasa yang lebih umum. Nah, sub klan atau klan rasial dari bangsa Mogho yang berambut abu-abu yang dibahas di atas itu disebut Brushu-kebel (Ras Mogho berambut abu-abu). Mereka banyak terdapat di wilayah pedalaman Moghoforsum atau pinggiran dan tinggal dalam semak-semak liar, dan hampir semua jiwanya telah tergadai sebagai budak para Agansum atau tuan tanah dari kebel lain—terutama para tuan Siprukiji (rambut hijau) kaya raya. Memang tidak adil, tapi begitulah yang telah disepakati oleh para leluhur mereka semenjak zaman yang sudah sangat lama, dan kehadiran kebelsum yang baru selalu menjadi konfrontasi tersendiri dalam sejarah mereka, dihukumi secara tidak resmi. Seperti halnya kemunculan Dobasum-kebel (ras rambut emas yang superior) yang dikenal sebagai Gooldarian dari utara. Meskipun dihormati setara Moghiam, karakter rambut emas selalu bertentangan dengan rezim Abubri, sehingga dihukumi sebagai Klan tidak resmi. Atau mengenai Suwuth-kebel (rambut hitam yang terkutuk) yang menyebut diri sebagai Laweziani, yang telah dipersatukan oleh nasib sebagai orang buangan, di wilayah selatan. 

Begitulah sekelumit penjelasan mengenai bangsa Mogho, semoga bisa menjadi gambaran untuk mengikuti kisah ini. Mari kita kembali kepada para Mogho rambut abu-abu yang sedang panen bunga mawar tadi. Nah, di antara para Brushu pekerja itu ada yang bernama Sulu, seorang Brushu tua dari pemukiman semak-semak Glubuki yang tidak terlalu istimewa, namun terkenal dengan loyalitasnya terhadap para Moghiam (dewa-dewa) setidaknya menjadi model paling tepat bagi kesetiaan seorang Brushu kepada aturan main, paling tidak di kalangan Brushu-Glubukublek (Ras Rambut abu-abu yang terkenal patuh dan terhormat bagi ukuran budak). Mereka tinggal di semak-semak sekitar sungai Curusgha yang bermuara ke danau kopi.

Sulu dan anak-anaknya adalah bagian dari kuli gotong. Mereka membawa tandu beriringan dengan lainnya. Tandu itu memuat beberapa berkas bunga yang sudah ditata oleh para betina. Sementara salah satu anaknya berjalan dengan bawaan yang kapasitasnya sepuluh kali lipat, tanpa alat bantuan atau tandu, di punggungnya. Sangat kuat, trampil dan cekatan. 

“Begitulah seharusnya seorang Brushu bertindak, Nak!” tukas Sulu. Ia seolah menaruh kebanggaan bahwa anaknya itu memang seorang teladan Brushu sejati yang sudah seharusnya gesit, patuh dan yang terpenting adalah giat bekerja, meskipun tak pernah ada Brushu yang sekuat anaknya itu dalam sejarah Mogho manapun. Dia adalah pengecualian dalam hal itu. “Tanah ini memang sedang diberkati, Samo. Demi ‘Moghies-Owarish’, menjadi berguna banyak bagi majikan pada saat seperti ini adalah sebuah kewajiban bagi setiap Brushu,” lanjut Sulu tersenyum lebar, seolah menghayati dengan baik segala aturan yang diperuntukkan bagi pan-Brushuis, sambil memuji dewi tanah lapang sekaligus ibu leluhur awal kaum Mogho yang sangat dihormati oleh Brushu-kebel: yakni Owarish sang bersayap keramat.

Anaknya yang disapa Samo itu mengangguk-angguk, ia memang selalu begitu. Anak sulung Sulu itu memang tidak banyak bicara seperti yang lain, penyendiri dan selalu misterius. Walau begitu, fisiknya sangat kuat dan gerakannya gesit. Kali ini pun, ia sudah mendapat hasil kerja paling banyak ketimbang Brushu lain, jadi ia sangat disukai oleh tuan-tuan pemilik perkebunan, bahkan beberapa ada yang menawarnya dengan harga sepuluh kali lipat, atau ditukar dengan sepuluh Brushu, namun tuan tanah pemiliknya sekarang selalu mempunyai alasan untuk mempertahankannya. Sebagai seorang Brushu-Glubukublek: Brushu lokal yang lemah lembut, dan taat, Sulu cukup bangga akan hal itu. Seakan ia berhasil dalam mendidik seorang Brushu sejati. 

Tapi Gami, anak kedua Sulu senang menggerutu. Ia membawa tandu bersama ayahnya. Gerakannya bertele-tele, dan sering bertengkar dengan ayahnya karena hal itu. Ia sering melawan aturan namun ayahnya selalu menyelamatkannya, bahkan dari ancaman hukuman mati, karena anaknya itu sering terlibat cekcok dengan para penjaga, yang berakhir dengan penyerangan dan itu cukup untuk menghukuminya sebagai pembangkang, yang pantas dilenyapkan. Beruntung, para tuan tanah di sekitar Danau Moghka (danau kopi) terkenal penuh kompromi—dalam hal ‘tidak mudah melakukan hukuman mati’, disamping pengaruh dari ayah dan kakaknya, Samo, yang cukup dibutuhkan karena kinerja dan kesetiaannya—meskipun perangai para Siprukiji rata-rata memang menampakkan ketamakan, selalu mementingkan harta dan diri mereka sendiri. Hal-hal yang tentu saja terus membuat Gami muak.

“Kau seharusnya seperti kakakmu!” pekik Sulu. 

Gami malah tertawa, “Bodoh!” gumamnya lirih. 

“Kurasa, itu kata yang pantas untukmu, Gamilugluk!” seru Sulu, yang sayup-sayup mendengar gumaman anaknya itu dengan nada geram.

Gami menggeleng, “Lihatlah! ia hanya digunakan seperti peralatan oleh kaum Siprukiji. Menyedihkan sekali! Aku berbicara juga mengenai kita, kita semua yang ada di sini!.” 

Sulu melempar sesuatu ke kepala anaknya, “Paling tidak ia tidak pernah merepotkanku!” tukasnya, lalu melanjutkan pekerjaannya sambil meracau. “Watakmu lebih mirip kaum selatan yang menyimpang dari jalur Brushu sejati, Gamilugluk! Tetapi sayang, kau tidak sekuat mereka!” grutunya.

Mendengar itu api dalam dada Gami sebenarnya menyala-nyala, tapi ia memadamkannya dengan helaan nafas, lalu melanjutkan pekerjaannya. Ia sadar, ia tidak mungkin bisa berbuat banyak di sini, dan tahu betul bahwa ayahnya berbicara dalam sudut pandang ‘Sarubsianian’ yang selalu memuja titah-titah para Moghu (para pendeta yang para elite nya berasal dari Klan Rambut Putih yang angkuh) di seluruh wilayah kerajaan Moghovilain (otoritas resmi etnis Mogho) untuk tetap setia terhadap tradisi kuno dan otoritas yang keramat. Sarubsian adalah kepercayaan resmi kerajaan Moghovilain, yang terikat dengan Trisaga yang keramat—tiga dewa utama mereka—dengan segala aturan kuno yang menyertainya. Semua itu lekat sekali dengan kehidupan angkatan tua bangsa Mogho, yang sepenuhnya berpusat di ibukota Moghia, di lereng bukit menara, wilayah tengah Robanlazud. Dalam lubuk hatinya, Gami benar-benar tak sudi mengemis-ngemis kepada para agansum untuk sekedar mendapatkan makan daging, seperti kebanyakan kaumnya. Namun, ia tak sanggup melawan hal itu. Sebenarnya ia tahu, yang paling bertanggungjawab untuk kondisi seperti ini adalah Kaum Abubri (rambut putih): kaum yang keangkuhannya berkali-kali lipat dari Siprukiji. 

Gami selalu beranggapan bahwa warna putih dan abu-abu hanya berbeda sedikit saja, tapi mengapa keduanya seperti bumi dan langit. Kaum rambut putih atau Abubri memiliki kasta sosial paling tinggi dalam masyarakat Mogho, dimana raja-raja dan para keramat berasal dari kalangan mereka, sedang Brushu justru sebaliknya, jadi budak dan alas kaki. Itulah alasan, anak kedua Sulu itu sangat membenci kondisi itu, dimana kaumnya seolah rela menjadi alas kaki klan dari kasta rasial (kebel) lain, sebagai budak pekerja atau posisi-posisi rendahan, sesuai kesepakatan yang dibuat di masa kuno. Ini baginya sangat tidak adil, dan memang sungguh tidak adil. Gami tetap bertahan dengan sikap itu sampai detik ini, meskipun energinya tak sekuat seorang pahlawan untuk membuat perlawanan besar, seperti para Brushu-Krokotak di selatan, yang tengah bergejolak, menjadikan mereka cukup diperhitungkan atau lebih tepatnya sesuatu yang harus dianggap ancaman. Itu baginya lebih terhormat ketimbang pasrah untuk diinjak-injak. Gami memang memendam keinginan untuk bergabung ke negeri selatan suatu saat nanti agar perlawanannya nyata, tapi tentu Sulu tidak akan membiarkan hal itu.

Sedikit mengenai perbudakan Brushu. Sebenarnya dahulu ada banyak komunitas Brushu merdeka yang tersebar di hutan-hutan liar, membangun pemukiman semak-semak mereka dengan nyaman tanpa intimidasi, meskipun derajat mereka tetap yang terbawah. Setelah revolusi pertanian pada era Gomugh (thn 2400 - 2615 Z.P.P) atau disebut juga era raja tanaman: raja rambut putih yang memprakarsai bercocok tanam, pada era ini Brushu mulai dipekerjakan secara intensif di perkebunan-perkebunan, dan ketika era pembangunan Istana, mereka dipekerjakan sebagai kuli bangunan dan seterusnya. Alasannya tentu saja karena Brushu merupakan kelompok kebel yang berpopulasi terbanyak dibanding lainnya, dan fisik mereka kuat karena menyukai daging. Bisnis perbudakan Brushu dimulai sejak era Narmutsum (2820-2850 Z.P.P), era kekejaman yang mengawali era pergolakan yang panjang. Para Brushu liar diburu oleh kebelsum lain untuk dijual kepada para tuan tanah atau keluarga-keluarga kaya sebagai budak. Dan yang sudah turun-temurun menjadi kaum Brushu pekerja di tempat-tempat tertentu, di wilayah pinggiran, atau pun di wilayah-wilayah kota besar yang penuh dengan pembangunan. Sebenarnya sampai saat ini, masih banyak pemburu budak, terutama dari Kosorian dan Siprukiji. Untuk mengatur itu Istana cukup mengirim pasukan-pasukan merah untuk menjaga stabilitas wilayah-wilayah di pepohonan liar yang diduga masih banyak kaum Brushu liar. 

Lihat selengkapnya