Langit semakin terlihat gelap.
Kaivan yang menjadi sumber masalah itu kini semakin terlihat ogah-ogahan untuk mencari wanita yang ia tinggalkan di club semalam. Entah sepenting apa wanita itu bagi Jihan, Kaivan tidak ingin mencari tahu. Yang jelas, ia hanya sedang ditahan oleh wanita yang terus menerus memberinya ancaman itu.
“Sudah sore, kita lanjutkan besok saja..”
“Apa salahnya kalo sekarang udah sore? Gue yakin, malam ini lo hanya akan pergi clubing. Gak ada hal penting yang lo lakuin selama ini, kan??” kembali Jihan mengeluarkan kalimat menyakitkannya, membuat Kaivan sedikit geram.
“Emang lo gak lapar?? Udah seharian kita nyari tuh cewe.. Gue bahkan belum sempat makan tadi pagi”
“Ouh,, lo lapar?? Oke, kita cari makan..”
Setelah beberapa saat, tibalah mereka disebuah warteg pinggir jalan yang sepi pengunjung, “Bu.. nasi dua porsi sama telur dan oreg.. Oh ! Jangan lupa sambalnya dibanyakin ya..” ucap Jihan yang langsung ambil posisi menghadap etalase watung tanpa memperdulikan apa yang ingin Kaivan makan.
“Duduk.. kursi ini bersih, gak usah khawatir..” lanjut Jihan yang menyadari perubahan raut wajah Kaivan.
“Kita banyak lewatin tempat makan yang lebih layak, kenapa lu pilih tempat ini?” Kaivan nampak melihat sekeliling, memperhatikan tampilan warung yang terlihat tak layak baginya.
“Kenapa? Gak pernah makan ditempat kayak gini ya?? Eh iya.. Orang kaya mana mau makan diwarteg..” sindir Jihan sambil meraih sendok ditempatnya.
Kaivan nampak diam, merasa tidak enak melihat lirikan mata pemilik warung yang ikut mendengar apa yang Jihan katakan.
Tak tak tak takk,,
Suara air hujan yang mendarat menghantam atap warung yang terbuat dari seng berhasil menghentikan keheningan diantara mereka. Hujan turun cukup deras membasahi sebagian besar wilayah ibu kota. Angin yang berhembus kini semakin terasa dingin, dibarengi iris dari air hujan yang menimpa tubuh mereka.
Jihan nampak sudah selesai dengan isi piringnya. Ia mengeluarkan bungkus rokok yang terselip di saku depan celana dan menyalakan api menggunakan pemantik yang warung itu gantung menggunakan tali rapia.
Ia nampak menikmati rokok yang tertaut diantara jemari rampingnya. Dengan tatapan kosong memandang pohon mangga yang tumbuh dipinggir warung. Sesekali ia menghela nafas panjang dan mengeluarkannya langsung lewat mulut. Seperti ada beban berat yang bersemayam didalam pikirannya wanita keras itu.
“Makan hari ini biar gue yang bayar..” ucap Kaivan meraih dompet disaku belakang celananya.
“Yaa.. gue memang gak berencana buat bayarin lo..” jawab Jihan yang masih memandangi pohon mangga itu.
Kaivan tertawa kecil mendengar kalimat sarkas yang baru saja Jihan ucapkan. Wanita itu tidak pernah berbicara lembut pada Kaivan, seakan apa yang ada didalam sama persis dengan apa yang dia tampilkan.
Kaivan lantas membayar apa yang sudah mereka makan tanpa mengambil kembalian yang pemilik warung itu sodorkan.
Melihat puntung rokok yang masih tersisa setengahnya ditangah Jihan, Kaivan duduk menunggu sambil memperhatikam genangan air hujan yang mulai meninggi, membawa serta hewan-hewan kecil yang terbawa arus menuju parit.
10 menit kemudian..