Simu sudah terlalu banyak makan jamur dengan berbagai rasa, tapi ia tidak juga kenyang. Asupan semi protein yang memadai dari para Kosorian baik hati itu, setidaknya lebih berarti bagi badan dan suasana hatinya, ketimbang bekicot alot. Simu dan ketiga Kosorian itu sudah berdiam semalaman di tempat itu, berkelakar di depan api unggun, sampai terlelap hingga pagi menjelang. Ketika terbangun, embun sudah turun mendekap dedaunan, dan mereka melalui awal hari dengan sarapan enak.
“Jamur ini lezat sekali!” tukas Simu. “Seperti makan bekicot berlendir madu atau lidah Karkadan yang di masak dengan buah-buahan ara matang, atau dedaunan. Jenis apa ini?”
“Secara umum, jamur memang separuh daging!” tukas Halin-Hil tersenyum. “Tapi yang itu adalah hasil unggulan dari desa Hilgarani, desaku yang cokelat. Itu jamur daging namanya. Banyak tumbuh di lereng terendah di hilir sungai Ribanini yang kebiruan, sungguh tempat yang bagus untuk tanaman. Saat tengah malam tiba, konon mereka akan bergerak seperti bekicot,” lanjutnya setengah tertawa. “Nah, mengenai asap getah mur itu, itulah yang menimbulkan aroma segar bagi jamur.” Sambil menunjukkan lagi sekantung getah kemenyan atau pun mur murni yang dibawanya, seperti seorang pedagang. Mogho memang memiliki kebiasaan memakai kemenyan sebagai bumbu penyedap dengan cara dibakar. Dan biasanya Brushu lebih cocok dengan wewangian getah kemenyan ketimbang bebungaan.
“Ngomong-ngomong, kemana sebenarnya arah kalian?” kata Simu sedikit malu-malu.
“Ke selatan,” tukas Halin singkat.
“Aku sudah tidak tahu lagi arah jalan pulang. Kupikir, aku bisa ikut dengan kalian, bisakah aku ikut bersama kalian?” Simu meletakkan bekas tusuk jamurnya dengan sopan.
“Sebenarnya tujuan yang kami tuju tidak melewati Moghka,” kata Halin. “Akan terlalu berbelit melewati desa- desa di sana, harus melewati pintu gerbang pusat di Moghkoghka pula, dan harus terlibat dengan para pasukan merah di sana. Itu terlalu beresiko.” Halin seolah menutup- nutupi sesuatu
“Beresiko?” hentak Simu.
Ketiga Kosorian itu seketika gugup dan terbata- bata, dan tidak ingin membahasnya lagi.
“Tapi kau bisa ikut kami sampai ke arah persimpangan, jika kau mau,” kata Hil’ari. “Ke Moghka akan memutar ke barat dulu, itu terlalu jauh bagi kami. Jika kau lurus kau akan menemui jalur mata air, berupa perbukitan yang menjurus ke arah barat laut. Di arah itu kau akan tahu kemana aliran air itu menuju.”
“Mata air? jadi aku sudah sejauh ini,” tukas Simu.
“Tak ada Glubukublek yang berani ke tempat seperti itu. Tapi kau sudah di sini! sendirian, Simu! itu luar biasa bukan?!” tukas Halin-Hil menenangkannya.
“Nah, kalau dipikir-pikir, kurasa kau jatuh ke lembah keramat yang membawamu ke dalam kuasa gaib,” tukas Hil’ari mencoba menerka. “Kau bilang jatuh ke suatu dataran yang dekat dengan para domba emas, dan bukankah binatang itu hewan dari dunia keramat? Sepertinya hewan itu dijerat oleh perangkap khusus orang-orang Moghia itu. Sehingga dalam keadaan itu kau dibawa oleh pikiran lain—entah apa itu— tempat yang lebih tinggi dan dalam lagi di hutan liar ini.”
“Yah, aku memang terjungkal menggelinding seperti kambing guling, sampai sejauh ini,” tukas Simu.
Namun, Hual masih saja terdiam. Ia tak banyak menanggapi percakapan ketiga lainnya, karena ada hal lain yang ia amati. Tak berapa lama, ia seperti merasakan sesuatu yang sedang mendekat mengarah kepada mereka. Satu derap, sampai terdengar ribuan derap seribu kaki. Lalu, ia segera mematikan api yang digunakan untuk membuat sarapan.
Hual waspada sembari membuat sihir kecil di sekitar burung unta, agar mereka tak berisik. “Nah, mungkin memang hal penting ada di sekitar sini. Itu yang aku rasakan sejauh ini. Ayahku tak mungkin salah….”
“Mengenai mooghatimala itu lagi!” tukas Halin-Hil menggeleng.
Hual mengangkat bahunya.
“Apa tadi? mooghatimala? Tentang apa itu?” tukas Simu lugu.
“Bunga Keramat yang benihnya jatuh dari langit!” timpal Halin-Hil, setengah tertawa.
“Oh, hanya bunga ya,” kata Simu, tidak terlalu tertarik, tapi sedikit terngiang tentang apa yang ia temui tadi, tapi ia ragu untuk mengutarakannya.
“Yah, hanya sekuntum bunga, tapi keramat, bocah!!” kata Halin sedikit geram.
‘Sekuntum…?’ pikir Simu.
“Keadaan yang buruk, kawan-kawan!” tukas Hil’ari masih saja berulang kali menekankan hal yang ditakutkanya.
Hual masih waspada. Setelah bersembunyi dari jalur utama, mereka sedikit lega karena yang datang bukan pasukan merah bersama para Moghu yang diperbincangkan tadi, tapi mereka justru dikejutkan dengan gerombolan rambut hijau penunggang lipan raksasa yang tidak dikenal.
“Sangat mewah… panjangnya mungkin sekitar enam puluh yard,” tukas Hil’ari menerka-nerka tunggangan mereka. “Sangat mengagumkan…!”
“Rombongan Siprukiji!’ kata Hual. “Tapi aneh, mereka tak membawa barang-barang karavan apa-apa. Menurut kabar, setiap musim semi, banyak sekali karavan Siprukiji yang datang berombongan menuju Moghia membawa hasil panen mereka, disamping karena pesanan juga sebagai upeti bagi perayaan Owarigaar. Yang kita lihat, hanya gerombolan yang membawa perlengkapan senjata lengkap. Ini sangat aneh? Dan tentu saja ini bukan jalurnya.”
“Mereka cukup banyak. Lihatlah di belakang, yang lebih kecil itu!” kata Halin.
“Kurasa mereka dari selatan.” Hual ikut menerka. “Tak ada seorangpun Brushu bersama mereka. Mungkin ada hubungannya dengan pergolakan para Krokotak.”
“Kalau begitu, hendak ke mana mereka?” tukas Halin.
“Jalur itu mengarah ke persimpangan antara Lasum-Moghia. Tujuan mereka sudah pasti Moghia. Kemungkinan akan menghadiri pesta besar Owarigaar, atau… ah entahlah.”
“Berarti melewati jalur ke Moghka atau Mughwarosum?” Simu sedikit beranjak.
“Yah, tentu saja, tapi tidak langsung ke pusat desa,” tukas Halin.