1979
Aroma asap bis butut itu memasuki indra penciuman sang gadis saat benda besar yang usang dengan cat yang tak lagi utuh itu berhenti tepat di depannya, dengan segera perasaan tak nyaman pada perut dan kepala mulai menguasainya. Sunggu ia sangat ingin pulang dengan kendaraan yang lebih baik namun selama 17 tahun hidupnya, tidak pernah sekalipun ia melihat mobil mewah dijadikan kendaraan umum, hanya bis butut dengan aroma memuakan yang banyak ditemuinya di kota. Walau begitu ia tetap bersemangat karena hari ini adalah akhir minggu dan sekolah sudah diliburkan setelah ujian kenaikan kelas, yang berarti sudah saatnya ia untuk kembali ke desa dan menghabiskan masa libur di sana.
Sembari menutup mulut dan hidungnya dengan sapu tangan, gadis itu menenteng tas coklatnya masuk ke dalam bis. ia segera memilih tempat duduk di sisi sebelah kiri dan perasaannya segera membaik saat mendapat tempat duduk tepat di dekat jendela yang berarti ia bisa secara langsung mendapat angin segar selama satu jam perjalanan, paling tidak udara segar dapat membantunya tertidur dan melupakan situasi bis yang pengap dan bau.
Ia segera duduk dan meletakan tas di bawah kakinya lantas mengambil posisi yang nyaman untuk tidur, sampai ia sadar terlalu dini jika ia harus tidur sekarang. Bis itu mulai melaju saat para penumpang sudah masuk semua ke dalam bis. ia beruntung karena mendapatkan tempat duduk, kebanyakan dari penumpang-penumpang yang masuk harus rela berdiri karena tempat duduk yang sudah terisi penuh, termasuk sisi kursi di sebelahnya yang diisi seorang pria yang jika ia tak salah menebak berada di umur awal 20-an. Pria itu balas meliriknya dan tersenyum saat mata mereka bertemu.
“Halo,” sapanya ramah.
Kristina balas tersenyum dan hanya mengangguk sebagai jawaban, lalu kembali bersandar pada kursinya dan menatap keluar jendela. ia menutup matanya, berusaha untuk tidur namun suara pria tadi kembali terdengar.
“Mau kemana?” tanyanya.
Kristina kembali membuka matanya dan balas menatap pria itu.
“Teber, saya pulang ke Teber,” jawabnya.
“Oh berarti turun di Ndilek?”
“Iya.” Jawabnya singkat.
“Dari Ndilek ke Teber pake apa? Ada kendaraan kah dari sana?” pria itu bertanya lagi.
Ia nampak semakin antusias bertanya, sementara Kristina yang sudah mulai merasakan mual karena aroma bis yang memuakan semakin tak nyaman di tempatnya. Gadis itu kembali mengangkat sapu tangannya untuk menutupi hidung dan mulutnya.
“Tidak ada kendaraan. Saya jalan kaki.” Jawabnya kemudian.
Pria itu nampak terkejut dan terdiam beberapa saat sebelum kembali berbicara, “Jalan kaki? Jauh sekali. Apa kendaraan tidak bisa lewat di jalan itu?”
“Bisa, hanya kendaraan yang langsung ke Teber sudah jalan sejak pagi tadi. Saya terlambat.”
“Oh. Saya kira jalanannya masih buruk seperti dulu. Saya pernah ke Teber sekali dan jalanan dari Ndilek sampai Teber itu rusak parah. Penumpang kebanyakan harus turun saat melewati jalanan yang berbatu,” jelasnya. Sedikit banyak Kristina mulai tertarik mendengarkan karena topik mengenai jalanan rusak menuju desanya adalah hal yang selalu ingin dia bahas dengan siapa pun.
“Jalanannya sama sekali tidak membaik kak. Masih rusak dan berbatu. Tidak tahu kapan jalannya bisa diperbaiki.”
“Masih susah ternyata. Padahal pengalaman ke Teber itu saat saya kecil. Saya kira jalanannya sudah dilapisi aspal,” Ucapnya.
Kristina hanya menggeleng sembari tersenyum, sementara pria tadi hanya mengangguk dan keheningan kembali menguasai. Gadis itu kembali menutup matanya dan saat ia bergerak guna mencari posisi yang nyaman untuk tidur, Kristina sadar pria itu kembali mencuri pandang padanya, nampaknya si pria ingin mengajaknya bicara kembali. Karena merasa tak enak hati ia memilih duduk tegak kembali dan menunda tidurnya.
“Kakak mau kemana?” tanyanya membuka obrolan.
“Saya akan ke Borong. Adik perempuan saya mau menikah,” Jawab pria itu dengan sedikit lebih bersemangat.
“Oh, selamat kalau begitu.”
“Terimakasih, kalau boleh tanya enu SMA?” di ujung kalimatnya pria itu melembutkan suaranya,
“Saya SMEA kak.”
“Oh kalau begitu sebaya dengan adik saya. Dia juga SMEA tapi berhenti begitu ada yang melamar.”