“Tanggal berapa ini ?!?"
Tanya seorang pemuda yang bangun dijam sebelas siang, dengan rambut berantakan dan mata terbelalak kemerahan. Pemuda itu seorang pemabuk yang bahkan tidak bisa meninggalkan miras hanya untuk satu hari saja.
“Tanggal 9, ada apa kau tanya tanggal?” ucap pemuda lainnya dengan logat Batak yang cukup kental.
Pria yang masih terkumpul setengah nyawa itu langsung bangkit, berjalan cepat menuju kamar mandi. Ia nampak sibuk. Terdengar dari suara barang yang berjatuhan dari balik pintu yang tak lama ia banting.
Dia adalah mahasiswa tingkat empat yang memilih pergi dari rumah untuk belajar hidup di ibu kota, begitu katanya.
Orang tuanya memberi ia nama Kaivan Danadyaksa, yang berarti anak laki-laki tampan yang menjaga kejayaan.
Mereka ingin anak laki-lakinya itu tumbuh menjadi pria kuat yang kelak akan menjadi penerus bisnis biji kopi keluarganya. Namun, siapa sangka, jika harapan besar itu tak benar-benar dapat terpenuhi.
Sejak duduk dibangku SMP, Kaivan tumbuh menjadi seorang pemberontak yang hidup seenaknya dengan fasilitas kekayaan orang tuanya. Memberi ijin untuk tinggal jauh dari kampung halaman dan belajar mengenai dunia luar ternyata merupakan satu kesalahan besar yang sudah terlanjur dilakukan.
Pria Batak yang menjadi teman serumahnya itu bernama Maruli. Anak dari supir keluarga Kaivan yang ditugaskan untuk menemani sekaligus mengawasi anak pengusaha kaya itu. Apapun yang Kaivan lakukan, Maruli lah yang harus melaporkannya pada orang tua Kaivan.
Meski sering diadukan, Kaivan tidak pernah sekalipun marah pada Maruli. Ia sadar pada posisi teman yang sudah ia anggap saudaranya itu.
Maruli disekolahkan oleh majikannya hingga ia tamat SMA. Tidak seperti Kaivan, Maruli pergi ke Jakarta untuk bekerja. Namun mereka tetap tinggal bersama dirumah sewaan yang orang tua Kaivan sewa untuk mereka berdua.
“Kau mau kemana? Ini sudah siang, pergi secepat Buraq pun, kau akan tetap telat..”
“Hari ini ada ujian, kenapa kau tidak bangunkan aku??!” ucap Kaivan tergesa-gesa.
“Ku pikir kau mati,, mau dibangunkan seperti apapun, tetap tidak mau bergerak..”
Maruli seakan sudah terbiasa dengan suasana pagi seperti itu. Ditemani kopi hitam dan ubi goreng yang ia beli di warung mak Leha, Maruli duduk santai di kursi teras yang menghadap langsung ke kebun tomat milik pak haji Mamat.
Kaivan masih tetap sibuk, mondar-mandir mencari kunci mobil yang entah ada dimana. Ia pulang dalam keadaan mabuk, dan ingatannya akan otomatis menghilang di keesokan harinya, seperti sudah kebiasaan.
“Kau nampak kunci mobilku tidak??”
“Enggak.. !!” jawab Maruli sedikit berteriak.
“Aarrgghhh,, sial !”
Kaivan terdengar putus asa, sedangkan Maruli tengah bersantai menyeruput kopi hitam yang masih mengepulkan asap.
Tak lama kemudian...
Duk dukk dukkk...
Suara langkah cepat terdengar mendekat.
“Motor kau ku pinjam dulu..” ucap Kaivan melewati Maruli.
“Oi !! Aku kerja bagaimana??”
“Kau cari kunci mobilku,, Kalau ketemu, pakai saja untuk pergi kerja..”
“Lah.. kau simpan dimana tuh kunci?! Kalau gak ketemu, bagaimana??”
Kaivan hendak naik ke atas motor setelah berhasil memasangkan helm dikepalanya, namun Kaivan mengurungkan niatnya. Ia kembali berjalan ke arah Maruli yang sedang memegang gelas kopi, “Kalau gak ketemu, kau jalan lah..” ucap Kaivan merebut gelas kopi itu dan menyeruput setengah isinya.
“Mau sampai kapan kau seperti ini? Hidup berantakan, sekolah kau anggap mainan..”
“Sampai kiamat, mungkin..” terdengar tak perduli.