“Ya Allah, Al! Itu orang kenapa, sih? Posesif banget!” seru Rara kesal, seraya menggebrak meja kantin. Beberapa siswa menoleh ke arahnya.
Aluna mengedikkan bahunya sembari menatap lengannya yang merah.
“Sini, gue lihat tangan lu.” Rara, yang anggota PMR, menganalisis tangan Aluna dengan serius.
“Kenapa, sih, lu masih pertahanin hubungan sama dia? Gue, sih, ogah pertahanin cowok kasar-posesif-datar kayak dia,” lan jut Rara ngedumel.
“Dia cuma salah paham aja, Ra,” jawab Aluna.
“Ya, enggak harus nepis tangan lu juga, kan? Besok apa? Bikin lu pingsan?” balas Rara senewen. “Waktu MOS dia bikin lu ilang di hutan, terus dia minta lu buat LDRan sama dia. Sekarang, pas dia udah balik ke sini malah sering marah-marah enggak jelas sama lu. Maunya apa coba itu cowok?!” gerutu Rara.
“Ya, jelaslah Nakula kasar. Orang ceweknya kegenitan sama cowok lain!” sindir Mila tiba-tiba dari arah belakang. “Jadi cewek itu harusnya bisa jaga perasaan cowoknya. Apa perlu gue yang jagain cowok lu?”
“Ini lagi ikut-ikutan aja mulut cabe!” sembur Rara semakin emosi.
“Ih, gue enggak ngomong sama lu, ya!” balas Mila jutek membuat Rara langsung berkacak pinggang.
“Udah, Ra!” Aluna menarik bahu Rara agar kembali duduk. “Enggak usah diladenin.”
“Lagian, enggak ada hujan enggak ada geledek, tuh, cewek ikut campur urusan orang aja!” umpat Rara sambil melirik Mila yang terkekeh di meja belakang kantin sekolah bersama teman-temannya.
“Pokoknya, gue saranin lu enggak usah kontak Nakula duluan. Biar dia sadar sendiri apa salahnya!” lanjut Rara kepada Aluna.