INEFFABLE

Delana Siwarka
Chapter #3

2. Khalik (2)

Esoknya sepulang sekolah, ada sepucuk surat beserta paket untuk Khalik.

Ia membolak-balikkan surat itu, tidak ada nama pengirimnya, hanya nama Khalik dan alamatnya yang tertera disana, dia juga menggoyang-goyangkan paket persegi itu ditangannya. Kelihatannya tidak mencurigakan, hanya paket kecil yang dibungkus dengan rapi. Beratnya sedang, namun Khalik tidak bisa menebak apa yang ada didalamnya.

Ya siapa tahu bom gitu.

Khalik menutup pintu kamar dibelakangnya, meletakkan paket itu dengan hati-hati di atas meja dan merobek amplop surat. Matanya langsung menangkap kalimat pembuka surat yang ditulis besar-besar.

Teruntuk anakku terjahanam,

Tulisan rapi feminim itu sontak membuat Khalik tertawa. Selera humor Mama memang tidak pernah Khalik ragukan. Dia bahkan bisa membayangkan suara Mama dan cara Mama mengatakan surat itu padanya. Tentu dengan sebuah senyum lebar dan tatapan mata mengancam, tidak lupa dengan pisau daging ditangan. Dengan hati cerah, ia pun lanjut membaca surat itu.

Anakku, kamu mau Mama kutuk jadi kodok? Kamu belum lupa kan kalau Mama masih sehat walafiat begini? Kamu belum lupa kan kalau kamu itu bukan yatim piatu, melainkan punya orang tua yang cakep dan rupawan begini sedang menunggumu di rumah?

Hanya satu pesan Mama padamu, nak. Sesekali, bukalah hape jadulmu itu. Jangan memaksa Mama untuk menulis surat konyol ini karena tidak bisa menghubungimu selama berbulan-bulan. Mama ini berasa kayak nggak punya anak, tahu nggak?!

Sebenarnya, Mama pengen memaki kamu. Tapi rasanya agak tidak puas kalau tidak diteriakkan dengan langsung ke mukamu. Maka dari itu, bisakah kamu pulang supaya Mama bisa gorok leher kamu?

Tenang saja, Papamu sedang dalam perjalanan bisnis. Dia tidak akan ada di rumah selama tiga hari ini. Kamu bebas keluar masuk rumah. Mama sudah tidak tahu lagi bagaimana caranya mengubah keras kepalamu itu. Mama tidak akan melarangmu untuk berbuat, tapi setidaknya pulanglah sesekali.

Mama rindu sekali padamu.

Oh ya, Mama mengirimkan satu gadget buat kamu. Awas kalau kamu tidak pakai. Setiap kamu tidak mengangkat telepon Mama, Mama akan mengirimkan satu untuk kamu. Biar! Biar gadget kamu jadi seribu! Biar bisa Mama teror seharian!

Telepon Mama kalau mau pulang, oke? Mama akan memasakkan makanan kesukaan kamu.

Kalau kamu tidak merespon surat ini dalam kurun waktu seminggu, Mama akan mengirimkan kontraktor untuk meratakan kos-kosan kamu. Jangan tertawa, Khalik! Mama tidak bercanda!

With love,

Mama kamu yang paling badass

Khalik mengusap air matanya akibat tertawa ngakak. Lantas ia bangkit dan membuka paket itu. Seperti yang Mama bilang, ada satu gadget disana. Hape jadul Khalik bagai upik abu dibandingkan dengan gadget berkilau bagai Cinderella itu.

Ia lalu menghidupkan gadget itu lalu bangkit untuk membongkar lemari. Disudut paling bawah, tenggelamlah hape jadulnya yang sudah terlupakan dan berdebu. Khalik bahkan lupa kapan terakhir kali dia memegang hape. Dia tidak butuh benda itu.

Hape itu seperti dihasilkan pada zaman megalitikum, layarnya kecil dan abu-abu dan hanya bisa digunakan untuk telepon dan sms. Tapi karena hape itu Khalik beli dengan uangnya sendiri, meski butut melebihi sepeda butut dan baju-bajunya yang lebih butut, Khalik tidak cukup hati untuk membuangnya.

Setelah dipikir-pikir lagi, semua barang Khalik memang sangat ketinggalan zaman. Dia yakin abang becak juga setidaknya punya harta yang dua kali lipat lebih banyak daripadanya. Mungkin nama tengahnya itu memang butut. Askhalika ‘Butut’ Pragiwara.

Yap, terdengar keren.

Setelah gadget canggih itu mulai bekerja, dengan canggung Khalik menekan layar sentuh itu dengan telunjuknya yang besar dan kasar, lalu mengetik sms untuk satu-satunya nomor yang tersimpan di kontaknya.

Mama, anakmu yang jahanam akan pulang lusa.

***

Khalik menatap istana yang menjulang tinggi di hadapannya. Rumahnya besar dan bergaya tradisional, seperti rumah-rumah yang dibangun pada masa penjajahan Belanda. Rumah itu didominasi dengan warna coklat, putih dan emas. Pilar-pilar besar dan kokoh menopang atapnya, dan ada lampu gantung besar di depan pekarangan rumahnya yang diisi dengan empat mobil kinclong keluaran luar negeri—beserta dua lusin lainnya di dalam garasi. Air mancur yang terletak di tengah pekarangan mengalir centil, lengkap dengan burung-burung yang bersorak di sekelilingnya.

Dia turun dari sepeda bututnya yang sangat tidak cocok berada di lingkungan elit itu dan menuntun sepeda itu mendekat. Bahkan sebelum Khalik menekan bel, pagar yang menjulang tinggi itu sudah terbuka, diikuti dengan sebaris pelayan cewek—di sebelah kanan—dan pelayan laki-laki—di sebelah kiri—membungkuk dalam-dalam dan berkata bersamaan seolah terlatih, “Selamat datang kembali, Tuan.”

Khalik mendengus jengah.

Seorang pelayan laki-laki menghampirinya dengan sopan, “Akan saya parkirkan eh, sepeda Tuan di garasi.” Jelas dia syok berat melihat sepeda butut Khalik.

“Nggak usah, taruh disini aja, makasih.” Khalik menyahut singkat.

Sekarang salah satu pelayan cewek menghampiri Khalik. “Tuan, akan saya bawakan tas Tuan.”

Khalik mundur selangkah, ingin berteriak ‘Ini cuma ransel woy! Kagak ada isinya!’ tapi akhirnya ia menyunggingkan sebuah senyum samar, “Nggak usah, saya bawa sendiri aja.”

Sama seperti pelayan laki-laki tadi, dia seperti tidak tahu harus berbuat apa. Mereka saling melirik bingung. Khalik bahkan bisa melihat keringat di dahinya yang segede biji jagung.

“Silakan, Tuan. Mari saya antar ke dalam,” sahut pelayan yang lain.

Habis sudah kesabaran Khalik. Ia tertawa kecil, mengusap rambutnya ke belakang dengan frustrasi dan menyahut kasar, “Ini rumah saya, nggak usah diantar juga saya sudah tahu jelas letaknya. Kalian boleh bubar, lain kali bilang sama majikan kalian nggak usah hambur-hamburin duit buat pamer nggak jelas kayak gini.” ucapnya dengan nada datar.

Dia bisa melihat wajah-wajah yang memucat, tapi Khalik tidak peduli. Baginya semua ini sudah keterlaluan. Semua ajang pamer kekayaan dan kekuasaan ini, seakan-akan mereka adalah bangsawan, seakan-akan mereka adalah raja yang harus dilayani dan tidak boleh dibiarkan membawa barang sedikitpun.

Lihat selengkapnya