Pagi-pagi saja, tangan Khalik sudah berlumuran darah, buku-buku jarinya lecet, jari-jarinya penuh darah yang terus menetes, tidak tahu apakah itu darahnya atau bukan. Tapi dia sendiri begitu santainya berjalan di koridor sekolah, tanpa peduli dengan tatapan ngeri semua orang. Bahkan masih bersenandung seakan-akan itu adalah pagi yang cerah, bukan siang terik yang terasa membakar.
“Askhalika Pragiwara!”
Dengan luwes, Khalik memutar badan, tersenyum lebar seraya melambaikan tangan. “Hai!”
“Hai-hei-hai-hei, kamu kira saya teman kamu!” Itu Bu Mega, guru BP yang sudah terkenal kebengisannya di kalangan murid, guru, segenap staf dan pegawai sampai ke warung-warung di sekitaran sekolah. Tidak segan-segan, Bu Mega langsung menjewer kuping Khalik, membuat cowok itu mengaduh kesakitan. Pipinya kontan memerah.
“Aow aow! Ibu!”
“Apa?!” Bu Mega tidak kalah nyolot dengan bentakan Khalik.
Sorot mata Khalik setajam silet, kalau yang dipelototinya adalah murid lain, sudah pasti mereka ngacir secepat kilat, tidak mau terkena bogeman dari cowok tinggi bertubuh besar itu. Sayangnya ini Bu Mega, guru yang bahkan tidak berani dilawan oleh kepala sekolah. Konon rumornya, Bu Mega memiliki kekuasaan yang lebih besar dibandingkan Kepala Sekolah untuk mengeluarkan murid-murid bermasalah. Hal itu membuat semua murid jadi takut pada guru galak itu.
Kecuali Khalik.
Semua orang di koridor itu serta merta menahan nafas, bersiap menonton adegan yang terancam dapat menumpahkan darah.
Sedetik kemudian, wajah kaku mengancam Khalik berubah menjadi cengengesan konyol. “Hehehe, nggak. Cuma mau bilang kalo Ibu hari ini geulis pisan! Mantap euy!” Ia mengacungkan dua buah jempol seraya mengedipkan sebelah mata.
Wajah Bu Mega semakin dongkol, urat-urat di lehernya menonjol. Sepertinya guru itu sudah nyaris akan mencongkel mata Khalik jika bukan karena bel yang berbunyi nyaring.
Khalik berseru girang, “Ah, ibu! Udah bel nih! Saya mau masuk kelas, nggak mau ketinggalan pelajaran!”
Bu Mega membalas sengit, “Bacot kamu saya pretelin pakai kain lap! Kalau nggak mau ketinggalan pelajaran, kenapa kamu baru datang jam dua belas hah?!”
“Yah, kan namanya bangun kesiangan.” Khalik mencibir bagai anak anjing basah yang kecelup got.
“Bacot kamu!” teriak Bu Mega sekali lagi. Ludah-ludahnya mulai beterbangan. Khalik melihat setitik mendarat pada lengannya dan bergidik.
“Astaga, Ibu! Sabar, nggak boleh marah gitu, mentang-mentang baru selesai bulan Ramadhan! Ibu kira Tuhan cuma mau kita bersabar dan membuat pahala baik hanya di bulan Ramadhan, nggak kan Bu?!”
Habis sudah kesabaran Bu Mega, ia menarik kuping Khalik, menyeret cowok itu menjalani koridor tanpa peduli dengan protesan cowok itu dan tatapan murid-murid yang sudah terbiasa melihatnya.
Ruang BP sudah seperti ruang kedua Khalik setelah kamarnya. Rasanya dia lebih sering berada di ruang BP dibandingkan dengan kelasnya sendiri. Ruang itu sempit, hanya berisi sebuah meja dan kursi, rak-rak penuh buku yang menempel di kedua dinding dan sebuah jendela sempit yang tidak memungkinkan bagi penghuninya untuk bisa kabur.
Ya, mirip-mirip penjara gitu. Bedanya di penjara diberi makan, sementara di ruang BP ia dibiarkan kelaparan. Sial, Khalik baru ingat kalau dia belum makan dari pagi.
Bu Mega menutup pintu di belakangnya setelah Khalik mengempaskan pantatnya di kursi yang terlalu kecil untuk tubuhnya yang raksasa, “Sekarang ngaku, kenapa tangan kamu berdarah-darah begitu?” tanya Bu Mega dengan nada datar.
Sepertinya dia sudah belajar kalau berteriak-teriak tidak akan membuat Khalik takut padanya.
Khalik sendiri juga baru nyadar tangannya berdarah. Ia hanya memberikan pandangan sekilas dan mengangkat bahu, “Ini bukan darah kali, Bu.”
“Jadi apa, saus sambal?!”
Khalik menyeringai, “Bisa jadi. Atau saus tomat.”
Bu Mega menarik dan membuang nafas serupa orang bengek. “Siapa lagi yang kamu hajar kali ini?”
Khalik menjawab asal, “Thanos.”
“Bacot kamu!” Sepertinya kalimat itu memang sudah menjadi trademark Bu Mega. “Tadi Ibu lihat sendiri kamu menghajar Jupri dari sekolah sebelah di gang! Untung saja Ibu lagi makan di warung sate, jadi Ibu tidak bisa menyeretmu kesini!”
“Nah, itu Ibu tahu.” Khalik teringat pada cowok ceking pengecut yang sudah babak belur dibuatnya, dan rasa puas langsung memenuhinya. “Ngomong-ngomong, satenya mamang emang enak banget ya Bu, lebih daripada yang dijual di kantin, apalagi warteg di sebelah—“
“Askhalika!”
“Aduh, Ibu! Jangan teriak-teriak begitu, nanti tenggorokan Ibu sakit!”
“Kalau begitu jangan membuat masalah! Kenapa kamu menghajar Jupri, dia ada salah apa sama kamu? Menyenggol bahumu? Mencopet uangmu? Menarik bulu hidungmu?!”
Khalik misuh-misuh, teringat akan Jupri yang mengolok-ngolok dan menendang Ndoro, kucing gendut jelek yang biasa meminta makan di warteg-warteg sekitar sekolah. Meski Ndoro jelek dan hobi mencakar siapapun yang ingin menyentuhnya, tapi Khalik sayang pada kucing itu. Khalik selalu memberinya makan jika dia bisa, dan melihat Jupri menendang Ndoro yang tidak berdaya itu langsung membuatnya naik pitam.
Untung saja Ndoro hanya kaget ditendang, jika kucing itu sampai patah tulang atau mati, Khalik tidak akan berhenti hanya dengan membuat Jupri babak belur.
Tapi sampai mati pun dia tidak akan mengakui itu. Hancur dong imej Khalik nanti sebagai berandalan tak terkalahkan seantero jagat raya kalau dia berantem hanya karena kucing jelek itu!
“Yah,” Lagi-lagi ia mengangkat bahu tak peduli, “Begitulah. Jupri emang minta dirontokin semua giginya.”