Inefabble

Salsabila Fiska Anindita
Chapter #3

Bagian Dua: Cinta Pertama

Kalian pasti pernah merasakan yang namanya cinta pertama, bukan?

Bagiku, sensasi cinta pertama adalah perasaan yang sangat amat sulit dilupakan. Tentang hati kita yang pertama kalinya begitu mendambakan sosok seseorang yang tidak pernah dipikirkan oleh kita.

Ketika hati dan pikiran melangkah sejalan ingin bersamanya dalam sebuh ikatan yang anak milenial sebut pacaran.

Intinya, cinta pertama tidak akan bisa dilup akan seumur hidup bagi setiap individu.

Bahkan ada beberapa orang yang masih mencintai sosok cinta pertamanya dalam jangka waktu tahunan meski statusnya belum jelas. Memendam perasaan menyakitkan yang terhalang oleh pertanyaan, ‘apa dia juga suka aku?’

Jangan jauh-jauh mengambil contoh dari banyak novel yang menceritakan tentang kisah cinta pertama tak kesampaian. Sementara aku sendiri sudah merasakannya.

Mari kita mulai membahas sosok dirinya, si cinta pertamaku.

Namanya Adrian Herdiansyah. Lelaki kelahiran 22 agustus, seumuran denganku. Kami teman sekelas sejak tahun terakhir menggunakan seragam putih biru. Yang paling menonjol pada dirinya adalah otak cemerlangnya, yang membuat dia sering dipanggil kepala sekolah saat upacara hari senin setelah dia memenangkan perlombaan bidang akademik. Ketenarannya menjadikan dia punya banyak teman, tapi jarang punya teman perempuan.

Bicara tentang fisiknya, postur tubuhnya cukup tinggi seperti ukuran remaja lelaki kebanyakan, punya rambut hitam sedikit ikal, nampak terlihat manis dengan kulit putihnya, tatapan iris hitamnya selalu tajam ketika memperhatikan orang, dan jangan lupakan juga kedua lesung pipi ketika dia tersenyum. Tahu Nicolas Saputra? Nah, mirip-mirip sedikit lha.

Pintar dan tampan, well itu adalah tipe relative itu membuat perempuan jatuh cinta.

Tapi aku punya alasan lain mengapa aku bisa jatuh cinta padanya. Bukan, ini bukan musuh jadi cinta, bukan juga tabrakan di koridor dulu kemudian jadi dekat.

Ini lebih sederhana dari yang dibayangkan. Berawal dari, ajakan dia pulang bersama sejak awal satu kelas.

“Rumah kamu ke arah sana? Sama dong kayak aku, pulang bareng yuk?

Saat itu umurku masih 15 tahun, aku pikir terlalu dini untuk merasakan cinta kepada lawan jelas.

Semuanya karena keterbiasan bersama, sekitar 30 menit duduk di sepeda yang sama setiap senin sampai jumat, membuat kami sama-sama nyaman dengan obrolan masing-masing, apa pun itu.

Karena itu pula, aku jadi tahu banyak hal spesifik mengenai Adrian. Bahkan hal kecil seperti; dia penyuka makanan pedas, suku asli jawa, punya phobia ketinggian, anak tunggal, dan masih banyak lagi.

Begitu juga, dia tahu banyak mengenai diriku.

Yang paling aku suka selama 30 menit bersama itu, saat dia berbicara mengenai dirinya. Sejak cukup lama bersama, entah mengapa aku sangat ingin tahu semuanya mengenai dia. Semua tentang dia, adalah yang paling aku suka.

Status kami yang hanya teman, membuat otakku berpikir lama kalau aku menyukai dia. Menjadikan di sosok cinta pertamaku.

Dan karena status kami pula yang membuat aku tak berani berkata tentang perasaanku untuk dia. Masih terekam jelas dalam kepala, saat kelulusan sekolah, aku sudah menyiapkan semalaman lebih kalimat pengungkapan cinta kepadanya. Namun ketika hari H,

Selamat ya, kamu dapat nilai tertinggi dan masuk SMA favorite yang kamu mau. Sebagai teman, aku bangga. Semoga kamu sukses selalu.

Hanya Sederet kalimat itu yang mampu aku ucapkan.

Setelah kami berbeda sekolah, dia masih suka menghubungiku atau barangkali mengajak jalan-jalan. Tapi dalam intensitas jarang.

Begitu juga dalam bertukar kabar.

Ketika kamu menjadikan dia rutinitas dalam kepalamu. Dia malah menjadikan kamu tempat singgahan. Itu yang aku rasakan saat masih menyimpan perasaan untuknya.

Perasaan teramat dalam hingga aku selalu menceritakan sosoknya pada siapa pun, terutama teman dekat.

“Ra, lo ‘kan punya pacar, tapi kenapa bareng sama gue mulu? Yang lain aja pulang di antar pacarnya terus.”

Saat masih kelas 11, aku punya teman sebangku yang kupanggil Indy, dia adalah salah satu orang yang tahu tentang Adrian.

“Pacar aja nggak punya,” balasku tanpa minat. Percaya deh, hal yang paling malas dibahas jomblo adalah masalah tentang pacaran.

“Cowok yang sering lo ceritain dulu tuh, yang lo bilang dekat sama lo, Adrian ‘kan namanya? Dia bukan pacar lo?”

“Cuma teman.” Sungguh, saat masih menyimpan perasaan padanya, aku sering merasa tertohok sendiri menyebut status kami.

“Biasanya dari teman jadi demen, sabar aja,” Indy menepuk punggungku cukup keras, sehingga aku yang sedang minum es teh manis langsung terbatuk pelan, “terus sekarang gimana hubungan lo sama Adrian? Berjalan semulus kulit bayi nggak?”

“Semakin hari, semakin jarang kontakan. Semakin gue sadar, kalau kayaknya cuma gue aja yang sayang sama dia. Sementara dia anggap gue teman biasa atau bahan singgahan? Sebab gue gampang terima dia setelah dia hilang lama dan entah ke mana.”

Lihat selengkapnya