INEFFABLE

Delana Siwarka
Chapter #1

Prolog

Malam itu, angin berhembus kencang. Ramalan cuaca sudah mengatakan bahwa kemungkinan besar badai Eropa akan mencapai wilayah Timur bumi. Maka dari itu, semua orang sudah mempersiapkan diri dengan baik.

Jendela-jendela tertutup rapat dan tirai gorden ditarik penuh. Pintu dikunci dengan aman. Semua lampu yang tidak berkepentingan dimatikan agar menghindari adanya korslet.

Secara keseluruhan, kota ini menjadi seperti kota hantu. Gelap, dingin, tak berpenghuni.

Semakin malam, angin kencang bertiup makin ganas. Atap-atap yang terbuat dari seng yang tidak kuat bergemeletuk keras menahan deruan angin, berusaha keras untuk tetap tergantung di atas. Suara daun-daun yang saling menampar satu sama lain tanpa henti dan jeritan badai yang serupa auman iblis kian keras.

Betul saja, tidak sampai semenit kemudian, hujan mulai turun.

Awalnya hanya berupa tetesan-tetesan lembut, berubah ganas dalam sekejap mata. Beberapa pasang mata melirik dengan takut-takut dari balik jendela, sembari berdoa agar mereka dapat melewati badai kali ini dengan selamat.

Tidak ada orang yang tahu dan peduli, bahwa di tengah badai yang siap menerkam bumi itu, seorang gadis cantik menerobos keluar dari salah satu rumah, berlari bertelanjang kaki menembus tirai hujan yang lebat.

Wajahnya basah—entah karena hujan, air mata, atau keduanya—rambutnya yang hitam sebahu berantakan tertiup angin, beberapa helai bahkan menempel di wajahnya yang mungil dan pucat. Bibirnya semerah darah, dengan luka lecet di ujungnya.

Tak ia pedulikan lagi sakit di sekujur badannya. Ia hanya ingin lari, lari, lari dari semua kenyataan yang selama ini selalu membuatnya ingin mengakhiri hidup. Sakit dari derasnya air hujan yang menghajar tubuh ringkihnya tidak bisa mengalahkan sakit di hatinya.

Cukup, sudah cukup. Tessa hanya ingin mati saja sekarang.

Tubuh mungil itu terus berlari melawan alam, seakan mengikuti kehendak jiwanya yang berteriak meminta kebebasan. Sebagai bentuk perlawanannya untuk terakhir kali kepada takdir yang tidak pernah berpihak padanya.

Lama Tessa berlari, hingga dadanya terasa sangat sesak dan kakinya yang telanjang memohon padanya untuk berhenti melangkah sejenak. Nafasnya berderu hebat, kepalanya berdenging dan sekujur tubuhnya mulai menggigil kedinginan.

Tidak berguna sekali. Dia bahkan tidak tahu bagaimana caranya untuk mati.

Tessa memeluk dirinya sendiri. Matanya tanpa sengaja melirik pada sebuah gang kosong kecil dan gelap. Kakinya yang mati rasa tanpa sadar membawanya kesana.

Gang itu penuh dengan tumpukan sampah. Semacam tempat pembuangan bersama bagi penghuni kota ini. Tidak aneh jika sekarang, beberapa sampah-sampah yang menjijikan berceceran di lantai. Bau amis yang busuk dan membuat mual mengaung di udara.

Tapi Tessa tidak peduli.

Di tengah sampah-sampah itu, ia berbaring. Membiarkan terpaan hujan menampar wajahnya berkali-kali. Tapi nihil, Tessa tetap tidak bisa bangun dari mimpi buruk ini.

Sebuah suara tawa yang dingin dan kosong meluncur dari bibirnya. Sebuah tawa yang mengejek keadaan dirinya sekarang. Lo emang sampah, dan sampah seharusnya memang berakhir bersama tumpukan sampah lainnya.

Perlahan Tessa memejamkan mata, membiarkan dingin semakin merasuki kulit dan menembus tulangnya, merasakan sendi-sendinya yang perlahan mati rasa, merasakan hatinya yang perlahan ikut layu dan meredup.

Bisakah Tuhan mengabulkan permohonan Tessa kali ini saja? Tolong, tolong biarkan Tessa mati seperti ini. Sekarang juga.

Lihat selengkapnya