Papa
Papa nggak bisa jemput kamu. Lagi ada kerjaan.
Satu pesan masuk dari Sang Ayah membuat Aerylin hanya bisa menghela napas pelan. Sudah hampir satu jam dia menunggu dan Ayahnya baru bilang sekarang? Memang, tadi pagi, dia sengaja menebeng pada Ayahnya untuk pergi ke sekolah karena sedang malas mengendarai motor sendiri. Namun, kalau berakhir seperti ini, dia jadi sedikit menyesal berangkat bersama Ayahnya.
Maka, dengan berat hati, Aerylin mengetik balasan untuk Pria Paruh Baya itu.
Ya udah, Ryli pulang pake angkot aja :)
Hati-hati. Langsung pulang ke rumah.
Read.
Sekali lagi, Aerylin menghela napas sebelum memasukkan ponsel ke saku rok. Matanya mengedar ke seisi penjuru kelas. Kelas sudah sepi dari tiga puluh menit lalu. Hanya tinggal dirinya seorang. Momo lagi sibuk ekstra pramuka. Sementara Cecel udah dijemput terlebih dahulu.
Menyampirkan tas di bahu, Aerylin bangkit lalu berjalan keluar kelas, menyusuri lorong demi lorong yang sudah sepi. Suara derap sepatu milik Aerylin terdengar menggema di antara koridor kelas.
Sesekali, cewek berkuncir kuda itu bersenandung kecil untuk mengusir kesunyian yang mendera. Begitu melewati lapangan bendera, Aerylin dapat melihat para murid yang sedang ekstra pramuka. Termasuk Momo. Dan ketika Momo menyadari keberadaannya, cewek itu langsung melambaikan tangan sambil berlari ke arah Aerylin.
"Tumben belum pulang. Biasanya juga nggak betah lama-lama di sekolah." Tanya Momo sembari mengelap keringat di keningnya.
Aerylin berdecak. "Papa gue baru bilang kalau nggak bisa jemput. Tau gitu dari tadi gue nebeng sama yang lain aja."
"Ya, udah. Pulang bareng gue aja. Tapi tunggu gue selesai ekstra." Cetus Momo.
"Emangnya kapan lo pulang?" Tanya Aerylin.
"Satu setengah jam lagi." Jawab Momo, nyengir.
Aerylin mencebik sebal. "Sama juga bohong. Mending gue pulang pake angkot aja. Gue orangnya nggak suka nunggu soalnya."
"Dasar baperan."
Aerylin mengibaskan tangan. "Dih, suka-suka gue. Baperan adalah hak segala bangsa tau. Udahlah, gue mau pulang aja daripada ngapelin lo. Nggak ada kerjaan banget."
Setelah berucap demikian, lantas Aerylin melongos pergi menuju gerbang sekolah, meninggalkan Momo yang mendengus kesal. Namun, saat dia hampir mendekati gerbang, langkah cewek itu melambat seiring tatapannya yang terlempar pada segerombolan murid cowok yang sedang asyik mengobrol sambil tertawa terbahak-bahak.
Sontak, Aerylin menggigit pipi bagian dalamnya. Bagaimana dia akan lewat kalau ada banyak cowok di sana? Bukan. Bukannya dia takut, tapi dia lebih ke tidak suka. Berjalan sendirian melewati segerombolan orang termasuk ke dalam blacklist di hidupnya. Karena rasanya itu awkward banget. Siapapun pasti pernah merasakannya.
Tapi, kalau dia tidak lewat, dia tidak akan bisa pulang. Dan orangtuanya pasti khawatir, yang berujung ponselnya terus mendapat panggilan masuk.
Aerylin membuang napas berkali-kali. Baiklah, ini mudah. Tidak seperti ulangan matematika. Dia hanya harus lewat dan semuanya selesai. Gampang, kan? Oke, tenang Aerylin, tenang.
Akhirnya, setelah berhasil membuat dirinya lebih rileks, Aerylin mempercepat langkahnya dengan tangan yang mencengkeram tali tas. Kepala cewek itu menunduk, berharap dia bisa pulang tanpa hambatan.
Namun, harapan hanyalah tinggal harapan belaka. Karena nyatanya salah seorang cowok berambut jabrik dengan seragam yang berantakan menghalangi langkahnya. Seulas senyum usil terlukis di bibir cowok itu.
"Mau pulang, ya? Perlu gue anterin, nggak?"
Aerylin semakin mencengkeram tali tasnya. "Nggak usah, makasi. Permisi,"
"Eits, mau kemana?" Tangan cowok itu langsung memegang pergelangan tangan Aerylin yang hendak melangkah pergi.
"Lepas, gue mau pulang." Aerylin berusaha melepas pegangan cowok itu, tapi tidak bisa. Pegangannya terlalu kuat.
"Guys, ceweknya sombong ternyata." Celetukan yang dilontarkan cowok itu langsung mengundang gelak tawa dari teman-temannya yang sedari tadi hanya menjadi penonton. Sementara Aerylin, memilih mendumel dalam hati.
"Lo emang nggak pernah laku, Jun. Ditolak mulu. Beda sama Sakha, yang malah nolak cewek cantik kayak Lauren."
Mendengar ucapan salah satu cowok lainnya lantas membuat Aerylin menoleh ke arah segerombolan para murid cowok. Seketika matanya melebar kala mendapati Sakha juga berada di sana. Cowok beralis tebal itu sedang asyik bermain ponsel, tidak peduli kalau namanya ikut terseret-setet ke dalam pembicaraan.
"Sakha cuma lagi beruntung aja ditembak sama Lauren. Sebenernya gue juga bisa kayak gitu, tapi gue bukan orang yang suka pamer." Seloroh cowok itu yang kontan saja mendapat sorakan dari teman-temannya.
"Bukan nggak suka pamer. Tapi emang nggak ada yang bisa dipamerin." Kata cowok yang berada di samping Sakha, membuat cowok berambut jabrik itu mengumpat kecil.
"Nggak gue kasih hotspot lagi lo."
"Gue bisa minta hotspot sama Sakha."
Aerylin memutar kedua bola matanya ketika melihat perdebatan mereka. Dia kembali memberontak kuat, membuat perhatian cowok itu teralih ke arahnya.
"Agresif banget. Beneran nggak mau dianter pulang, nih?" Alis cowok itu bergerak naik turun secara bergantian.
"Gue udah bilang kalau gue bisa pulang sendiri."