Ketika ada beberapa anak buah Sagar yang mendapati keberadaannya, Simu kaget dan terpeleset. Ia terjatuh tepat di depan mereka. Para penjaga dengan sigap menghunus parang dan busur, mengira itu seorang penyusup yang akan mencuri, seperti yang terjadi beberapa hari lalu. Belakangan ini, memang banyak hal yang tidak sewajarnya terjadi, dimana banyak orang asing yang menyelinap. Bahkan Siprukiji asing menyusup untuk mencuri makanan. Sebuah fenomena yang benar-benar mustahil terjadi pada seorang Siprukiji. Bisa dipastikan mereka dari wilayah selatan. Sebab wilayah itu sedang tidak baik-baik saja, dalam hal pangan dan keamanan. Para Brushu mereka sedang membuat perlawanan kepada para agan-nya, yang mengakibatkan musim panen mereka berantakan, dan lumbung pangan mengalami defisit. Saat diketahui bahwa yang di depannya adalah seorang Brushu, kedua Siprukiji penjaga itu sudah pasti bertambah geram.
Langsung saja, anak panah menghujani Brushu itu. Simu terpaksa lari ke dalam rimbunan pepohonan liar, menerobos batas keramat dengan sekuat tenaga, tanpa menoleh kanan kiri, karena biasanya kesalahpahaman seperti ini bisa berakibat lebih fatal dari yang seharusnya. Setelah dirasa aman, ia berhenti sejenak, lalu bersandar ke sebuah pohon liar yang besar. Setelah tertawa sejenak, ia baru sadar bahwa di depannya terpampang jurang terjal yang lerengnya berbatu labil, yang seketika membawanya terpelanting jatuh melandai jauh ke dalam belantara, sehingga jalan yang dilalui tadi hilang sudah dari pandangannya. Brushu pekerja yang tidak biasa berkeliaran jauh-jauh ke alam liar—bahkan yang terdekat sekalipun— sudah tentu kehilangan jalan pulang.
“Sial…!” celetuknya, sesaat setelah berhenti menggelinding. Sambil beranjak dengan luka dan kotor di sekujur tubuh, ia melangkah tertatih. Meskipun luka-luka seperti itu tidak berarti apa-apa bagi seorang Mogho, tapi cukup membuat raut wajah Simu meringis.
Ketika ia melihat sekeliling, ia merasakan hal yang tidak biasa. Nuansa emas terlihat dari kejauhan, betaburan di antara semak-semak yang membiru keunguan karena rimbun pepohonan yang rindang, menjadikan cahaya Kristal Mooghath (matahari biru keunguan) hampir tak nampak. Ia mengira itu adalah berkas-berkas api, tapi kemudian ia pastikan bukan, dan ia berujar mungkin hari sudah mulai gelap, dan kunang-kunang mulai beterbangan, tetapi ia pastikan juga bukan.
Entahlah, tapi kemungkinan besar ia akan menginap di sekitar situ, malam ini. Ketika ia sampai di sebuah dataran yang agak bersih dari semak belukar, ia memperjelas pandangannya mengenai warna emas yang memancar dari kejauhan.
“Kharfadabim,” katanya. “Menakjubkan! Tempat ini memang keramat. Luar biasa! Brushu memang selalu tertinggal dalam hal ‘mengetahui apa-apa’,” Simu menemukan sekawanan domba berbulu emas, yang disebut kharfadabim. Hewan yang biasanya hanya mampir ke telinga tanpa ada harapan untuk dijelaskan senyata mungkin.
‘Sayang sekali, Brushu hanya bisa makan tanpa harus sulit-sulit menangkap. Seterampil-terampilnya aku menggunakan senjata, itu setara dengan para nyonya-nyonya Siprukiji memegang pisau dapur, dan aku tak begitu saja sadis melukai, apalagi membunuh mangsa. Mengertilah, wahai Glubukublek!’ pikirnya berkata kepada diri sendiri.
Setahu Simu, ia adalah Brushu Glubukublek pertama yang bisa mengolah senjata: bermain pedang dan panah, karena itulah ia sedikit terkenal di dusun Glubuki, tapi kentara sekali ia belum siap untuk berbuat sekejam para pemburu, ataupun nyonya (agina) rambut hijau. Kini, ia seolah tahu bahwa tempat yang ia pijak merupakan lembah keramat, atau setidaknya tempat aneh dan mencurigakan. Ia mulai meracau, dan berbicara mengenai para keramat yang ia tahu. Setelah beberapa lama, benar saja Simu mulai lapar. Mulailah ia mencoba membidik dengan tombak kayu yang dibuat runcing ujungnya dengan batu, tetapi domba itu melompat-lompat kesana-kemari dengan sangat cepat dan aneh. Semakin lama semakin mencoba, semakin tidak jelas pandangannya. Ia pikir ranting pohon bisa membunuh hewan buruan.
“Payah!!” grutunya.
Setelah cukup lama, ia sayup-sayup mendengar derap langkah kaki kuda, satu, dua, semakin mendekat semakin terdengar rombongan. Simu bersembunyi dan mengintip dari balik dahan yang meliuk-liuk, sangat tinggi, terlihat rombongan kecil kavaleri penunggang kuda zebra dengan zirah berwarna hijau metalik dan jubah merah, serta ada infantri pembawa tombak berambut abu-abu. Di antara mereka juga beberapa yang berambut putih dengan kepala yang dipenuhi warna-warni bulu burung—disertai pernak- pernik emas, tetulangan, dan bebatuan permata elok— segera turun dari tunggangannya berupa jerapah yang berlenggang anggun penuh ornamen, dan juga satu penunggang menjangan. Infantri dan para pembantu berambut abu-abu pembawa gerobak besi yang di atasnya ada kandang domba, segera menyiapkan diri mereka.
Kemudian, dengan gampangnya mereka menarik jala yang terbuat dari bahan khusus, hingga beberapa ekor domba emas itu terjerat. Sekitar lima ekor berhasil diringkus dalam jerat-jerat keramat yang dibuat Moghu Tiranisum, Moghu berambut putih dari Moghia, yang memimpin ekspedisi ini.
“Gahurusum Sarubaaa…!” seru sang Moghu Tiranisum—yang artinya dewa ayah (mogh-Arugh) yang hebat—dengan nada dingin dan berat, matanya sayup penuh misteri dan strategi.
“Siluku Dirsum… !” kata Krurura—yang artinya puji bagi Silukh (dewa perang) yang perkasa—dengan matanya yang garang: sekitarnya berwarna hitam pekat, seorang kapten balatentara Moghonishun berambut merah divisi kavaleri pemanah penunggang zebra. Wajahnya digambar coretan-coretan khas prajurit bangsa Mogho.
Keadaan tiba-tiba menjadi sangat brisik.“Setelah penantian enam bulan, akhirnya dapat juga. Tahun lalu, kita hampir tidak mendapatkan satu pun domba emas. Tolol sekali kita ini! Semoga ini pertanda baik, dan semoga raja selalu panjang umur, dalam lindungan Magahashima yang keramat, dan para tuan Gooldarian yang perkasa, senantiasa memberikan nasihat-nasihat yang bijaksana,” tukas seorang Brushu yang heboh berceloteh satu sama lain di sekitar kandang, dengan suara yang keras memuji-muji para Gooldarian, karena mereka adalah seorang Hilbathorian: para Brushu yang terkoneksi dengan legenda Raja Hilbathor bersayap, sang rambut emas, penguasa dari Cudlarian (negeri di balik gunung kembar), yang kemudian disebut Maghasima (Yang teragung di dunia).
Ulubanisum sang Moghu Sarubsian lainnya, turun dari tunggangannya. Ia terlihat risih mendengar percakapan Mogho rendahan itu yang tidak tedeng aling-aling, dan sang Moghu itu terang sekali memperlihatkan wajahnya yang memerah. Tiba-tiba dengan sihir, ia menarik Brushu brisik itu ke hadapannya.
“Cecunguk, tolol!” tukasnya. “Tidak ada ungkapan baik untuk hari-hari ke depan, dan tidak ada kompromi atau ramah tamah kepada siapapun di antara kita. Hiduplah Jurbandal, pemegang busur emas Moghumoghu. Dan yang terpenting tutup mulut kalian, kalau tak ingin lidahmu tinggal separo!” Ulubanisum melepas cengkramannya, menyindir halus riwayat awal Hilbathorian yang didirikan dari peristiwa kematian Raja Cudlarian yang bersayap, dan seketika suasana menjadi senyap.
Para Hilbathorian (terutama yang ada di Moghia) memang teraliansi kepada dua Gooldarian yang tersisa, yang kini menjadi penasihat Raja. Kedua Gooldarian itu menjadi kepala otoritas resmi seluruh Hilbathorian, kecuali ordo Milonia, yang memisahkan diri di sekitar danau madu, Milwa-Kumra, di balik gunung kembar, wilayah utara. Nanti akan lebih banyak diceritakan. Kembali ke lembah keramat domba emas tadi.
Kemudian Sang Oumapisum (kapten) paruh-baya berambut putih, Tararantun si penunggang menjangan tersentak, lalu tertegun menatap Ulubanisum. “Apa masalahnya, Moghu?” pekiknya.
Ulubanisum tertawa. “Seharusnya tidak ada tempat bagi mereka di kalangan kita, Oumapisum! Apa mulut bawel mereka tak mengganggumu setiap saat? Aneh!”
“Tidak!” jawab Tarantun. “Sepertinya hanya kau yang terganggu!”.
Ulubanisum merasa tersudut apalagi di depan para Brushu yang dihardiknya tadi. Akhirnya ia mendekati Si penunggang menjangan. “Oh, iya aku lupa mengenai anakmu yang memiliki alam pikir gelap, seperti para terkutuk Shuwutian,” tukasnya tersenyum bengis, membuat kapten rambut putih itu menjadi berapi-api.
Tararantun hampir saja mengambil parangnya dan mengajak Ulubanisum duel, karena telah menyinggung anaknya yang dikenal aneh. Tapi, ia memutuskan untuk mengurungkannya.
Kapten Krurura dan Moghu ketua hanya menatap tajam kedua rambut putih itu, sambil memperingatkan lainnya agar segera bergegas. Sementara sang Moghu rambut putih, Ulubanisum, meloncat ke atas dahan tinggi, sambil mengeryipkan matanya, seakan pikirannya menerawang jauh. Ada yang sangat dipikirkan di lubuk terdalamnya.
Sebenarnya, tidak ada sesuatu yang istimewa di dalam diri Ulubanisum, terutama di kalangan dewan Jir- Moghusorum. Ia hanya Moghu rendahan yang hampir tak dianggap. Namun, ia memiliki kecerdikan dan ambisi. Ambisinya itu melebihi dirinya sendiri. Dalam hatinya yang terdalam, Moghu itu memang tidak menyukai pengaruh para rambut emas, yaitu Mogh-Manupulathor dan Mogh- Palapothor (dari sebutannya saja sudah memuakan, karena didewakan setara para Moghiam oleh para Hilbathorian). Dua Gooldarian yang tersisa itu menjadi otak dari segala kebijakan Raja semenjak beberapa periode kepemimpinan ke belakang. Tapi bagi Ulubanisum, kedua Mogho berambut emas itu hanya benalu yang meracuni pikiran raja-raja Moghovilain untuk memuluskan agenda-agenda mereka yang memecah struktur sosial Moghovilain, yakni mengenai pemujaan terhadap Maghashima yang menyimpang dari landasan utama Moghovilain, yaitu Saribsianian. Raja Obarish II telah menafsirkan sendiri, bahwa Maghasima sebagai sosok Mogh-Arugh yang turun ke Shima (bumi).
“Ketika di ketinggian Shuma (langit) ia disebut Arugh, sang utama, dan di Shima (bumi), ia dipuja sebagai Hilbathor, sang Maghashima”. _Catatan puisi-puisi Raja Obarish II
Penangkapan domba emas itu dilihat oleh Simu dengan seksama. Bagi Simu, itu adalah sebuah keberhasilan yang sangat keramat: Aneh dan terlalu sempurna. Sungguh luar biasa kalau benar-benar dilakukan tanpa sihir. Tapi anggapan itu justru membuatnya sadar bahwa tempat yang tadi ia kira sebagai tempat keramat para Moghiam, merupakan perangkap yang sudah dibuat jauh-jauh hari, yang dibangun dengan jaring-jaring yang sudah dibacakan mantra khusus. Karena domba emas merupakan hewan keramat yang begitu ajaib, jadi perlu kekuatan khusus untuk menangkapnya— butuh energi yang ganjil untuk menarik dan melumpuhkan perhatiannya. Setiap tahun, istana butuh berbulan-bulan untuk mencari domba emas, sebagai syarat hewan persembahan bagi para Moghiam.
“Orang-orang Moghia, tak salah lagi! Yah, yang berambut putih itu kurasa seorang Moghu-Moghusorum, yang berambut merah kavaleri Moghonishun, dan para Brushu itu, dimanapun tetap saja jalan kaki dan menjadi alas kaki, mereka pastilah Brushu-Maghdurian atau mungkin seorang Brushu-Hilbathorian,” ujar Simu mengingat rumor-rumor yang membahas tentang kaum atau petinggi Istana Moghostandum-Moghia, dengan pengetahuan minim seorang Brushu pinggiran yang senang mendengar kabar- kabar dari para pelancong yang lewat ke desa Giraki. Area terlarang itu memang menjadi kawasan khusus yang hanya bisa diakses oleh pihak Moghovilain. Awalnya dimaksudkan untuk menjaga habitat. Namun, tetap rusak oleh tangan mereka sendiri, pada suatu zaman, ketika terjadi perburuan besar-besaran domba emas oleh para pasukan merah, ketika mengadakan ekspansi ke selatan.
Kembali ke Brushu bocah malang itu lagi. Seseorang memekik sambil berbalik. Setelah semua pergi, keadaan menjadi lebih sepi. Karena lapar, Simu mulai memakan kuncup pohon mini yang ada di sekeliling sampai semua belukar yang segar menjadi agak terbuka. Ia pun berhasil membelah seekor bekicot untuk—yang mungkin saja dianggap sebagai menu—makan malamnya, dan ditulis sebagai sebuah prestasi. Setelah itu, ia kembali berjalan.
Ketika Simu tiba kembali di area yang lain, ia menyadari bahwa ‘arah’ sudah tidak tentu lagi, dan merasa sudah terlalu dalam tersesat. Area terbuka di belantara itu hanya wilayah padang rumput kelabu yang dipayungi rindangnya dahan pepohonan, jadi cahaya tidak terlihat juga dari situ. Pada saat seperti itu, tidak disangka-sangka, sekelompok Rambut Coklat (Kosor-kebel) lewat dengan anggun dan elegan di kejauhan, dengan menunggangi burung unta. Tepat di jarak satu lemparan anak panah dengan si Brushu itu, mereka memperlambat lajunya. Simu bersembunyi, lalu menerka-nerka bahwa para Kosorian itu termasuk dalam rombongan penangkap domba emas—yang menurutnya— dari Moghia tadi. Karena setahu dia, Rambut Coklat memang banyak yang bergabung ke Moghia, dan banyak yang menjadi elit dalam bidang Mudulisum (buku-buku keramat) dan kependetaan (Moghusum) di Moghia, dan kepemimpinan sah mereka sangat loyal terhadap Moghlek (Raja) dan Sarubsianisme. Kosor-kebel banyak bermukim di wilayah- wilayah provinsi Velli-Chereni’oul, di ngarai tengah pegunungan barat. Pada zaman kuno wilayah itu merupakan celah pusat pegunungan di perbatasan wilayah Moghoforsum dengan bangsa lain di bagian barat, yang kadang hanya dianggap sebagai legenda atau mitos, sebab ada yang beranggapan itu adalah ujung dunia.
Kosorian itu bertiga, dan terlihat masih muda, mungkin umurnya lima tahun di atas Simu. Mereka bercakap-cakap dalam nada yang berat dan dalam, di atas burung unta hitam yang syahdu, dan penuh ornamen gemelantung. Mereka memakai ikat kepala kayu, wajahnya dilukis coretan-coretan warna hitam dan merah, dengan jubah terusan yang berwarna coklat gelap dengan kombinasi warna-warna emas, dan mereka termasuk ras Mogho yang biasa memakai anting emas bagi para pejantannya
“Benih pembaharuan telah merekah, menjadi pembuka yang paling cemerlang. Pada musim semi yang cerah, ketika penindasan menjadi kebiasaan, menuju arah selatan, sebelum hitam! _Puisi ramalan Haul putra Hil. Menurut perhitungan catatan ayahku begitu, bagaimana menurutmu, Halin-Hil?” kata salah seorang dari mereka, sambil menghentikan tunggangannya, seperti ada firasat setelah mengingat kata-kata dalam buku saku peninggalan ayahnya.
“Tak ada yang tahu pasti,” sambut yang disapa Halin-Hil tadi, menggeleng. “Ramalan hanya sekedar ramalan, apa yang diketahui hanyalah bayang-bayang.”
“Yang pasti justru pergolakan besar yang akan terjadi, dan itu merupakan sesuatu yang buruk! Trus apa yang kau ketahui lagi, hai putra Haul?” yang lain seketika memberikan reaksinya dari belakang mencoba menggali lagi, dan yang bernama Halin-Hil tadi tidak menolak reaksi itu.
“Tidak ada, Hil’ari. Entahlah,” jawab rambut coklat yang dipanggil putera Haul itu. Ia adalah seorang Moghu muda, Hual anak Moghu Haul si pembelot (hwirak). Karena aneh dan oleh sebab riwayat ayahnya itu, ia tidak dianggap terhormat oleh kaumnya di Velli-Chereni’oul. Hanya dua sahabatnya saja yang menerima segala yang ada pada dirinya, meskipun kadang dengan banyak pertanyaan di kepala dan rasa belas kasihan.
“Tapi, ketahuilah, kawan, Sarubsian memang harus ditumbangkan dari tahta Mogho, suatu saat nanti!! sampai dunia tahu bahwa pewaris Mogho leluhur Mogho yang sesungguhnya adalah kaum Hilsumian sejati. Semua tahu, Mogho leluhur Mogho adalah berambut coklat.”
“Hemm… jadi, ini semua mengenai perubahan tampuk kekuasaan yang dianugerahkan langsung dari langit?” tukas Halin mengerti satu hal, lalu turun dari tunggangannya, dan Hual tidak menolak anggapan itu, sehingga ia menjadi tahu bahwa rekannya yang dianggap sakti dan aneh itu sedang memikirkan hal besar, yang bahkan lebih besar dari dirinya sendiri.
Kemudian Hual memekik dengan suara parau, ketika mendapati sebuah batu bertulis huruf mogholot:
Semua klan Mogho satu keturunan, namun habis kiranya kalau: pamor, kekuasaan dan kekuatannya diwariskan kepada semua anak turunnya. Tidak bisa demikian. Maka, seharusnya ada yang mewakilinya. Wakil yang paling cakap dan mulia…